eQuator.co.id – Bagi anak-anak di lereng Gunung Merapi, kursus bahasa Inggris menjadi barang mewah. Komunitas WAU membuat bahasa yang menjadi jendela dunia itu begitu dekat. Turis dari berbagai negara pun ikut serta dalam misi sosial tersebut.
FOLLY AKBAR, Sleman
Yang diinginkan Cahyani Putri Astuti akhirnya terwujud. Sejak lama remaja 12 tahun itu berharap bisa lebih banyak belajar bahasa Inggris. Maklum saja, sekolah tempatnya menempuh pendidikan formal hanya memberikan materi seadanya. Itu pun dilakukan dengan metode formal, yang membuatnya tidak terlalu bersemangat.
Tapi apa daya, keinginan mulia Cahyani untuk belajar lebih harus kandas dihadang tembok kehidupan. ”Di sini tidak ada tempat kursus e, Mas,” ujarnya dengan wajah malu-malu.
Cahyani kini tinggal di hunian tetap (huntap) Gondang 3, Dusun Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Jogja. Rumah tempatnya berteduh hanya berjarak sekitar 8 kilometer dari puncak Gunung Merapi.
Bagi Cahyani dan ribuan anak lainnya di lereng Merapi, kursus bahasa Inggris menjadi barang yang amat mewah. Tak hanya menguras kantong orang tua, jarak yang harus ditempuh pun tidaklah dekat. Lembaga-lembaga kursus hanya ada di Kota Jogja maupun Sleman yang berjarak belasan kilometer dari lokasi mereka.
Tapi, entah mimpi apa, keinginan itu terwujud dalam beberapa bulan belakangan. Kini, dua pekan sekali, dia bersama belasan anak lain di dusunnya bisa merasakan apa itu kursus. ”Saya (sudah) bisa mengartikan buah-buahan dalam bahasa Inggris,” ucapnya antusias. ”Ngobrol juga bisa sedikit-sedikit,” lanjutnya dengan muka polos.
Keinginannya untuk bisa membuka jendela dunia dengan menguasai bahasa internasional mendapat secercah harapan. Cahyani amat berbahagia. Adalah komunitas World Around Us (WAU) Jogja yang berhasil mewujudkan mimpi Cahyani. Atau bahkan mimpi anak-anak lainnya yang hidup di lereng Merapi.
Komunitas yang awalnya memiliki empat personel inti itu sudah setahun menjelma menjadi ”teacher” bagi anak-anak lereng Merapi. ”Sebetulnya kami memberi nama WAU jelas saja. Awalnya warga pada nanya siapa yang mengajar,” terang Fatchur Rahman, salah seorang penggagas WAU, saat ditemui di daerah Plemburan, Sleman, Jogja, memulai pembicaraan.
Terbentuknya WAU, lanjut Fatchur, bisa dibilang tidak terlalu disengaja. Ide mendirikan komunitas yang diresmikan November tahun lalu itu tidak datang dari ruang-ruang yang serius. Sebaliknya, ide tersebut berawal dari alam di lereng Merapi itu sendiri. Semua berawal dari hobi traveling yang sering dilakukan Fatchur.
Bersama Rio Paul, Indra Yoga, dan seorang warga Belanda yang menetap di Jogja, Famkeoud, Nuno –sapaan akrab Fatchur– kerap menghabiskan akhir pekan dengan traveling di kawasan Merapi. Siapa sangka, aktivitas yang identik dengan bersenang-senang itu justru menciptakan kegelisahan di benaknya.
Penyebabnya adalah kondisi masyarakat di lereng Merapi itu. Setelah erupsi Merapi pada 2010, proses recovery masyarakat di sekitar lereng tak kunjung tuntas. Jika dari aspek infrastruktur mulai ada perbaikan, aspek kehidupan sosial justru dihadapkan pada situasi yang rumit. Relokasi dari rumah ke huntap membuat masyarakat lereng Merapi mengalami perubahan. ”Yang biasanya main di ladang atau kebun, anak-anak kehilangan itu semua,” ujar Nuno dengan raut sedih.
Tak ayal, tidak sedikit anak yang terjerumus pada aktivitas-aktivitas yang dinilai kurang bermanfaat. Mulai motor-motoran, pacaran, hingga keranjingan gadget. ”Jujur kami gelisah. Kami merasa tidak cukup hanya traveling. Kami ingin beri sumbangsih,” tegas pria 35 tahun tersebut.
Setelah melalui pertimbangan dan pembicaraan matang di sebuah kafe di salah satu sudut Kota Jogja, Nuno bersama ketiga rekannya memutuskan untuk memberikan kelas bahasa Inggris. Tujuannya, menciptakan ruang dan kegiatan positif bagi bocah-bocah lereng Merapi.
