eQuator.co.id – Puasa 18 jam selama di Cambridge, Inggris, jadi tantangan tersendiri bagi Indra Gunawan. Penyebabnya, penyakit mag guru bahasa Inggris di SMK 1, Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar), itu sempat kambuh.
Tahun ini, kedua kalinya Indra ke Cambridge. Sebelumnya pada akhir 2016. Saat itu, selama 45 hari, dia bersama 40 guru bahasa Inggris dari Kukar mengikuti program sertifikasi Teaching Knowledge Test (TKT) di Bell School, Cambridge.
Kini, sejak April lalu, Indra bersama 21 guru kembali ke Bell School. Mereka adalah hasil seleksi dari 40 guru yang sebelumnya mengikuti TKT. Ke-21 guru ini mengikuti program Certificate in Teaching English to Speakers of Other Languages (Celta) selama sekira dua bulan. Baru kembali ke Tanah Air jelang Lebaran.
Celta adalah program peningkatan kualitas guru bahasa Inggris oleh Pemkab Kukar bekerja sama Cultural Exchange and International Education Foundation (CEIEF). Meski sudah dua kali ke Cambridge, kali ini suasananya berbeda.
Indra dan guru-guru lain berkesempatan merasakan bulan puasa di negeri rantau. Tentu jadi pengalaman pertama. Bagaimana merasakan waktu puasa yang lebih panjang, hingga godaan pandangan mata, mengingat Inggris saat ini sedang musim panas.
Dia mengaku, awal-awal puasa di Cambridge, waktunya lebih lama dibanding Indonesia. Yakni 18 jam, sedangkan di Tanah Air sekitar 13 jam, cukup menantang. “Jadi pengalaman yang sangat berkesan,” katanya saat bincang via WhatsApp dengan Kaltim Post (Jawa Pos Group).
Indra menceritakan, saat ini, para guru peserta Celta harus menguras otak dalam mengikuti program. Tiap pekan mereka wajib menuntaskan setumpuk tugas.
“Jadi, kami menggunakan otak full untuk mengerjakan tugas saat harus puasa 18 jam. Ini membuat kami memaksa otak bekerja di atas rata-rata,” jelasnya.
Kondisi ini sempat membuatnya drop. Pada Sabtu pekan pertama puasa, dia harus menyelesaikan tiga tugas sekaligus. “Waktu itu, rasanya saya mau ambruk,” ujarnya. Betapa tidak, dari pagi berusaha menyelesaikan tugas tepat waktu. “Jelang sore, jam 2 (14.00) pandangan mulai kabur dan otak sudah lemah apa yang harus ditulis,” jelasnya.
Akhirnya, kata dia, dengan hati sedih, harus membatalkan puasa untuk menyelesaikan tugas sampai malam. “Alhamdulillah (tugas) selesai, besoknya bisa puasa lebih kuat,” ujar Indra.
Kondisi tubuhnya memang sedang tak nyaman ketika membalas pesan koran ini. Sakit mag kambuh dan mau muntah. Ini karena otak harus bekerja keras sementara perut kosong. Asam lambung pun naik karena stres.
“Makanya memutuskan buka (hari itu), daripada sakit lebih parah berhari hari,” katanya.
Hal lain yang juga menjadi tantangan baginya adalah “pemandangan” musim panas. Kondisi yang dirasa cukup “mengganggu” bagi yang tengah menjalankan ibadah puasa. “Orang-orang Eropa seperti kehausan panas matahari, sehingga mereka banyak berjemur dengan pakaian yang berbeda dengan budaya kita,” paparnya.
Alhasil, dia harus lebih sering menundukkan pandangan agar tak mengurangi pahala puasa. “Budaya yang berbeda tentu kita saling menghargai. Jadi kitanya saja yang ekstra menjaga pandangan,” aku dia.
Soal menu makanan sejauh ini Indra masih bisa menyesuaikan. Sahur, misalnya. Biasa dia menyantap menu yang praktis dan sederhana. Lebih sering mengonsumsi serealia. Terkadang dikombinasi dengan roti. “Dari situ (serealia) sumber tenaga yang diharapkan selama 18 jam puasa. Dengan tugas yang banyak, otak harus kerja maksimal, jadi bisa dibayangkan,” tuturnya. (Kaltim Post/JPG)