eQuator.co.id – Data kehutanan yang belum dipublikasikan secara utuh oleh pemerintah menyebabkan lemahnya pengawasan lingkungan. Catatan Greenpeace, tidak adanya keterbukaan itu menjadi salah satu faktor penyebab konflik tata ruang wilayah kawasan hutan di sejumlah wilayah.
Peta kawasan ekosistem Leuser (KEL), misalnya. Wilayah tersebut saat ini tengah dalam proses gugatan di pengadilan lantaran tidak dimasukkan kedalam rancangan tata ruang wilayah Aceh. ”Masalah ini merupakan cerminan tidak transparannya pemerintah dalam proses penetapan peta dan regulasi penataan ruang,” ujar Direktur Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan (HAkA) Farwiza Farhan, di Jakarta kemarin (12/11).
Tidak hanya itu, beberapa pekan lalu Greenpeace menemukan titik api di sebuah lahan konsesi hutan tanaman industri (HTI) di Tanah Putih, Rokan Hilir, Riau. Keterangan kepolisian dan masyarakat setempat tidak bisa mengonfirmasi siapa pemilik konsesi. ”Di konsesi juga tidak tersedia keterangan, seperti papan nama perusahaan,” ungkap kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak.
Pemerintah semestinya merealisasikan putusan KIP pada Senin (24/10) tersebut. Yakni membuka peta dan data kehutanan dalam format shapefile (peta digital). Tidak adanya transparansi membuat masyarakat kesulitan menjaga wilayah hutan. ”Peta ini juga membantu masyarakat yang tinggal di kawasan hutan yang kerap terancam akibat operasi perusahaan besar,” bebernya.
Leonard mengatakan, upaya pemerintah meratifikasi perjanjian Paris tentang perubahan iklim semestinya menjadi patokan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membuka peta tersebut. Mereka juga tidak seharusnya mengajukan banding ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) atas putusan KIP. ”Ini menjadi preseden buruk dalam hal keterbukaan informasi,” imbuhnya. (tyo)