Jarot Bicara Soal Hutan di Konferensi Nasional

SAMPAIKAN MATERI. Bupati Jarot Winarno saat menyampaikan materi dalam Konferensi Transfer Fiskal Ekologis di Auditorium Lantai 2 Perpusatakaan Nasional RI, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (1/8). (Humas Sintang for RK)

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Bupati Sintang, Jarot Winarno menjadi pembicara dalam acara Konferensi Transfer Fiskal Ekologis di Auditorium Lantai 2 Perpusatakaan Nasional RI, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (1/8).

Acara yang dilaksanakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu, dibuka langsung oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati sekaligus menjadi pembicara kunci bersama Gubernur Papua Barat.

Kegiatan ini merupakan penyampaikan hasil penelitian dan rekomendasi pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) di masa mendatang yang lebih adil berdasarkan kinerja menjaga hutan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan fiskal pemerintah daerah kaya hutan oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia yang merupakan suatu lembaga penelitian independen untuk isu-isu pembangunan berkelanjutan.

Termasuk pendanaan publik di daerah guna perlindungan dan pemulihan sumber daya alam dan ekosistem, yang bekerjasama dengan AIPI melalui Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) yang beranggotakan para ilmuwan muda terbaik Indonesia.

Ketua AIPI, Satyo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, wacana dan upaya mengusulkan tutupan hutan sebagai salah satu indikator penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU) telah bergulir sejak 2012.

“Perkembangan terbaru adalah aspirasi para Bupati dan Walikota seluruh Provinsi Papua Barat, bersama Gubernur Papua Barat yang menandatangani Aspirasi Teminabuan, pada April 2019 lalu,” ujarnya.

Dimana pada kesempatan itu mengusulkan mekanisme baru DAU menggunakan indikator tutupan hutan, karena menjaga hutan bukanlah perkara mudah dan murah. Baik biaya yang timbul secara langsung maupun tidak langsung.

“Contohnya berupa kehilangan kesempatan untuk pengusahaan dan pemanfaatan ekonomi dari hutan. Mestinya didukung dalam bentuk insentif yang tepat dan memadai untuk mendorong perlindungan dan pemulihan hutan secara berkelanjutan,” jelasnya.

Kemudian kata Satyo, salah satu kemungkinan wujud insentif yang nyata adalah tambahan DAU bagi daerah kaya hutan. Tambahan itu dapat didasarkan pada luas tutupan hutan dari daerah bersangkutan dan diberikan tiap tahun berdasarkan tingkat tutupan hutan yang ada.

Sementara itu, dihadapan para tamu yang hadir, Bupati Jarot Winarno membenarkan seluruh daerah kekurangan dana anggaran dalam menjaga hutan, termasuk di Kabupaten Sintang. Bahkan kekurangan anggaran itu juga dalam segala bidang, bukan hanya menjaga hutan saja tapi semuanya.

Namun selain problem tersebut, menurut Jarot yang juga menjadi problem utama dalam mengelola hutan adalah konsep atau cara berpikir, sehingga di perlukan pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development.

“Buat kita yang namanya sustainable itu kalau bisa menyeimbangkan antara konservasi, pertumbuhan ekonomi dan pengakuan terhadap adat istiadat serta pembangunan sosial budaya. Jadi hutan yang kita miliki bukan menjadi beban, tetapi hutan itu kekayaan yang harus kita kelola,” jelasnya.

Jarot pun tak memungkiri, bahwa tidak mungkin menjaga hutan itu hanya pemerintah sendirian saja. Memerlukan insentif juga, tapi menurutnya insentif itu tidak harus dana DAU, namun insentif itu juga bisa sebuah kolaborasi atau kerjasama.

“Kalau di Sintang kita berterimakasih kepada NGO, kemudian masyarakat sipilnya secara sengaja kita perkuat untuk menjaga kawasan hutan juga,” terangnya.

Yang paling penting sekarang ini, kata Jarot memang dengan instansi vertikal agar saling koordinasi dengan pemerintah provinsi yang punya kewenangan untuk mengelola sebagian hutannya, dengan pemerintah pusat juga tetapi horisontal.

Oleh karenanya, kata Jarot, Kabupaten Sintang saat ini tergabung dalam suatu platform yang disebut dengan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) yang di dalamnya ada sekitar 10 kabupaten di Indonesia yang berkomitmen mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development.

“Dalam penerapan pembangunan yang berkelanjutan melalui hutan yang kita miliki bukan menjadi beban, tentu itu merupakan kekayaan yang harus di kelola. Jadi sustainable adalah berusaha memenuhi kebutuhan generasi sekarang, tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya,” jelasnya.

Kemudian Jarot menyampaikan, Kabupaten Sintang memiliki luas wilayah sekitar 21.600 kilometer persegi seluas Provinsi Jawa Barat. 60 persennya kawasan hutan atau 1,2 juta hektare hutan, kemudian sisanya Areal Penggunaan Lain (APL) itu penuh dengan karet, sawit dan lada.

“Selain itu juga, saat ini di Sintang mengembangkan potensi tanaman teh dataran rendah yang sedang dalam tahap uji coba, dan masih banyak potensi-potensi daerah lainnya yang terus digali dan dikembangkan serta juga pengembangan dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi kreatif,” pungkasnya.

Hadir juga sebagai pembicara dalam acara tersebut Dirjen DJPK Kemenkeu, Plt Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Dirjen Konservasi SDA dan Ekosistem, Bupati Luwu Utara, Bupati Berau, Bupati Aceh Tengah, Bupati Sorong Selatan,FEB Universitas Indonesia dan FPIK Institut Pertanian Bogor serta Wakil Bupati Kapuas Hulu, Kalbar, Antonius L Ain Pamero.

Laporan: Humas/Saiful Fuat
Editor: Andriadi Perdana Putra