Perbaiki Infrastruktur dan Kualitas Karet

Pengin Harga Jual Terus Meningkat,

PENAMPUNG KARET. Sugeng Heriyanto, salah seorang pengepul karet di Sekadau, tengah menimbang karet yang dibelinya dari petani, belum lama ini. Abdu Syukri-RK

eQuator.co.id – Rakyat Kalbar. Beberapa tahun belakangan, sejumlah kebun karet di Kalbar sempat terbengkalai. Banyak warga yang bahkan menjualnya dengan harga miring. Gara-gara terlantar, tak sedikit pula kebun karet yang hangus dimakan api.

“Memang, beberapa tahun terakhir ini, banyak yang tidak peduli dengan kebun karetnya. Karena menekuni (merawat) kebun karet tidak sesuai dengan harga jual (hasil kebun),” tutur salah seorang petani karet Kayong Utara, Daeng Semi, ditemui di rumahnya, Dusun Parit Bugis, Desa Simpang Tiga, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Senin (13/2).

Kondisi sulit yang dialami petani karet ini, diakui Wak Semi— karib dia disapa—, berlangsung beberapa tahun belakangan. Akibatnya, petani karet banyak yang lebih memilih menjadi buruh di perkebunan kepala sawit.

“Warga kita disini banyak yang kerja sawit dan terpaksa tidak mengurus kebun karet karena harga tak sesuai. Ke sawit lebih menguntungkan walaupun masih jauh dari harapan,” timpalnya.

Sekilas, cerita sulit yang dialami petani karet di Kayong Utara ini, menurut Wak Semi, sepertinya tidak berlanjut. Pasalnya, beberapa pekan terakhir, harga karet mulai merangkak naik. Dari Rp6.000 perkilo jadi Rp11.000.

“Semoga ini bertahan dan kalau bisa meningkat lagi,” harap dia.

Senada, petani karet lainnya, Langgoh. Jika harga karet perkilo Rp14.000 ke atas, ia yakin petani karet akan kembali bergairah.

“Dulu kita pernah merasakan harga karet yang lumayan tinggi, lebih dari Rp15.000. Semoga harga karet ini stabil, kami petani masyarakat lemah jika harganya rendah maka sangat menyusahkan kami,” ujarnya.

Hal tersebut diakui Kepala Dusun Parit Bugis, Sudirman. Kata dia, sebagian besar masyarakat di dusunnya hidup menggantungkan diri dari menoreh karet. “Ya begitulah, apabila harga karet murah, maka tidak sedikit warga saya yang terhimpit ekonominya,” tuturnya.

Itu kata petani karet di selatan provinsi Kalbar. Di kawasan timur, pada awal Januari 2017, harga jual karet bersih hanya Rp8 ribu perkilonya.

“Tapi saat ini sudah mencapai Rp10 ribu perkilonya. Kondisi ini sangat diharapkan oleh para petani,” tutur Semi, warga Desa Sungai Risap, Kecamatan Binjai Hulu, Kamis (9/2).

Meski begitu, menurut dia, harga jual karet masih berpotensi untuk naik di atas level Rp10 ribu perkilo. “Hampir 100 persen masyarakat Binjai Hulu ini hanya mengandalkan (pendapatan) dari komoditas karet dan sawit. Kondisi nilai jual saat ini belum mencapai titik maksimal,” ungkapnya.

Imbuh dia, “Masih bisa tembus Rp15 ribu hingga 17 ribu perkilonya. Semoga bisa tembus Rp20 ribu perkilonya”. Lanjut Semi, pada 2016, petani karet dan sawit benar-benar diuji. Pasalnya, dua komoditas utama Kalbar itu nilai jualnya jauh merosot.

PERBAIKI INFRASTRUKTUR

Di kabupaten terhulu Kalbar, Kapuas Hulu, petani berharap pemerintah memperlancar akses transportasi masyarakat demi kestabilan dan peningkatan harga karet. Contohnya, sejumlah perbaikan infrastruktur jalan besutan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kapuas Hulu pada tahun 2016. Salah satu yang direhab adalah jalur lintas selatan menuju Desa Lubuk Mantu hingga ke Dusun Hulu Tubuk, Desa Nanga Tubuk, Kecamatan Kalis.

Kotik, warga Hulu Tubuk mengungkapkan, kini jalan sudah bisa dilalui kendaraan roda empat. Walhasil, karet warga rutin dibeli para pengepul/penampung karet petani yang daya belinya mulai stabil.

“Setiap hari pasti ada pengepul datang ambil karet warga. Mereka lewat jalan yang baru dibangun,” ungkap Kotik belum lama ini.

Dikatakannya, sebelum jalan antara Hulu Tubuk – Lubuk Mantu – Jalan Lintas Selatan tersebut dibangun, warga kesulitan menjual karet. Para pengepul susah masuk ke dalam karena jalan dan jembatan banyak rusak.

“Kami bersyukur Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu membuka jalan tersebut,” ucapnya senang.

Masyarakat juga mulai menikmati naiknya harga karet, seperti di Hulu Tubuk sejak awal tahun 2017 sudah mencapai Rp10.000 perkilogram. Sebelumnya hanya Rp7.000 perkilogram.

“Itu harga karet yang ditumpuk saja, bukan yang digiling dengan mesin,” tambahnya.

