Kaum Milenial Harus Terdepan Melawan Berita Bohong

Edukasi Anti Hoax

PEMAPARAN. Kapolda Kalbar Irjen Pol Didi Haryono, Ketua HCC Kalbar Reinardo Sinaga dan Akademisi sekaligus Jurnalis Leo Prima saat menjadi pemateri—Ocsya Ade CP

eQuator.co.id-Pontianak-RK. Pesatnya era digital, membuat semua orang bebas menyampaikan informasi. Terutama di media sosial. Berita bohong atau hoax (hoaks) pun mulai bermunculan. Kelompok milenial saat ini sangat diharapkan menjadi terdepan untuk melawannya. Karena, kaum ini memiliki rasa ingin tahu yang banyak. Kelompok ini juga dinilai mampu menyaring informasi yang disajikan di media sosial.

Namun demikian, kaum milenial juga sangat perlu diberikan edukasi. Seperti dalam acara ‘Nongkrong Bareng Sambil Diskusi Yok, Milenial Anti Hoax’ di sebuah cafe Jalan Zainudin, Pontianak Kota, Rabu (6/2) sore. Dengan tema ‘Buktikan Kamu Anak Milenial yang Anti Gosip’.

Kegiatan yang berlangsung tiga jam ini dihadiri ratusan pelajar dan mahasiswa serta kaum milenial lainnya yang ada di Pontianak. Kapolda Kalbar, Irjen Pol Didi Haryono, Ketua Hoax Crisis Center (HCC) Kalbar Reinardo Sinaga dan Akademisi sekaligus Jurnalis, Leo Prima sebagai narasumber.

Dalam penyampaiannya, Leo menuturkan hoax dikenal sepuluh tahun terkahir. Ini diperparah dengan kondisi masyarakat bukan mencari berita yang benar, tetapi mencari berita yang membenarkan pendapatnya.

“Ada beberapa yang bisa membentengi agar tidak termakan hoax, salah satunya dengan membaca,” tuturnya.

Lanjut Leo menjelaskan, beberapa hal kenapa hoax mudah tersebar. Pertama, karena si pembuat hoax memang punya niat jahat. Kedua, butuh eksistensi. Diaman, sebagai manusia butuh pengakuan.

“Yang tidak memiliki eksistensi inilah biasanya yang mudah menyebarkan berita hoax. Mereka memposting berita heboh biar kelihatan keren. Itu sebenarnya berbahaya,” terangnya.

Kepada kaum melinial yang hadir, Leo menyarankan agar menciptakan eksistensi diri yang positif. “Maka ciptakanlah eksistensi sesuai bakat,” ucapnya. Kemudian hal yang ketiga, kurangnya membaca. Tingkat minat baca masyarakat Indonesia cukup rendah.

“Rendah literasi inilah mudah termakan hoax. Jadi benar-benar ditelan mentah. Perbanyak lah membaca, sehingga ada yang membentengi,” ungkap fotografer senior ini.

Pentingnya edukasi antihoax bagi kaum milenial ini, lanjut Leo, karena mereka lah yang akan menjadi penerus bangsa ini. “Ayo kita posting yang positif, sehingga hoax hilang dimuka bumi ini,” ajaknya.

Mahasiswa sebagai agen perubahan juga punya tanggung jawab kepada masyarakat dalam hal ini. “Kalian (mahasiswa) juga berkewajiban meluruskan itu,” ucapnya.

Reinardo Sinaga, menuturkan hoax menjadi musuh bersama yang harus dibasmi secara bersama juga. Hoax ini semakin kuat menyebar sejak tahun 2014 saat Pilpres. Kala itu, calonnya sama dengan sekarang. Dimana, masyarakat bingung akan informasi. Karena media mendukung kedua pasangan calon presiden saat itu. Atas kegelisahan itu, sebagai kelompok muda, pria akrab disapa Edo ini menyadari bahwa kepolisian wajib dibantu dalam melawan hoax ini.

Ia menambahkan, hadirnya berita hoax yang semakin banyak membuat HCC Kalbar lahir. “Hoax Crisis Center dideklarasi perdana di Pontianak dan menjadi yang pertama di Asia Pasifik.

Sejak itu, kami sering men-debunk atau mencari fakta terhadap informasi yang berkembang,” ujarnya.

HCC Kalbar ini, kata Edo, terdiri dari gabungan beberapa organisasi termasuk Komunitas Peduli Informasi (KOPI) dan para jurnalis. HCC Kalbar menjadi wadah untuk debunk informasi yang beredar baik di Kalbar maupun Indonesia secara keseluruhan.

