eQuator.co.id – Pulau Semiun menarik untuk dikunjungi karena keindahan alamnya. Namun, belum banyak orang yang singgah di sana. Berikut lanjutan catatan wartawan Jawa Pos FERLYNDA PUTRI yang dua pekan lalu mengunjungi pulau itu.
Perjalanan panjang nan mendebarkan selama sepuluh jam dari Pulau Sedanau, Natuna, terbayar, begitu haluan perahu pompong yang saya tumpangi mendekati bibir pantai Pulau Semiun. Keindahannya terlihat di depan mata. Pasir pantai yang putih, batu-batu besar yang berwarna gading, serta pohon-pohon kelapa yang melambai-lambai seakan-akan mengundang saya untuk segera menginjakkan kaki ke tanah pulau tersebut.
Pulau Semiun merupakan salah satu pulau terluar Indonesia di kawasan Laut China Selatan. Pulau itu berbatasan dengan Malaysia di sisi timur dan barat serta Vietnam di sisi utara.
Dengan letak geografis seperti itu, Semiun rawan dicaplok negara lain. Terlebih bila kemudian diketahui bahwa di pulau tersebut terkandung hasil tambang yang melimpah.
Letak yang jauh dan medan yang sulit membuat pulau tersebut jarang didatangi orang. Nelayan pun enggan mampir ke Pulau Semiun, kecuali bila badai datang dan mereka harus mencari tempat yang aman.
”Selama jadi nelayan, saya belum pernah ke Pulau Semiun sekali pun,” tutur Ari, nelayan Pulau Sedanau. Hal yang sama diungkapkan Muslimin.
Bahkan, bapak tiga anak itu mengaku tidak tahu letak Pulau Semiun. ”Ke Pulau Laut saja saya belum pernah, apalagi ke Semiun,” ucap pria 39 tahun itu.
Pulau Laut dan Pulau Semiun sebenarnya berdekatan. Sekitar dua jam perjalanan dengan perahu pompong. Namun, untuk menuju pulau itu, diperlukan nyali besar, mengingat gelombang tinggi dan badai angin barat siap menyambut siapa saja yang mengarungi laut tersebut.
Pulau Laut lebih luas bila dibandingkan dengan Pulau Semiun. Berbeda dengan Pulau Semiun, Pulau Laut dihuni banyak warga. Lebih dari seratus kepala keluarga. Karena itu, Pulau Laut menjadi satu kecamatan tersendiri di Kabupaten Natuna. Bahkan, pemerintah berencana mendirikan pangkalan militer di pulau itu untuk menjaga kawasan terluar Indonesia.
Sebagian warga Pulau Laut memiliki kebun kelapa di Pulau Semiun. Mereka menyewa orang untuk mengelola kebun itu.
Hanya ada dua warga yang ‘merelakan’ diri untuk tinggal di pulau seluas 18 hektare itu. Mereka adalah kakak beradik Muhammad Siral dan Pap Haidir.
Sehari-hari keduanya hidup di pulau terpencil itu. Mereka memiliki rumah sendiri-sendiri.
Saat perahu pompong yang saya tumpangi bersama nakhoda Andryja Sakita dan pembantunya, Zahir, hampir sampai di pantai, ada enam pompong lain yang sandar di tempat itu. Rupanya para pemiliknya sedang berlindung dari badai angin barat yang datang tiba-tiba, seperti yang kami alami beberapa jam sebelumnya.
Menurut Zahir, pompong-pompong itu berasal dari berbagai pulau lain. Ada yang berasal dari Anambas, ada pula yang berangkat dari Tanjung Pinang.
”Banyak karang, pompong tidak bisa merapat di darat,” teriak Aan –panggilan Sakita.
Aan pun memutuskan untuk menurunkan jangkar. Saat itu posisi perahu sekitar 200 meter dari bibir pantai. Dia kemudian mencoba memberi kabar nelayan atau warga yang berada di pulau tersebut. Tapi, teriakannya tak berbalas. Akhirnya, dia memutuskan untuk menyeberang ke Pulau Semiun dengan menggunakan tutup bak dari plastik.
