Patutkah Kalimantan Waspada?

Oleh: Muhammad Dahlan Balfas

Muhammad Dahlan Balfas

eQuator.co.id – GEMPA bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng) sekali lagi sontak membuat kita terperangah. Sebelumnya, dalam rentang waktu yang sangat pendek, Indonesia belum pulih dari gempa bumi di Lombok.

Pengetahuan umum bahwa Indonesia salah satu negara yang sangat rentan terhadap bencana geologi, ternyata belum cukup untuk membuat kita waspada. Gempa bumi dan tsunami Aceh yang menelan ratusan ribu korban jiwa itu belum bisa memaksa kita untuk merasa perlu mengantisipasi terulangnya bencana-bencana geologi.

Upaya-upaya yang dilakukan selama ini seolah hanya menjadi domain lembaga-lembaga geologi dan pemerintah. Sementara masyarakat “gagal paham” dan cenderung tidak peduli.

Dalam konteks Kalimantan, jika dilakukan survei dengan satu pertanyaan sederhana. Apakah Kalimantan aman terhadap gempa bumi?. Maka rasanya sebagian besar masyarakat akan menjawab “aman”.

Tentu saja persepsi tersebut tidak sepenuhnya keliru, karena peta seismotektonik Indonesia menunjukkan koefisien gempa di Kalimantan relatif rendah. Meski demikian, data kegempaan mencatat bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, setidaknya ada enam fenomena gempa bumi di Kaltim dan khususnya Kaltara. Sehingga topik tersebut tetap relevan untuk dibahas dan didiskusikan.

Secara umum, kondisi geologi Kalimantan sangat erat hubungannya dengan kondisi geologi Sulawesi. Jika diibaratkan Sulawesi adalah seorang petinju, Kalimantan adalah tali ring tempat terempas dan terpantulnya sang petinju setiap kali terpukul atau terdesak.

HUBUNGAN JALUR SESAR

Gempa bumi selalu terjadi di sepanjang jalur sesar (patahan). Jalur sesar mayor sangat banyak ditemukan di Pulau Sulawesi yang terkenal memiliki tatanan geologi yang sangat kompleks. Dua di antara jalur sesar Sulawesi yang berhubungan dengan Kalimantan adalah Jalur Sesar Palu-Koro dan Jalur Sesar Paternoster.

Jalur Sesar Palu-Koro berarah barat laut-tenggara dengan pergerakan mengiri (sinistral), memotong dari bagian tengah Sulawesi melalui Kota Palu. Kemudian melalui beberapa jalur sesar di Kalimantan bagian utara. Di antaranya Jalur Sesar Sangkulirang dan Jalur Sesar Maratua.

Sedangkan Jalur Sesar Paternoster juga cenderung berarah barat laut-tenggara dengan pergerakan mengiri. Memotong dari bagian selatan Sulawesi dan menerus di sepanjang jalur Paser-Long Ikis hingga diperkirakan sampai Kalimantan Barat.

Indikasi kedua jalur sesar tersebut di Kalimantan dapat terlihat dari peta bathymetry Selat Makassar, fisiografi Kalimantan, munculnya beberapa sumber mata air panas yang berjajar di sepanjang jalur kedua sesar tersebut, dan berbagai ciri jalur sesar lainnya.

KEUNIKAN GEMPA PALU

Gempa bumi Palu terjadi pada Jalur Sesar Palu-Koro yang selama ini diasumsikan adalah sesar geser (strike slip fault) dengan arah pergerakan mendatar (horizontal). Kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu sesar geser biasanya disebabkan getaran gempa yang menimbulkan goncangan, pergeseran (displacement), hingga gerakan tanah.

Hal ini menimbulkan asumsi berikutnya bahwa Sesar Palu-Koro relatif aman terhadap potensi tsunami. Sebab, tsunami biasanya berasosiasi dengan sesar turun (normal fault) atau sesar naik (reverse fault) yang arah pergerakannya vertikal.

Gempa bumi Palu yang diikuti bencana tsunami menunjukkan bahwa kedua asumsi tersebut keliru. Di samping itu, dokumentasi lapangan menunjukkan bahwa pada beberapa zona, badan jalan terangkat hingga lebih dari 10 meter yang juga menunjukkan bahwa di samping pergerakan mendatar, gempa Palu juga dipicu oleh sesar yang memiliki pergerakan vertikal.

Dengan demikian, Sesar Palu-Koro sebenarnya adalah sesar miring (oblique slip fault) yang memiliki arah pergerakan mendatar dan vertikal. Sesar-sesar di Kalimantan bagian utara yang merupakan kemenerusan dari Jalur Sesar Palu-Koro, seperti Sesar Sangkulirang, Sesar Mangkalihat, Sesar Maratua, dan Sesar Sempurna akan memiliki pola pergerakan yang sama. Sehingga jika terjadi gempa pada jalur tersebut, di samping potensi kerusakan akibat goncangan, pergeseran (displacement), dan gerakan tanah, juga terdapat potensi tsunami.

Fenomena lain yang mengemuka dari gempa bumi Palu adalah terjadinya likuifaksi (liquefaction) dalam skala besar. Likuifaksi sebenarnya bukanlah fenomena yang asing di Indonesia.

Bencana lumpur Lapindo di Jawa Timur memiliki kemiripan dengan fenomena ini. Batuan yang tidak terbentuk dengan sempurna membentuk batuan lunak (soft rock) terpendam di bawah lapisan batuan keras (hard rock). Bedanya adalah pada kedalaman, di mana batuan lunak pada lumpur Lapindo terletak pada kedalaman yang besar. Sehingga membentuk lumpur bertekanan tinggi.

Sedangkan pada likuifaksi, batuan lunak terletak pada kedalaman yang relatif dangkal. Sehingga getaran gempa bisa menyebabkan batuan lunak tersebut bergerak ke atas dan mengalir.

Fenomena batuan lunak juga relatif umum ditemukan di Kaltim. Seperti pada beberapa titik munculnya mud volcano kecil di daerah Loa Janan, Batu Putih, dan Balikpapan. Atau bahkan jika kita mundur sedikit akan teringat fenomena kegagalan struktur yang berulang pada “jembatan stres” di muara Karang Asam, Samarinda.

Dibandingkan dengan Palu dan sekitarnya, potensi terjadinya likuifaksi di Kalimantan kemungkinan lebih besar karena cekungan sedimentasi di Kaltim dan Kaltara jauh lebih besar. Hal ini perlu penelitian yang mendalam. (JPG)

*) Penulis adalah dosen Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Mulawarman Samarinda