eQuator – SAYA takut ruang sempit, tikus, hiu, dan semakin terpisah-pisahnya anak sekolah zaman sekarang.
Saat masih kecil, kita mungkin paling takut dimarahi orangtua atau guru. Atau mungkin juga tidak. Ayah saya termasuk jarang marah langsung, dan selalu membiarkan kenakalan-kenakalan terjadi.
“Biar merasakan sendiri akibatnya,” katanya.
“Kalau ketahuan paling dimarahi. Dan dimarahi kan tidak bikin mati?” katanya di lain kesempatan.
Ketika remaja, dan mulai pacaran, mungkin paling takut ditinggal pacar. Tapi, ini fase pendek, sangat cepat berlalu. Percayalah, jangan pernah takut soal yang ini. Ditinggal? Ya cari lagi. Ketika usia terus bertambah, dan punya anak, mulai deh ada ketakutan yang lain.
Saya punya kesimpulan bahwa ada dua ketakutan utama manusia di dunia ini. Semua akan merasakan ketika usia bertambah dan kalau punya anak.
Satu, takut soal kesehatan. Tidak semua rela menjaga makan, berolahraga cukup, atau merawat badan, tapi semua pasti tidak ingin sakit. Aneh, karena hidup ini kan sebab-akibat wkwkwkwk (tertawa,red). Tidak mau sakit, tapi makan sembarangan, malas olahraga, dan suka cari jalan pintas!
Dua, takut anaknya tidak pintar. Hampir semua pasti ingin memberikan pendidikan terbaik untuk anaknya. Apa pun kemampuan ekonominya. Mungkin karena itulah dulu orangtua saya bekerja keras supaya saya bisa sekolah di luar negeri. Dan kesempatan harus diambil. “Mumpung mampu,” katanya.
Bagi yang tidak bisa ke luar negeri, tentu segala upaya dikerahkan agar anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Biaya sekolah pun bisa mengalahkan cicilan rumah, mengalahkan kebutuhan-kebutuhan lain.
Memilih sekolah? Ampun pusingnya. Apalagi kalau harus menentukan jalan sampai lulus SMA. Seperti yang istri saya alami baru-baru ini (karena dia yang pusing ngurusi anak).
Saat memilih-milih, benar-benar tidak ada yang ideal. Semua ada komprominya. Kalau ke sini begini tapi begitu, kalau ke sana begini tapi begitu. Akhirnya pilihan bukanlah karena itu yang dianggap terbaik, tapi itu dianggap kompromi terbaik.
Rasanya kok simpel sekolah zaman saya dulu ya? Masuk SD negeri. Beres.
Sekarang? Masuk negeri, khawatir ini-itu. Masuk sekolah Islam, khawatir ini-itu. Masuk sekolah internasional, khawatir ini-itu.
Dan melihat sekeliling, kanan-kiri, situasi teman-teman dan keluarga lain, ya Tuhan, saya semakin sadar akan realitas bahwa anak-anak kita ini semakin terpisah-pisah dari satu sama lain berdasar kemampuan ekonomi, bahkan latar belakang keturunan, dan agama!
Sebenarnya, sejak bertahun-tahun lalu saya sudah mulai merasakannya. Karena itulah saya getol bikin kegiatan-kegiatan anak muda (baik itu jurnalistik, basket, dan lain-lain) yang pada intinya mempertemukan semua anak-anak itu.
Hanya ketika punya anak dan anak mulai masuk SD ini saya semakin sadar, makin lama kok makin terpisah yaaaa? Dan terpisahnya sejak kecil!
Lalu, ada pengalaman-pengalaman yang membuat saya semakin ngeri dengan masa depan anak saya, dan anak-anak lain. Misalnya, ada cerita dari sekolah ‘anak orang kaya’, yang melarang anak-anaknya bergaul dengan ‘orang-orang biasa’. Dan karena ‘anak-anak orang kaya’ itu kumpulnya dengan kalangan yang sama terus, saya bertemu dengan banyak di antara mereka —masih kecil maupun remaja— yang seperti ‘tidak menginjak bumi’.
