Kisah Pelarian Wiji Thukul ke Pontianak

Mari Tonton "Istirahatlah Kata-kata"

Wiji Thukul

Mungkin masih banyak orang yang tidak mengenal siapa Wiji Thukul. Kini namanya tengah hangat diperbincangkan karena kemunculan film “Istirahatlah Kata-Kata” yang berkisah tentang pelarian seorang aktivis yang bergerilya lewat puisi dan sajak.

I Gde Kharisma Yudha Dharma, Pontianak

eQuator.co.id – Marissa Anita, Melanie Subono dan Gunawan Maryanto adalah sederet nama pemeran di film yang mengkisahkan Wiji Thukul. Film yang judulnya ini diambil oleh sutradara Yosef Anggi Noen dari sepenggal kalimat puisi yang dibuat oleh Thukul, mungkin bisa menjadi media pembelajaran untuk mengenal sosok aktivis yang dituduh sebagai salah satu dalang kerusuhan saat demonstrasi besar-besaran di masa rezim Orde Baru.

Film ini mengajak penonton untuk menerka-nerka bagaimana rasanya menjadi seorang Wiji Thukul yang harus bersembunyi, meninggalkan rumah serta istri dan anak-anaknya, karena dikejar-kejar oleh pemerintah. Dan juga akan membuat kita bertanya-tanya, dimana keberadaan Wiji Thukul yang hingga saat ini masih menghilang.

Ini bukanlah yang pertama kalinya kehidupan Wiji Thukul diangkat dan dibahas secara khusus. Sebuah majalah ternama di Indonesia juga pernah menerbitkan ulasannya pada Mei 2013 lalu dengan judul “Teka-teki Wiji Thukul, Tragedi Seorang Penyair”.

Edisi tersebut menceritakan bagaimana pria cadel ini pamit kepada istrinya untuk pergi bersembunyi pada Agustus 1996. Mengembara dari satu kota ke kota lain untuk menghindar dari kejaran jenderal-jenderal di Jakarta yang marah dan menuding puisinya menghasut para aktivis untuk melawan pemerintahan rezim Orde Baru. Tapi setelah rezim Soeharto tumbang, Wiji Thukul tak juga pulang.

Pontianak, kota yang dilewati garis Khatulistiwa dan sungai Kapuas ini, adalah satu dari sekian banyak tempat yang dipilih Wiji Thukul untuk bersembunyi selama kurang lebih delapan bulan. Dengan dibantu oleh beberapa temannya seperti Stephanus Djuweng, Darlip dan Martin Siregar yang berada di Pontianak pada saat itu, ia mencoba bertahan hidup. Dia berpindah-pindah rumah, bahkan membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan nama Paulus dan menyamar sebagai warga Sungai Ambawang, Kubu Raya.

Kepada Rakyat Kalbar Martin Siregar bercerita. “Aku di telepon Djuweng, bilang Paul (Wiji Thukul) ada di rumahnya bersama Boy yang kawani Thukul bersembunyi ke Kalbar. Beberapa hari kemudian aku antarkan Boy pulang ke Jakarta,” katanya.

Sedangkan Paul terkadang tidur di rumah Dalip Thomas dan Djuweng. Martin pun sering mengunjungi mereka. Sampai akhirnya Martin dan istrinya tinggal serumah bersama Thukul. “Itu saja kronologisnya,” singkatnya.

Martin bertemu Thukul pada awal Agustus 1996. “Saya berani menolong dia, karena panggilan jiwa solidaritas terhadap jiwa orang terancam,” ceritanya.

Martin bermukim di Kota Pontianak selama 10 tahun, dari 1996-2006. Dia sangat senang selama tinggal di sini. “Aku senanglah tinggal di Pontianak, ketemu jodoh di Pontianak…haha, anakku lahir tahun 98 setelah Paul hilang, yah kami ceritain saja kisah hidup ketika Paul bersama kami,” jelas Martin.

Ia juga menanggapi film yang produseri oleh Yulia Evina Bhara ini dengan ucapan “Aku belum nonton. Tapi kalau lihat wacana Anggi, Ebe, aku sangat kagum penguasaan mereka ketika kami ngobrol di pondokku di kampung. Dengan Edo kami juga jumpa di Pontianak. Penguasaan perannya hebat, aku dan istri kagum,” ujarnya.

Sipon istri Wiji Thukul sendiri juga mengenal baik dengan pria yang membantu suaminya ini. “Mbak Pon pernah menelepon tahun 2006 waktu aku di Medan. Wahyu Susilo pernah jumpa di Batam, tapi tak banyak ngobrol. Waktu itu istrinya Thukul kirim popok untuk anakku ketika istriku hamil,” kenangnya.

Martin mengajak masyarakat Kota Pontianak untuk menonton film “Istirahatlah Kata-Kata”. “Tonton lah film ini. Karakter Wiji Thukul yang tidak mempedulikan persoalan material. Thukul menyatakan puisi adalah ibadah kepada Tuhan. Sesama manusia dan mahluk hidup untuk menggapai peradaban yang tinggi,” jelas Martin. (*)