eQuator – Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas mengatakan praktik jual beli yang dilakukan Pertamina berpotensi merugikan negara.
Alasannya, praktik jual beli dengan skema trader bertingkat akan menyuburkan munculnya bisnis gas yang tidak sehat.
Firdaus menjelaskan, dengan rantai distribusi gas yang panjang akan menimbulkan inefisiensi dan praktik rente.
“Selain itu, dengan semakin panjang rantai distribusi maka semakin mahal harga yang sampai ke pengguna. Dampak ke penerimaan negara juga semakin berkurang, karena margin sudah diambil para trader,” tegas Firdaus, di Jakarta, Selasa (3/11).
Pernyataan Firdaus tersebut berkaitan dengan munculnya dokumen yang menjelaskan, pola penjualan gas yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) melalui sejumlah anak usahanya, seperti PT Pertamina EP dan PT Pertagas yang melibatkan sejumlah trader.
Manajemen Pertamina disinyalir menjadi penyebab tingginya harga gas di pasaran. Selain itu, pola yang diterapkan perusahaan migas pelat merah dalam bisnis gas tersebut menyebabkan munculnya trader gas bertingkat.
Dalam dokumen ‘Pengaturan Harga Gas’ yang dikeluarkan BPH Migas pada Oktober 2015, yang salinannya kini tersebar mencontohkan praktek trader gas bertingkat yang membuat harga gas di konsumen sangat tinggi.
Praktik trader gas bertingkat itu menyebabkan tidak bisa dilakukan kontrol terhadap selisih harga gas dari pasok (harga gas hulu) dengan harga gas di konsumen.
“Dengan tidak terkontrolnya selisih harga dari pasok dan harga di konsumen, memungkinkan selisih harga gas ini menjadi besar, yang memungkinkan menciptakan banyak trader pada rantai transaksi dari pemasok sampai ke konsumen,” tulis dokumen tersebut.
Firdaus menambahkan, di beberapa daerah seperti Jawa Timur, jalur-jalur distribusi gas dikuasai trader. Padahal mereka tidak punya infrastruktur sama sekali dan hanya bermodalkan kedekatan politik dan kekuasaan dan itu terus dilegalkan.
“Dampak buruknya tidak hanya konsumen tapi bisa juga sampai ke PLN. Ini terjadi karena tata kelola yang salah kaprah sehingga menyuburkan praktek rente,” lugasnya.
Ia mengingatkan, jika distribusi gas dimiliki oleh mereka yang memiliki relasi kekuasaan kuat, bahkan sebagian besar mereka yang ada di partai politik maka makin susah ada efisiensi.
“Ke konsumen mahal, negara tidak mendapat maksimal. Padahal ini sektor energi primer, ujungnya juga bisa menambah laju inflasi. Industri juga seperti industri baja, petrokimia, keramik dirugikan karena harga gas jadi mahal akibat ulah trader,” ulasnya. (jpnn)