eQuator.co.id – Jakarta-RK. Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah resmi berlaku. Masyarakat diminta lebih bijak dalam menggunakan informasi yang beredar di dunia maya.
Perubahan yang paling terasa pada UU tersebut adalah dalam hal sifat kasusnya. Pelanggaran pidana ITE kini menjadi delik aduan setelah sebelumnya merupakan delik biasa. Sehingga, penegak hukum baru akan memproses bila sudah ada laporan dari pihak yang dirugikan atas konten elektronik.
Yang perlu diingat adalah ketika laporan diproses, maka semua pihak yang terlibat akan terkena. Termasuk yang hanya sebatas ikut-ikutan menyebarkan tanpa tahu dari mana sumbernya.
’’Kalimatnya sudah jelas. Mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik,’’ terang Staf Ahli Kemenkominfo Bidang Komunikasi dan Media Henry Subiakto. Itu bahkan sudah diatur sejak awal UU dibuat tahun 2008.
Karena itu, dia kembali mengingatkan netizen agar jangan mudah menyebarkan sebuah informasi. Meskipun dia tidak mebuat, namun bila yang dia sebarkan bermuatan tuduhan, dan terbukti palsu, tetap bisa dituntut. Bahkan, justru penyebaran itu berpotensi jadi yang utama karena kerusakan terjadi setelah informasi disebarkan.
Hanya, dia menjamin itu tidak akan menghalangi hak seseorang untuk mengkritik. Sebagai contoh, tutur Henry, ketika dia menuding Dirjen Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan gagal total dalam menyosialisasikan UU ITE, maka dia tidak bisa dituntut.
’’Tapi ketika saya menuduh bahwa tidak mau melakukan sosialisasi, beliau bisa melaporkan saya terkait pencemaran nama baik,’’ lanjut pria kelahiran 1963 itu.
Dia mengatakan, mengkritik merupakan hak konstitusi setiap warga, termasuk netizen. Tapi, harus dibedakan antara mengkritik dengan menuduh.
’’Menuduh seseorang itu, di negara liberal sekalipun tidak boleh,’’ ujar guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya itu.
Selama ini, tuduhan semacam itu terkesan menjadi hal biasa karena tidak ada yang melapor. Presiden Joko Widodo misalnya, berulang kali dituding dengan berbagai macam tuduhan yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Namun, lanjut Henry, berhubung Presiden selama ini tidak mengadu, maka seolah hal itu tidak menjadi masalah.
Alur pelaporannya, seseorang membuat status di media sosial atau menulis di blognya, atau membuat berita non pers yang berisi tuduhan terhadap seseorang. Kemudian, ada netizen yang membaca tulisan itu lalu ikut share atau menyebarkan. Pihak yang dituduh tidak terima, lalu melapor ke polisi. Maka, polisi akan mencari siapa yang membuat status itu dan siapa saja yang menyebarkannya.
Mereka berpotensi menjadi tersangka dalam kasus pencemaran nama baik. Prosedur penanganannya disesuaikan dengan KUHAP. Namun, karena berkaitan dengan informasi elektronik, maka ada regulasi untuk mengatur penyebarannya di dunia maya. Itu diatur dalam pasal 27.
Ancaman hukuman bagi para pelakunya kini diturunkan dari enam tahun menjadi maksimal empat tahun. Dengan demikian, ketika menjadi tersangka, tidak perlu ditahan. Hal itulah, ujar Henry, yang seharusnya membuat masyarakat lebih peduli atas informasi di internet.
Bagaimana dengan kasus sindiran, seperti yang dialami Yusniar, warga Makassar? Yusniar membuat kalimat, ‘Anggota DPR Tolo (bodoh), pengacara Tolo’. Dia kemudian ditahan dengan tudingan pencemaran nama baik setelah dilaporkan oleh salah seorang anggota DPRD Jeneponto.
’’Itu kesalahan (penanganan) di lapangan,’’ tegasnya.
Menurut Henry, sindiran semacam itu tidak bisa terkena UU. Sebab, dia tidak menunjuk langsung siapa orangnya. Bila dia menuduh seseorang, barulah bisa dituntut.Namun, ketika sudah menjadi tersangka, dia juga tidak bisa langsung ditahan karena ancaman hukuman maksimalnya hanya empat tahun penjara.
