eQuator.co.id – Jakarta–RK. Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluncurkan program e-SPDP atau surat pemberitahuan dimulainya penyidikan elektronik mendapat apresiasi. Lewat program itu, komisi antirasuah bisa mengawasi penanganan perkara di kejaksaan dan kepolisian. Jaksa dan polisi nakal akan sulit main-main dengan perkara.
Saat acara konferensi nasional pemberantasan korupsi (KNPK) pada 1 Desember lalu, KPK berencana membuat program baru yang diberi nama e-SPDP. Program itu dibuat sebagai sarana untuk melakukan supervisi kasus korupsi yang ditangani penegak hukum lainnya.
”Kami apresiasi langkah KPK yang akan meluncurkan program itu,” terang Peneliti Indonesia Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, kemarin (10/12).
Sebenarnya, kata dia, pihaknya sudah lama mendorong agar KPK membuat sistem yang bisa digunakan untuk melakukan supervisi kasus korupsi yang ditangani kejaksaan dan kepolisian. Dengan e-SPDP, komisi antirasuah akan bisa mengawasi kasus korupsi lewat media elektronik. Tidak perlu lagi repot-repot bertanya kepada kejaksaan dan kepolisian secara lisan maupun tulis.
Semua data perkara korupsi yang disidik bisa dilihat lewat program itu. Selama ini, menurut Erwin, tidak semua perkara bisa diketahui KPK. Bahkan, ada penyidikan di kejaksaan yang terkesan ditutup-tutupi, sehingga tidak ada yang mengetahui. Jika e-SPDP sudah diluncurkan, maka tidak ada penyidikan perkara yang disembunyikan.
Lewat e-SPDP, lanjut dia, tidak hanya kasus di pusat saja yang bisa diawasi, kasus yang terjadi di daerah bisa dengan mudah dipantau melalui aplikasi elektronik. Penyidik yang bermain-main dengan kasus korupsi akan bisa terpantau. Selama ini, terangnya, di daerah banyak jaksa yang memanfaatkan perkara untuk mendapatkan untung.
Penanganan perkara itu sengaja dimainkan. Pihak berperkara dimintai uang. Praktik kotor itu bukan rahasia lagi. Menurut alumnus Universitas Gajah Mada itu, kasus Jaksa Ahmad Fauzi menjadi salah satu contoh. Jaksa yang dikenal dekat dengan Kajati Jatim Maruli Hutagalung itu ditangkap setelah memeras pihak berperkara senilai Rp 1,5 miliar.
Jadi, tuturnya, program e-SPDP bisa mencegah jaksa bermain-main dengan perkara. Memang, tutur dia, program itu tidak bisa membersihkan praktik kotor itu 100 persen, tapi bisa meminimalisir terjadi permainan kotor dalam penanganan perkara korupsi.
”90 persen bisa mencegah kecurangan itu,” papar Erwin.
Tentu, tutur dia, jaksa nakal masih akan terus mencari celah bagaimana memainkan kasus. Mereka bisa memeras korbannya saat proses penyelidikan. Jika perkara itu masih dalam tahap penyelidikan, KPK bisa tidak bisa memantaunya lewat e-SPDP. Bahkan sebelum penyelidikan, jaksa nakal bisa menakut-nakuti targetnya dengan perkara yang akan ditanganinya.
Untuk itu, dibutuhkan dukungan kejaksaan. Dia menyatakan, kejaksaan harus aktif mengisi semua perkara korupsi yang sedang disidik. Jangan sampai ada kasus yang tidak dimasukkan dalam program e-SPDP.
Erwin menyatakan, KPK jangan hanya melakukan supervisi saja. Jika ada kasus yang mandek di tangan jaksa, maka lembaga yang berkantor di Jalan HR Rasuna Said C1 itu bisa mengambil alih. Seperti kasus korupsi pembangunan Pasar Besar Madiun dengan menetapkan Wali Kota Madiun Bambang Irianto sebagai tersangka. Begitu juga kasus korupsi di Nganjuk yang menyeret nama Bupati Nganjuk Taufiqurrahman sebagai tersangka.
“KPK bisa ambil alih kalau perkara itu mandek karena dimainkan jaksa,” tutur dia.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan, pengambilalihan perkara yang ditangani kejaksaan maupun kepolisian bisa saja dilakukan. “Langkah itu dilakukan setelah dilakukan koordinasi dan supervisi” kata dia melalui pesan singkat kepada Jawa Pos, kemarin. Selama ini, komisinya sudah melakukan supervisi terhadap perkara korupsi yang ditangani aparat penegak hukum lainnya.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, program itu secepatnya akan diluncurkan. Sebelum dilaunching, akan dilakukan penandatangan surat keputusan bersama (SKB) antara Ketua KPK, Kapolri, dan Jaksa Agung. (Jawa Pos/JPG)