Ombak tak membiarkan Aan sampai di daratan dengan mudah. Beberapa kali dia terombang-ambing. Namun, dengan sekuat tenaga, dia terus mendayung dengan tangan.
Sesampai di Pulau Semiun, Aan langsung masuk ke salah satu rumah warga. Dia kemudian keluar bersama seorang lelaki yang belakangan saya ketahui bernama Muhammad Siral, pemilik tempat tinggal yang lebih mirip dengan gubuk itu.
Tak berapa lama, Aan kembali ke perahu sambil membawa perahu dayung milik Siral. ”Pompong mereka juga tidak bisa menjemput. Kita terpaksa menunggu besok pagi, setelah laut pasang. Malam ini kita menginap di pompong ini,” ucap pria 31 tahun tersebut.
Aan tidak berani membawa kami dengan perahu dayung. Sebab, perahu itu hanya muat satu orang. Saat itu, hari sudah petang. Sebentar lagi langit gelap.
Saya dengan terpaksa mengikuti apa perintah Aan. Pasalnya, saya tidak berani bila harus menyeberang sendiri menuju daratan Pulau Semiun.
Maka, mau tidak mau, semalaman saya harus tidur dan beraktivitas di dalam perahu ukuran 3 x 5 meter itu. Untuk penerangan, pompong itu hanya diterangi lampu bolham 5 watt. Sinyal HP timbul tenggelam. Praktis saya hanya bisa duduk-duduk menghitung bintang sambil menunggu rasa kantuk tiba.
“Kalau mau buang air, nunggu malam ya, Mbak,” kata Aan mengingatkan saya. Mungkin maksudnya supaya langit benar-benar gelap dan mereka sudah terlelap, sehingga aktivitas saya tidak terlihat.
Saya terpaksa harus menahan pipis yang sudah mulai terasa sejak di tengah laut. Saya juga mengurangi minum agar tidak menambah keinginan untuk buang air.
Sekitar pukul 18.00 langit sudah gelap. Tak berapa lama, rasa kantuk itu datang. Saya pun segera merebahkan badan untuk istirahat. Toh tidak ada aktivitas lain kecuali tidur.
Entah sudah berapa lama saya tertidur, mendadak saya terbangun. Rupanya keinginan saya buang air kecil sudah sulit ditahan lagi. Jam di HP saya menunjukkan pukul 23.45, hampir tengah malam.
Pompong sudah gelap karena lampu dimatikan. Suara dengkuran Zahir terdengar dari bagian belakang perahu. Setelah mempertimbangkan masak-masak, saya akhirnya memutuskan untuk buang air kecil di kegelapan malam di laut. Lega. Akhirnya saya kembali tidur dengan nyenyak.
Paginya, air laut mulai pasang. Saya dan Zahir segera merapat ke bibir pantai. Sedangkan Aan menyeberang menggunakan perahu milik Siral. Sekitar pukul 07.00, saya menginjakkan kaki di pulau eksotis itu. Saya disambut hangat oleh Siral. Dia kemudian menyuguhkan air kelapa muda.
“Biar Mbak nanti tidak mabuk laut lagi,” tutur pria 56 tahun itu. Siral mengaku sudah menghuni pulau itu selama 45 tahun. Sedangkan Haidir, adiknya, sudah 35 tahun.
Mereka sebenarnya punya keluarga sendiri-sendiri yang tinggal di Pulau Laut. Namun, hanya kalau mau menjual hasil kebun kelapa dan telur penyu saja, mereka pulang ke Pulau Laut.
Minimal sebulan sekali. Tentu saja sambil menemui anak istri. Siral memiliki tiga anak. Sedangkan Haidir punya lima anak.
“Kadang-kadang saja anak-anak dan istri ke sini,” ujar Siral.