Di sisi lain, ada cerita dari beberapa teman yang anaknya menimba ilmu di sekolah bertema agama. Mereka syok, anak-anaknya yang masih SD ada yang menolak makan burger karena itu dianggap simbol Amerika! Padahal, itu tidak ada kaitannya dengan agama.
Lalu, beberapa waktu lalu, ada pengalaman pribadi yang membuat saya makin sedih lagi. Karena itu pertanda perbedaan bisa akan semakin melebar di masa mendatang.
Seperti biasa, saya asyik bersepeda sangat pagi ke arah luar kota. Dasar hukum probabilitas, pada suatu saat saya pasti akan terlibat kecelakaan.
Benar saja, ketika menanjak pelan (kecepatan paling 13 km/jam), tiba-tiba saja saya ditabrak dari belakang. Badan saya tidak apa-apa, tapi sepeda saya patah. Yang menabrak: Seorang anak SMA yang tidak mengenakan helm, dengan baju seragam yang tidak rapi.
Instan, saya sadar dia bukan anak orang mampu. Sekolahnya juga bukan sekolah tempat anak-anak orang mampu. Tapi, tidak boleh dong dia bebas begitu saja hanya karena belas kasihan.
Kami pun ke kantor polisi setempat. Saya tidak menuntut ganti rugi apa-apa. Saya meminta guru dan orangtuanya datang, dan dia ditilang sesuai peraturan. Saya minta dari sekolah ada hukuman tertentu, karena ternyata di sekolahnya juga ada larangan naik motor. Dan dia melanggar hukum karena tidak pakai helm dan baru saja menabrak orang lain yang bisa mengakibatkan cedera atau fatal.
Beberapa guru datang. Tapi, alangkah syoknya saya ketika salah satu guru itu bicara seperti ini: “Anda kan orang kaya, Mas, biarkan saja lah”.
Glodak! Gedubrak! Klontanggggg!!!! Terus terang, saya agak ‘naik’ mendengar itu. “Lalu saya tidak boleh kaya, Pak?” balas saya.
Bayangkan, anak itu bisa saja membuat saya cedera parah. Dan saya hanya minta dia ditilang karena tidak memakai helm dan tidak punya SIM. Lalu sekolah memberi sanksi untuk menjadi pelajaran. Saya tahu dari awal dia dan keluarganya pasti tidak mampu mengganti rugi kerusakan sepeda saya. Dan saya merelakan itu.
Tapi, saya benar-benar sedih ketika ada guru, ya GURU, malah bilang supaya saya membiarkan karena saya orang kaya. Kalau gurunya seperti itu, seperti apa murid-muridnya? Lha guru-guru di sekolah-sekolah lain seperti apa?
Untunglah ada kepala sekolahnya datang, seorang perempuan yang tampaknya sangat care terhadap pendidikan di tempatnya. Dia bilang, seburuk-buruk apa pun anak didiknya, dia tetap harus mendapatkan pendidikan. Jadi, sanksinya adalah skors seminggu dengan tugas-tugas.
Anyway, apakah saya satu-satunya orang yang khawatir dengan semakin terpisah-pisahnya anak-anak kita dari satu sama lain? Bahwa pikiran orang kok rasanya semakin sempit, apa pun latar belakang dan golongannya.
Katanya ini Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu. Lha kok berbeda-beda sekolahnya juga beda-beda? Dan teruuuuuus beda sampai dia menuju dewasa?
Ironisnya, kalau ingin anak kita lebih mandiri, lebih berbaur dengan orang dengan berbagai latar belakang, justru yang terbaik dikirim ke Amerika atau Australia atau negara lain. Karena di sana bisa jauh dari orang tua, tidak ada yang melayani, harus belajar beradaptasi dengan orang dari berbagai latar belakang dan kultur. Bisa jadi lebih mandiri, bisa jadi lebih toleransi.
Betapa ironisnya. (*)