Cinta Mati Sekolah, Tiap Hari Lewati Danau

Perjuangan Dua Kembar, Ridwan dan Riswan

MENANTANG BAHAYA. Ridwan Pura dan Rsiwan Pura setiap ke sekolah maupun pulang rumah harus memakai perahu untuk melewati Danau Bunong, karena tak ada transportasi darat. Ayurahmi Raiz/Madado Post

Menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sudah jadi cita-cita kembar Ridwan dan Riswan. Makanya, meski harus bangun subuh dan berperahu, keduanya rela.

Ayurahmi Rais,  Boltim

eQuator.co.id – TIDAK ada pemandangan yang menyedihkan daripada seorang pemuda yang pesimistis. Itulah ungkapan dari Mark Twain. Olehnya pemudah harus punya rasa optimis dan semangat untuk mencapai sebuah tujuan. Hal inilah yang terlihat dari sosok dua kembar dari seberang Danau Bunong, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Mereka adalah Ridwan Pura dan Riswan Pura. Dua anak remaja berusia 15 tahun yang bertahun-tahun tinggal di sebuah rumah kecil tanpa air bersih dan tanpa listrik. Bahkan mereka harus menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke sekolah.

“Setiap hari kami bangunnya subuh. Karena masuk sekolah pukul 07.00. Untuk sampai ke tepi danau kami itu makan waktu kurang lebih 15-20 menit. Setelah itu melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan menggunakan motor. Jaraknya. sekira 1 km,” ungkap dua kembar tersebut, saat diwawancarai Manado Post (Jawa Pos Group).

Dulu, lanjutnya, mereka harus berjalan kaki, karena belum punya motor. Namun setahun belakangan ada motor yang diberikan orangtua mereka. “Dulu memang jalan kaki. Makanya sering terlambat. Tapi alhamdulillah sekarang sudah naik motor,” syukurnya.

Kembar kelahiran 2003 itu pun menceritakan perjuangan mereka setiap hari. Tidak terlihat rasa lelah di wajah mereka. Bahkan menurut mereka melewati danau bukanlah persoalan sulit. Karena mereka percaya semua hal butuh perjuangan. “Sebenarnya biasa saja. Karena sudah terbiasa. Semasa SD kami sudah melakukan hal ini,” akunya.

Meskipun tak memungkiri kadang mereka dihantui rasa takut.  Ketakutan tersebut terjadi saat mengalami mati mesin di tengah danau. “Kami takut jika hujan. Karena dulu kami berdua pernah mengalami mati mesin di tengah danau dan hujan deras. Akhirnya buku, sepatu dan pakaian kami basah. Sekarang kami memilih untuk meninggalkan alat tulis-menulis di sekolah,” ceritanya.

Namun mereka memastikan tidak pernah malu dengan keadaan tersebut. Mereka menyadari sulitnya orangtua mencari nafkah.

“Orangtua kami susah. Jadi tidak bisa menuntut banyak.  Sudah bisa sekolah pun bersyukur. Sebagai anak kami hanya ingin memberikan yang terbaik,” beber kembar yang suka bulu tangkis tersebut. Sembari berharap suatu saat nanti keluarganya akan mendapatkan bantuan rumah agar bisa tinggal di perkampungan yang ramai. Mereka tak menampik tinggal di seberang danau sendiri sangatlah sepih.

“Jujur kami merasa kesepian. Karena tidak ada teman main.  Jadi kalau pulang sekolah kami tidur sorenya membantu ayah untuk angkat kopra. Setiap hari seperti itu. Insya Allah suatu saat orangtua kami bisa bangun rumah di kampung yang ramai,” harap anak dari pasangan Farli Matede dan Salbiah Tarimakaseh tersebut.

Pantauan Manado Post, di seberang danau itu memang terlihat sepih. Hanya ada satu buah rumah kecil berdindingkan tripleks dan berlantaikan tanah yang berdiri di antara beberapa pondok tempat produksi kopra. Belakangan diketahui rumah tersebut milik keluarga dua kembar itu.

“Saya sudah 30 tahun di Boltim. Tinggal di sini (seberang danau, Red) sudah hampir lima tahun,” kata Farli Matede, sang ayah, yang ditemui saat mengupas kelapa.

Sembari mempersilahkan duduk dia menceritakan alasannya untuk tinggal di tempat tersebut. Mau bangun rumah belum punya biaya. Karena pekerjaan saya hanya mengerjakan kopra orang lain. Pendapatan tidak setiap hari dan hanya untuk makan.

