Dalam perjalanan ke pelosok Sintang, Bupati Jarot Winarno dan kawan-kawan terus mendapati kesenjangan pembangunan luar biasa. Masyarakat di pedalaman rata-rata hidup dalam kegelapan setiap malam menjelang.
Achmad Munandar, Nanga Bayan
eQuator.co.id – Kamis (25/5), sampailah Jarot beserta ‘kabinet’-nya di Desa Nanga Bayan, Kecamatan Ketungau Hulu. Setelah sehari sebelumnya menyerap aspirasi di Nanga Merakai dan Nanga Seran, Ketungau Tengah.
Pembangunan di Nanga Bayan jauh tertinggal. Batang hidung pemerintah disebut-sebut tak pernah nongol di sana. Bahkan, ada warga setempat yang menyebut bisa makan, minum, dan bernafas saja sudah sangat berterima kasih kepada Tuhan.
“Kami di sini bisa bertahan hidup saja sudah bersyukur. Untuk apa berharap yang jauh dari kenyataan. Kalau berharap dengan pemerintah sama saja kami mengunggu sungai tidak berujung,” cetus Ajustus kepada Rakyat Kalbar.
Salah satu buah pembangunan yang tak kunjung dinikmati warga Nanga Bayan, tak lain tak bukan, adalah listrik. “Hahaha.., sudah lama kami hidup dengan kegelapan di kala malam tiba,” ucapnya.
Imbuh dia, mau berharap kepada siapa? Pemerintah, bupati, atau PLN? Semuanya hanya bisa bicara saja.
“Rasanya kita sudah lelah berharap. Lebih baik kami diam dan menerima kenyataan bahwa kami ini memang warga Indonesia. Tapi kami warga yang tidak pernah dianggap kehadirannya sama negara,” tutur Ajustus. Sinis.
Ia hidup di sana sudah puluhan tahun. Tak sedikit pun perubahan terjadi di kampungnya itu.
“Listrik, jalan, maupun jembatan, tetap saja tidak ada bagus-bagusnya. Negara memang sudah merdeka, tapi kehidupan kami warga perbatasan tidak ada merdekanya,” selorohnya.
Desa Nanga Bayan berpenduduk lebih kurang 1.118 jiwa dengan 300 Kepala Keluarga (KK). Terletak paling ujung atau hulu dari Kecamatan Ketungau Hulu.
Kurang lebih 10 Km dari Desa Nanga Bayan, suguhan pemandangannya berbeda. Hanya ‘selompatan’ Bukit Kelingkang, Desa Kuari, Sarawak, Malaysia, dapat dicapai. Di sana, kata Ajustus, segala fasilitas umum seperti jalan, jembatan, listrik, dipenuhi dengan baik oleh pemerintah negeri jiran.
“Yahh, mungkin mereka yang tinggal di Kuari, Sarawak, terkena dampak merdeka. Kalau kita ini kan hanya merdeka di mulut saja. Isinya belum merdeka. Buktinya, lihat kondisi infrastruktur jalan atau listrik kita. Apa ada layak? Saya rasa tidak,” tandasnya.
Senada, Kepala Desa Nanga Bayan, Runa. Ia menyebut persoalan elektrifikasi di desa yang dipimpinnya memang menahun. Setrum adalah sebuah kemewahan.
“Kalau tergolong orang mampu, ya mereka gunakan PLTS, ada juga gunakan genset,” tuturnya.
Ia mengaku pemerintah desa tak berpangku tangan. Jaringan listrik telah berulang kali diusulkan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) tingkat kecamatan. Hanya saja, aspirasi itu cuma ditampung dalam wadah tak jelas. Sebab, Nanga Bayan masih seperti desa mati kala malam tiba.
Meski begitu, kedatangan Jarot CS tetap dihargainya. Ia menyampaikan kebutuhan mendasar warganya ini kepada bupati. Tentu, dengan harapan segera direspons.
“Ini baru satu-satunya bupati yang datang dan melihat kondisi Desa Nanga Bayan. Selama ini, belum ada bupati yang ke sini. Kita berharap kedatangan bupati dapat menjawab dan mencari solusi segala persoalan yang sedang dialami Nanga Bayan,” terang Runa.
Jarot sendiri menyebut mampirnya dia di Nanga Bayan memang untuk mendengarkan uneg-uneg warga setempat. “Kita ingin pemerintah hadir di tengah persoalan yang dihadapi masyarakat,” tutur Jarot.
Ia tidak menampik istilah kegawatdaruratan listrik yang terjadi di Nanga Seran hingga Nanga Bayan. Bahkan, diakuinya, persoalan listrik ini juga terjadi hampir di seluruh wilayah Sintang.
“Kita harap masyarakat dapat bersabar. Pemerintah Sintang akan selalu berusaha mencari solusi terkait listrik ini,” pintanya.
Pria yang sepanjang karir birokratnya berkutat dengan masalah kesehatan ini juga tak bisa menyembunyikan kegundahannya ketika menutup turnamen sepakbola di Nanga Seran, Kecamatan Ketungau Tengah. Sebelum sampai di Nanga Bayan.
Saat itu, pertandingan final yang harus berakhir dengan adu pinalti antara dua kesebelasan yang bertanding. Arloji di tangannya menunjukkan pukul 18.30. Sudah gelap gulita. Sedangkan masyarakat Nanga Seran tetap berusaha mengakhiri turnamen sepakbola itu.
“Kita lihat sama-sama, (turnamen sepakbola) di Nanga Seran terjadi adu pinalti. Penerangan didapat dari lampu mobil. Sedih kita lihatnya,” pungkas Jarot. (*/bersambung)