Kelas bahasa Inggris dipilih bukan tanpa alasan. Selain memang memiliki latar belakang bahasa Inggris, Nuno sadar potensi wisata kawasan lereng Merapi dan Jogja pada umumnya sudah mendunia. Di sisi lain, kompetensi yang dimiliki masyarakatnya dalam berkomunikasi terhitung minim. ”Ini akan bermanfaat saat turis datang. Biar mereka ’berani’ dengan bule,” tutur pria asal Jepara tersebut.
Sontak, tanpa banyak menunggu, beberapa dusun di lereng Merapi langsung dia datangi. Kepala dusun, ketua RT, hingga orang tua dia ajak bicara. Gayung pun bersambut. Respons masyarakat ternyata sangat besar. Bahkan, beberapa dusun memintanya langsung mengajar anak-anak di dusunnya. ”Mereka bilang ingin seperti dusun sebelah. Anak-anaknya ada yang ngajari,” ungkap Nuno.
Hingga kini sudah ada enam dusun di lereng Merapi yang menjadi tempatnya rutin berbagi jendela dunia. Mulai Dusun Dongkel Sari, Pager Jurang, dan Gondang 3 di Sleman hingga Dusun Deles Indah, Ringin, dan Girpasang di Klaten, Jawa Tengah.
WAU sebetulnya sangat ingin memperluas jangkauan. Namun, tenaga yang ada belum cukup untuk merealisasikannya. Belakangan mereka memang merekrut dua personel baru. Ayu dan Oben menambah dalam struktur pengurus menjadi enam orang. Tapi, itu belum cukup.
Nah, untuk menyemarakkan kegiatan belajar, WAU mulai mencari orang-orang yang bersedia menjadi volunter (relawan). Atau orang-orang yang mau ikut terlibat dalam proses belajar-mengajar. Supaya tidak terkesan formal, para volunter tidak diikat secara tetap. Mereka dibebaskan untuk ikut sesukanya. Sesuai dengan waktu yang mereka miliki.
Untuk menarik minat masyarakat, khususnya para pemuda, ikut mengajar, Nuno memutuskan untuk tidak menghilangkan kebiasaan kampingnya. ”Jadi, kami semacam open trip siapa yang mau ikut (jadi volunter). Malamnya kamping, besoknya ngajar anak-anak,” jelas dia.
Antusiasme masyarakat untuk terlibat ternyata cukup besar. Dalam sekali aktivitas, ada lima atau bahkan pernah mencapai 20 relawan yang ikut terlibat. ”Semua tidak dibayar. Keperluan ditanggung masing-masing.”
Uniknya, bukan hanya dari dalam negeri, minat menjadi volunter juga datang dari banyak turis mancanegara. Mulai yang dekat seperti Singapura, Malaysia, atau Bangladesh hingga bule lintas benua seperti Rusia, Australia, Belanda, dan Inggris. ”Direktur English First (lembaga kursus berjaringan internasional yang berpusat di Swiss, Red) malah pernah ikut,” kata Nuno, lantas terkekeh.
Dalam menarik minat anak-anak untuk belajar, WAU mengonsep pembelajaran dengan permainan. Tak lupa, barang-barang bekas di sekitar jadi mediumnya. Selain menghilangkan kesan bosan, cara tersebut dinilainya lebih mudah dipahami anak-anak.
Dalam satu kelas, rata-rata tak kurang dari 20 anak yang ikut serta. Materi yang diberikan juga disesuaikan dengan usia siswa. Bagi siswa yang sudah berusia SMP, misalnya, WAU sudah berani memberi mereka materi percakapan sederhana. ”Yang PAUD seperti mewarnai, tapi kami kenalkan warna dalam bahasa Inggris,” ucapnya.
Tapi, kendala bukannya lantas tidak ada. Sebab, bukan anak-anak namanya kalau tidak bandel. Diakuinya, beberapa ”kenakalan” anak-anak yang cukup over juga menjadi tantangan tersendiri. ”Ada yang penginnya main aja. Disuruh bawa buku, pulpen, wegah (tidak mau),” ceritanya.
Tapi, hal itu tidak membuat WAU patah arang. Sudah mau ikut dan meninggalkan aktivitas yang tidak terkontrol di luar sana saja, menurut Nuno, sudah bagus.
Nuno dan kawan-kawan lainnya menyadari bahwa apa yang mereka berikan belum tentu membuat anak-anak gunung mahir berbahasa Inggris. Sebab, sejak awal dia memang tidak memiliki target sejauh itu.
Namun, yang terpenting, menurut dia, kehadiran WAU membawa orang-orang luar ke pelosok Merapi bisa menumbuhkan mental baru bagi anak-anak. Mental yang tidak lagi merasa dirinya inferior dan terbelakang. ”Awalnya prengas-prengos (takut dan malu) kalau ketemu orang luar. Sekarang mereka tahu, ternyata orang asing itu biasa dan sama saja,” pungkasnya. (*/Jawa Pos/JPG)