“Tapi saya bersyukur ada tempat ini yang bisa ditempati.  Jika memilih bangun pondok di kampung ramai, lahannya tidak ada. Jadi saya dan keluarga memilih untuk tinggal di sini,” kata lelaki keturunan Sangihe tersebut.

Ayah dari enam anak itupun mengaku kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan listrik. “Tidak ada air bersih dan listrik. Jadi kalau mandi pakai air danau. Tapi minum harus beli naik perahu ke kampung,” dia bercerita.

Mengenai anaknya, dia bersyukur bisa dikarunai anak-anak yang sangat pengertian, selalu mandiri dan menerima keadaan keluarga.

“Anak saya itu penurut. Tidak pernah keluyuran dan pulang sekolah tepat waktu. Karena perahu harus digunakan lagi pada sore hari. Ini satu-satunya transportasi kami jadi kalau mereka ke sekolah pasti langsung pulang, tidur siang dan membantu saya bekerja,” ungkapnya sambil memperlihatkan tempat tidur papan yang beralaskan tikar tipis.

Meskipun begitu, dirinya tak pernah menyalahkan keadaan. “Saya bersyukur sudah punya tempat tinggal. Alhamdulillah istri dan anak-anak saya bisa menerima. Saya punya enam anak, lain bekerja di kampung orang untuk membiayai hidup.  Jadi yang bersama saya tinggal dua kembar. Selama ini saya tidak pernah minta bantuan rumah atau apapun dari pemerintah. Jika dikasih syukur, jika tidak ya bekerja saja. Semoga suatu saat bisa dapat rezeki dan bangun rumah sendri,” dia berharap.

Terpisah, pihak sekolah SMPN Dua Tutuyan membeberkan jika dua kembar tersebut merupakan anak yang manis dan cukup berprestasi di sekolah. Setiap hari mereka datang tepat waktu dan jarang bolos. Meskipun berada di kelas yang berbeda, namun saat istirahat mereka selalu bersama dan tidak terpisahkan. “Mereka anak yang manis. Beda kelas, satu di kelas IX A yang satu lagi di IX B. Tapi dua-duanya aktif dan pintar,” beber Oktalia Simbala, Wali Kelas IX A.

Guru muda asal Makassar itu pun mengetahui perjuangan dari muridnya tersebut. “Saya tahu mereka harus lewat danau.  Tapi di kelas kesulitan itu tidak pernah ditunjukkan. Dia (Ridwan, Red) tetap semangat belajar seperti anak-anak lain. Bahkan sering ikut lomba bulu tangkis mewakili sekolahnya,” terangnya.

Chandra Mokoginta, Wali Kelas IX B, juga mengakui sampai saat ini dua kembar tersebut merupakan anak yang sangat aktif di kelas. Keduanya suka bertanya, pandai bergaul dan tidak pernah mengeluh.

“Anak yang baik. Suka bertanya kalau di kelas. Tidak pernah ribut. Intinya mereka adalah anak-anak yang baik,” ceritanya.

Sementara soal beasiswa, dia menerangkan sampai saat ini dua anak tersebut belum dapat bantuan. Karena bantuan tersebut harus diusulkan desa. “Harus ada usulan desa melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP). Jadi nama yang diusulkan desa ke sekolah akan direkomendasikan ke pusat. Itu yang mendapatkan bantuan tiap bulan. Tapi sampai saat ini dua anak tersebut tidak diusulkan desa. Saya tidak tahu kenapa karena itu urusan desa,” katanya.

Namun, dia tetap memastikan selama ini meskipun tanpa bantuan, dua kembar tersebut tetap bersekolah dengan baik dan memiliki nilai bagus. “Nilai mereka selalu baik. Tanpa bantuan pun mereka tetap semangat. Semoga suatu saat akan ada usulan dari desa,” harapnya.

Menanggapi hal ini, Sangadi Togid Adi Makalungsenge membenarkan, keberadaan keluarga tersebut sebagai warganya. Dia pun sudah mengetahui jika ada warganya yang tinggal di seberang danau. Saat ditanyakan mengapa mereka tidak diberikan bantuan, Makalungsenge menegaskan, akan segera turun melihat keadaan mereka dan akan mendata. “Nanti saya akan data dan masukan nama dua kembar tersebut dalam KIP. Biar bisa diusulkan ke sekolah dan mendapatkan bantuan,” tutupnya.(*/Manado Post)