“Kami sebagai anak muda (milenial) sangat resah dengan hoax. Kami menyadari Pak Polisi juga perlu dibantu dalam hal ini. Dalam hal memerangi hoax,” kata Edo.

Kerja untuk melawan hoax ini, lanjutnya, memang tidak dapat dikerjakan sendiri. Harus bekerjasama. “Kita kerjasama dengan Cyber Polda dan Bawaslu juga,” tambah Edo.

Kerjasama dalam melawan hoax dan kesadaran dari masyarakat Kalbar akhirnya bisa merubah posisi Kalbar yang pada Pemilu 2018 lalu berada nomor 2 wilayah rawan setelah Papua, kini menjadi posisi ke 18 se-Indonesia.

“Itu bukan karena HCC, Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Kepolisian, KPU, Bawaslu saja. Tetapi karena ada kawan-kawan netizen tidak terlalu percaya dengan informasi yang menyesatkan,” paparnya.

Jurnalis RRI Pontianak ini meminta, agar generasi milenial dan segenap pengguna smartphone harus hati-hati dalam menyebarkan informasi. “Jarimu harimaumu, harus saring sebelum sharing,” katanya.

Untuk masyarakat yang ingin mengecek kebenaran informasi, kata Edo, dapat menggunakan aplikasi buatan Mafindo. “Teman-teman bisa download Hoax Buster Tools atau cek langsung di laman turnbackhoax.id,” jelas Edo.

Kapolda Kalbar juga mengingatkan pada saat menerima sebuah informasi agar dipahami, dibaca isi seluruhnya. “Jangan dibaca sepotong-sepotong, lalu di-forward (diteruskan),” ujarnya.

Kepada kelompok ini diharapkan Kapolda menjadi yang paling gencar melawan hoax. Karena, jika informasi menyesatkan itu dibiarkan tersebar akan menimbulkan opini. “Kalianlah nanti yang kami harapan untuk mencegah, menetralisir itu,” ujarnya.

Ia menegaskan, saat ini sudah ada aturan hukum mengenai informasi. Yakni Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). “Jika sampai berurusan dengan kepolisian, bukan hanya pelakunya yang malu, tapi keluarga juga,” jelasnya.

Kapolda mengatakan, di era sekarang ini banyak orang yang sengaja menyebarkan hoax untuk mencapai tujuan mereka. Jika masyarakat percaya, maka si penyebar akan merasa senang karena apa yang diharapakan akhirnya terjadi.

“Ada empat tujuan penyebar hoax, pertama untuk adu domba, kedua menyebarkan fitnah-fitnah dan mencemarkan nama baik, ketiga membuat cemas dan keempat perang menggunakan jaringan (mempengaruhi orang lain),” paparnya.

Hoax yang paling banyak disebar adalah sosial politik, kesehatan dan SARA. Isu ini dianggap paling paten dan mempan untuk memecah belah. Sementara, hoax yang paling sering diterima, dalam bentuk tulisan sebanyak 62,10%, gambar 37,50%, video 0,40% dan saluran penyebaran paling banyak ada di media sosial 92,40 %.

Kapolda berharap, setiap lapisan masyarakat dapat menjadi pengguna media sosial yang cerdas dan tidak mudah percaya hoax serta para generasi milenial dapat menjadi aktor untuk meminimalisir penyebaran hoax di Indonesia.

Sementara itu, saat diwawancari menurut jenderal bintang dua ini, generasi milenial sangat memiliki ide atau gagasan tentang hoax. Generasi ini juga memiliki kedewasaan dan kecermatan dalam menerima perkembangan isu saat ini dan memang harus diberikan pemahaman.

“Mereka mampu manangkalnya dan bisa menularkan ke seluruh warga Kalbar, sehingga hoax bisa dicegah,” ujarnya.

Kapolda mengungkapkan, kasus hoax di tahun 2018 relatif banyak jika dibandingkan tahun 2017. Tahun 2018 ada 38 kasus karena situasi pada saat itu memang agak ‘panas’. Pada 2019 ini, hanya ada lima kasus yang diungkap. Kasus itu, karena palaku dengan sengaja men-sharing (membagikan) suatu informasi yang melanggar UU ITE.

“Karena memang ada aturan undang-undang harus ditegakkan. Karena ada yang melaporkan,” ujarnya.

Di tahun politik ini, kepada kaum milenial, Kapolda mengimbau agar dewasa dalam menyikapi informasi yang belum diketahui kebenarannya. Terutama isu yang dapat mengganggu stabilitas keamanan.

“Jangan langsung percaya, dalami, teliti. Laporkan kepada kepada kami kalau itu mengganggu stabilitas keamanan,” pungkasnya.

Laporan: Ambrosius Junius
Editor: Ocsya Ade CP