eQuator.co.id – BOGOR-RK. Pemerintah memastikan skema baru seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) akan menggunakan pemeringkatan alias perangkingan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui usulan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi Reformasi (Permen PAN-RB) sebagai solusi atas maraknya pelamar CPNS yang memiliki kompetensi di bawah ambang batas (passing grade).
Menteri PAN-RB Syafruddin mengatakan, Permen PAN-RB tersebut sudah dikonsultasikan ke Presiden Joko Widodo dan disepakati. “Hari ini (kemarin) akan kita luncurkan permenpan,” ujarnya di Istana Kepresidenan Bogor, kemarin (21/11).
Dalam peraturan baru, pemerintah akan menggunakan ranking dalam menentukan kelulusan. Skema itu diambil sebagai jalan tengah. Di satu sisi, kuota yang kurang bisa terpenuhi. Namun di sisi lain, tidak ada kebijakan menurunkan passing grade.
Mantan Wakapolri itu mencontohkan, bila ada kementerian/lembaga membutuhkan 100 orang CPNS, cukup merankingkan peserta tiga kali lipatnya. “Jadi berarti ranking 1-300. Itu yang akan masuk seleksi tahap kedua,” imbuhnya.
Syafruddin menegaskan, proses perangkingan akan dilakukan secara transparan. Dia menjamin tidak ada oknum nakal yang memanfaatkan skema tersebut. “Peserta juga tahu (nilai yang didapat masing-masing),” tuturnya.
Soal pengumumannya, purnawirawan jenderal bintang tiga itu akan menyerahkan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN). “Itu nanti BKN teknisnya,” kata pria yang menjabat wakil ketua Dewan Masjid Indonesia.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah mengatakan, keputusan perubahan skema itu sah-sah saja diputuskan. Apalagi kondisi yang terjadi memang sangat sedikit pelamar CPNS yang lolos ambang batas seleksi kompetensi dasar (SKD). ’’Apalagi alasannya karena biaya yang dikeluarkan sudah mahal. Proses juga sudah jalan,’’ katanya kemarin (21/11).
Hanya saja dia mengingatkan, agar ke depan kebijakan dadakan seperti ini jangan terjadi lagi. Dalam proses rekrutmen CPNS yang melibatkan jutaan pelamar, aturan harus baku dan konsisten sejak awal. Aturan sudah dirancang dengan mempertimbangkan risiko-risiko, sehingga tidak berubah-ubah.
Menurut dia, skema pemeringkatan itu akan membawa konsekuensi bahwa panitia akan mengambil nilai tertinggi dari seluruh peserta. Peserta tersebut akan lolos mengikuti seleksi SKD dan maju ke fase seleksi kompetensi bidang (SKB). Lina berharap panitia sebaiknya tetap mengambil nilai acuan minimal, untuk menjaga kualitas calon aparatur negara.
Lina lantas merespons adanya kekhawatiran bahwa bakal ada peserta yang lolos ambang batas SKD, tetapi kalah sama peserta lain yang sejatinya tidak lolos SKD. Lina menegaskan bahwa sejatinya tahapan SKD itu bersifat umum. Sementara yang menentukan adalah tahapan SKB yang terkait dengan bidang pekerjaan.
Dia menuturkan ada kalanya pelamar yang nilai SKD-nya bagus, tetapi sejatinya tidak bisa menjalankan tugas yang dia lamar. Sebab materi ujian SKD sebagian besar tidak terkait langsung dengan bidang pekerjaannya. Misalnya ada pelamar formasi guru yang mendapatkan nilai SKD tinggi, tetapi ternyata dia tidak bisa mengajar. Maka ada potensi dia dikalahkan dengan pelamar lain yang nilai SKD-nya lebih rendah tetapi jago mengajar.
Apalagi bobot persentase SKB lebih besar dibandingkan dengan SKD. Yakni 60 persen untuk SKB dan 40 persen untuk SKD. Lina berharap proses SKB harus dikawal dengan baik. Sebab SKB itu sebagian besar pengujinya adalah orang. Sehingga ada kecenderungan subjektifitas dalam menilai.
Untuk formasi guru, di mana jumlah kuotanya terbesar dibanding formasi lainnya, Lina berharap penguji di fase SKB bukan dari unsur sekolah atau dinas pendidikan setempat. Sebab dia khawatir jika SKB dilakukan dari unsur sekolah atau dinas pendidikan, potensi penyimpangannya tinggi. ’’Dinas itu dibawa kepala daerah. Ada unsur politik daerahnya,’’ katanya.
Untuk itu, sebaiknya penguji dalam SKB diserahkan ke kalangan professional dan di luar instansi. Misalnya untuk formasi guru, penguji SKB mengambil dosen atau ahli pembelajaran dari kampus keguruan setempat. Skema ini memang menimbulkan biaya tambahan. Misalnya untuk honor menghadirkan dosen sebagai penguji fase SKB. ’’Tetapi perlu dipertimbangkan karena ini menyangkut rekrutmen calon PNS masa depan yang berkualitas,’’ tuturnya. (Jawa Pos/JPG)