Sementara, Dirjen Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menyatakan, pihaknya akan menyosialisasikan perubahan UU tersbeut sesegera mungkin. Sosialisasi berkaitan dengan bagaimana berperilaku di dunia maya. Netizen harus selalu mengecek lagi sebelum menyebarkan sebuah informasi.
Sebagai gambaran, di dunia nyata, bila ada orang tidak kenal ngomong di jalan, pasti akan ditinggalkan. Hampir tidak mungkin omongannya akan disebarkan.
’’Tapi kenapa kalau di dunia maya, kita nggak kenal orangnya, main ikut nyebarkan saja apa yang dia sampaikan,’’ ujarnya.
Hal itu merupakan semacam culture shock atas booming-nya internet dan media sosial. ’’Bagaimana bertransformasi dari dunia nyata ke dunia digital, dengan membawa nilai-nilai yang ada di dunia nyata kita,’’ lanjut Pria kelahiran 27 Desmber 1964 itu. Jangan sampai nilai-nilai yang dianut sehari-hari di dunia nyata berubah ketika masuk ke dunia maya.
Pihak yang dirugikan juga tidak perlu ragu untuk melapor. Sebab, pemerintah sudah meratifikasi putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengesahan dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum.
’’Kita posting di Facebook lalu ada yang capture. Walaupun konten itu langsung dihapus, tetap ada jejak digitalnya,’’ tambahnya.
Alat buktinya bisa diambil dari hasil capture maupun kontennya sendiri bila belum dihapus. Ponsel akan disita dan akun akan disegel sebagai barang bukti. Bila konten terlanjur dihapus, maka hasil capture itu bisa dijadikan alat bukti.
Bersamaan dengan pemberlakuan UU tersebut, pemerintah juga akan semakin rajin membersihkan konten yang bermuatan pelanggaran UU. Seperti konten pornografi, anti pancasila dan NKRI, anti pemerintah, maker, dan sejenisnya.
’’Tapi itu berlaku untuk non pers,’’ jelasnya. Sebab, konten pers dilindungi oleh UU Pers yang sifatnya lex specialist. Itu merupakan tindak lanjut pasal 40.
Bila ada informasi pers yang melanggar UU, maka pemerintah akan berurusan dengan Dewan Pers, tidak bisa langsung menutup akses terhadap konten tersebut. Dia menjamin, yang diblokir adalah konten milik media non pers.
’’Meskipun dia melakukan kerja jurnalistik, namun ada aturan di UU Pers untuk bisa disebut sebagai media pers,’’ tutur Samuel. Yakni, berbadan hukum.
Selama media itu tidak mengikuti syarat-syarat di UU pers, maka status hukum kontennya tidak bisa disamakan dengan konten milik pers. Di situlah pemerintah bisa langsung bertindak bila ada pelanggaran UU dalam kontennya.
’’Nanti akan kita beresin semua itu,’’ tambahnya. Pemerintah akan merancang PP khusus untuk hal itu.
BERIKUT INI SEJUMLAH KASUS ITE
- Kasus Florence Sihombing, mahasiswa S2 UGM yang menghina masyarakat Jogjakarta melalui Path. Dia dijerat pasal 27 ayat 3 UU ITE
- Kasus Musni Umar, yang menulis di sebuah blog terkait adanya pungutan di sebuah sekolah di Jakarta. Dia dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik.
- Kasus Benny Handoko melawan Misbakun. Benny Handoko membuat status Miskabun terlibat Bank Century. Benny Handoko divonis enam bulan penjara dengan percobaan satu tahun.
- Kasus Prita Mulyasari yang menulis surat pembaca setelah diduga mendapatkan malpraktek di sebuah rumah sakit. Prita dinyatakan bersalah, walau akhirnya bebas.
5. Kasus dua kakak beradik Jamron dan Rizal yang diduga menyebarkan kebencian dan permusuhan terhadap suatu kelompok. Keduanya ditangkap jelang aksi 2 Desember. (Jawa Pos/JPG)