Ia berharap harga komoditi karet terus naik supaya warga di desa – desa bisa sejahtera seperti waktu harga karet tinggi dulunya. “Harga Rp10.000/Kg sudah bagus, tapi kalau bisa lebih naik lagi, biar pendapatan masyarakat desa meningkat. Kan rata-rata masyarakat sudah punya kebun karet,” imbuh Kotik.

Seorang pengepul asal Kecamatan Kalis, Imah membenarkan level harga tersebut. “Iya, memang segitu (Rp10.000 perkilogram), saya juga biasa ambil ke Hulu Tubuk,” ucapnya.

Imah mengatakan, naiknya harga karet naik mengikuti pasar. Dirinya pun mengaku, tidak langsung menjual karet dari warga ke perusahaan. Melainkan ada pengepul lain yang merupakan tangan kedua.

“Kalau saya cuma bawa ke Sintang, kadang ke Pahuman. Ada yang nampung lagi di sana,” bebernya.

Kata dia, pengepul seperti dirinya tidak mengambil selisih jauh ketika membeli dari masyarakat. Hanya antara Rp2000–3000 perkilogram.

“Dari selisih itu tidak semuanya untung kami, karena kami juga nutup uang bensin dan ongkos sewa truk untuk bawa karet tersebut ke pembeli lain,” ungkap Imah, seraya menambahkan jika harga jual karet anjlok, pengepul juga susah menjualnya lagi.

BERGANTUNG KUALITAS

Masih di wilayat timur Kalbar, di Sekadau harga jual karet bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Namun secara umum, prospeknya meningkat.

Salah seorang pengepul karet di KM 7, Jalan Sekadau-Sintang, Desa Mungguk, Sekadau Hilir, Sugeng Heriyanto mengatakan, bervariasinya harga karet karena kualitas karet yang berbeda di tiap daerah. “Ada daerah yang kualitas karetnya bagus, dan ada juga yang kualitas karetnya kurang bagus,” beber pria yang akrab disapa Antok itu, belum lama ini.

Di tempatnya, kata dia, kualitas karet yang seluruhnya sudah berbentuk karet lateks, secara umum kurang begitu bagus. “Makanya harganya pun tidak berani saya beli tinggi. Perkilo saat ini Rp9 ribu,” jelasnya.

Kualitas yang kurang bagus itu karena karet lateks tersebut tercampur beberapa bahan. Mulai dari kulit batang karet bekas sadapan hingga akar serabut.

“Jadi kita juga jual ke tauke yang ambil tidak bisa tinggi. Tauke bilang, banyak teli (potongan timbangan, red),” imbuhnya.

Diakui dia, harga Rp9 ribu itu berbeda dengan harga beli di daerah Rawak, Kecamatan Sekadau Hulu, yang bisa mencapai Rp11 ribu. “Sebab karet di daerah Rawak lebih baik kualitasnya,” ungkap Antok.

Alek, salah seorang penyadap karet, mengakui sejak sebulan terakhir, harga jual karet memang mengalami kenaikan. “Tapi kita berharap bisa naik lagi,” ucapnya.

Ia mengatakan, dulu harga karet sangat rendah. Karena itu, banyak warga yang ogah menorehnya. Bahkan, tiga bulan lalu, harga karet di bawah Rp5 ribu.

“Sekarang sih lumayan lah. Makanya semangat juga norehnya. Tapi harapan kita, jangan turun lagi. Sulit juga kita ini,” tukas Alek.

Sementara itu, harga jual karet tertinggi di Kalbar sepertinya dinikmati petani dari kabupaten paling utara, Sambas. Pada Minggu kedua tahun ini harga karet sempat mencapai Rp13,500 perkilogram untuk karet kering yang dulunya hanya Rp11.000. Sedangkan karet basah dijual mencapai Rp11.000 perkilogram, yang dulunya hanya Rp7.500 perkilonya.

Insori, petani karet sekaligus pengepul di Desa Sengawang, Kecamatan Teluk Keramat mengungkapkan, kenaikan harga karet saat ini di level harga lumayan. “Alhamdulillah, masyarakat sangat terbantu dengan kenaikan harga ini. Masyarakat tidak lagi menimbun karet miliknya lantaran harga yang baik. Jadi setelah disadap langsung dijual namun ada juga yang dikeringkan dulu,” bebernya kepada Rakyat Kalbar, pekan lalu.

Bahkan, dikatakan Insori, ia sudah mengantarkan karet untuk dijual ke Pontianak mencapai 9 ton perminggu. “Rata-rata seminggu, setiap petani di Desa Sengawang menjual karet ke saya bisa mencapai 30 kilo. Untuk satu desa dalam satu minggu bisa mencapai 9 ton,” ungkapnya.

Dia menambahkan itu hanya untuk Desa Sengawan saja, belum di desa yang lainnya. Sehingga dalam beberapa minggu ini, Insori mengantarkan karet ke Pontianak untuk dijual kembali hampir seminggu sekali.

“Waktu harga murah, dalam sebulan pun susah mau jual ke Pontianak lantaran petani malas untuk menoreh getah karena harga murah itu tadi,” jelasnya.

 

Laporan: Kamiriludin, Achmad Munandar, Andreas, Abdu Syukri, Sairi

Editor: Mohamad iQbaL