Untuk hidup sehari-hari, keduanya membawa bekal dari Pulau Laut. Mereka bergantian menyeberang ke Pulau Laut untuk membeli kebutuhan hidup. Jika laut sedang bergejolak, Siral dan Haidir memilih untuk tinggal di Semiun lebih lama.
“Kalau bahan makanan habis, terpaksa kami memotong peliharaan ayam kami di sini,” cerita Siral lagi. Di pulau itu juga tidak memiliki sumber air tawar yang melimpah.
Untuk kebutuhan minum, mandi dan mencuci, mereka mengandalkan satu-satunya sumber air di tengah pulau. Selain itu, kalau musim hujan, mereka menadah air hujan. Kondisi itu sudah dirasakan Siral dan Haidir bertahun-tahun sehingga mereka sudah hafal apa yang harus diperbuat bila musim kemarau maupun musim penghujan.
Rumah Siral terbuat dari papan kayu, berbentuk rumah panggung. Luasnya sekitar 5 x 6 meter. Rumah sederhana itu dibagi menjadi tiga ruangan. Yakni teras, ruang tengah yang digunakan untuk tempat tidur, dan bagian dapur. Jangan harap menemukan kamar mandi yang layak.
Kamar mandi berada di luar rumah dan terbuat dari papan kayu sebagai dindingnya. Baknya menggunakan drum plastik. Gayungnya menggunakan jeriken yang dipotong setengah.
“Kami tidak menggunakan WC,” kata Haidir. Untuk buang air besar, mereka cukup lari di kebun.
Rumah Haidir lebih unik lagi. Selama 35 tahun, dia hidup di sela-sela batu besar yang berongga ke dalam. Hanya ada satu ruangan yang dia gunakan untuk tempat tidur sekaligus dapur. Jika malam mereka tidur dalam kegelapan. Jika udara dingin mulai menggigit, keduanya mengandalkan api dari kayu kering atau kulit kelapa yang dibakar.
“Api bisa juga digunakan untuk mengusir nyamuk. Nyamuknya mati, orangnya pingsan,” kelakar Haidir sambil menunjukkan tempat tinggalnya yang unik.
Di dinding batu itu, rumah Haidir terlihat gosong bekas asap pembakaran kayu. Lantai tanah di dekat dipannya terdapat seonggok kayu yang sebagian sudah menjadi arang.
Menurut Haidir, Tuhan bersikap adil. Buktinya, dirinya bersama Siral yang jauh dari rumah sakit jarang dihinggapi penyakit. Bahkan untuk sekadar batuk, pilek, atau pusing, keduanya jarang merasakan.
“Asal makan yang banyak, penyakit takut,” tutur Haidir.
Dari kebun kelapa, Siral dan Haidir setiap pulang membawa 3-4 karung kelapa ke Pulau Laut. Satu karung kelapa dihargai Rp 150 ribu-Rp 180 ribu. Tentu perolehan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Maka, mereka juga membawa telur penyu untuk dijual.
Mereka sebenarnya tahu bahwa telur penyu dilarang dijualbelikan. Namun, hal itu terpaksa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dapur keluarganya di Pulau Laut. Dari telur penyu, mereka bisa memperoleh tambahan uang Rp 300 ribu untuk beberapa butir.
“Kami ambil telur yang ada di kebun kami. Hampir setiap hari ada saja penyu yang bertelur,” tutur Siral.
Dari pendapatan tersebut, mereka bagi untuk kebutuhan hidup dan sekolah anak-anak. Anak tertua Siral kini sudah menjadi sarjana dan bekerja sebagai pegawai di Ranai, ibu kota Natuna. Sedangkan anak Haidir masih kecil-kecil. Yang terbesar masih duduk di kelas XI SMA.
Dengan keterbatasan, Siral maupun Haidir tetap ingin tinggal di Pulau Semiun. Bendera merah putih pun mereka pasang di atas batu besar dekat gubuk mereka sebagai penanda bahwa pulau itu masih milik pemerintah Indonesia. (*/JPG)