Candi di Negeri Baru, Sebuah Berkah yang Kurang Dikelola

Dugaan Keberadaan Majapahit di Ketapang

eQuator.co.id – Temuan candi di Negeri Baru, Kecamatan Benua Kayong, Ketapang, pada 2010 silam merupakan berkah bagi arkeolog dan sejarawan. Tentu anugerah pula bagi masyarakat setempat dan Kalbar. Sayang, hingga kini, kurang dikelola dengan baik.

Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Kalimantan Selatan, Imam Hindarto menjelaskan, pun ditemukan indikasi adanya candi di Amuntai dan Margasari. Keduanya berada di Kalimantan Selatan.

“Terdapat pula di wilayah Malaysia, yaitu di daerah Santubong. Penemuan candi ini merupakan peluang dan tantangan bagi para arkeolog ataupun sejarawan untuk membuka tabir sejarah Kalimantan,” tulis Imam dalam rilisnya, Jumat (22/7).

Kata dia, nilai sejarah penemuan candi di Negeri Baru membuat banyak arkeolog mencoba menginterpretasikan keberadaannya. Sementara, kebanyakan dari masyarakat menyandarkan pada kisah yang berkembang secara turun-temurun. Namun demikian, perlu ditelisik berbagai sudut pandang yang lain. Salah satunya dalam gaya arsitektur candi. Berdasarkan denahnya, Candi Negeri Baru itu menunjukkan gaya candi-candi di Jawa Timur.

“Ciri utamanya adalah bangunan graha yang menjorok ke belakang. Apabila merujuk pada Negarakertagama, tampak daerah Sukadana, Melano, Tanjung Pura dan Kendawangan, merupakan vasal (daerah taklukan,red) dari Majapahit,” terangnya.

Menurut Imam, fenomena budaya Majapahit ini muncul pula di batu nisan Makam Keramat Tujuh dan Sembilan. Bentuk batu nisan pada kedua makam tersebut senada dengan di Makam Troloyo di lingkungan Keraton Majapahit, yang terletak di Desa Sentonorejo, Mojokerto, Jawa Timur.

“Penanggalan yang dipahatkan pada batu nisan menggunakan angka Jawa Kuna dengan tahun Saka. Angka tahun tersebut berkisar abad ke-15 Masehi. Hal ini memperkuat dugaan keberadaan budaya Majapahit yang hadir di wilayah Ketapang,” bebernya.

Ia mengatakan, Candi Negeri Baru merupakan tonggak kemajuan dalam rancang bangun arsitektur. Tata letak dan desain bangunan candi mengacu pada kitab Manasara Silpasastra. Kitab ini mengatur keselarasan rancang bangun arsitektur candi dengan alam kedewataan. Keharmonisan tersebut menunjukkan kearifan dan kepribadian masyarakat yang membangunnya.

Imam menyebut, budaya baru yang berkembang di Ketapang didukung oleh dua aspek, yaitu lokasi geografi dan kepribadian masyarakat. Wilayah Ketapang mempunyai daya tarik tersendiri, berupa keberadaan laut dan akses pedalaman. Garis pantai wilayah ini cukup panjang dan merupakan akses keluar-masuk antara Laut Jawa dengan Laut Tiongkok Selatan.

Perniagaan dengan wilayah mancanegara sudah lama dilakukan melalui jalur ini. Wilayah pedalaman yang didukung Sungai Pawan memungkinkan pertukaran barang-barang dengan baik dari dalam maupun luar. Nilai kewilayahan tersebut mampu mendorong interaksi budaya hingga muncul dan berkembang budaya baru.

“Tidak kalah pentingnya adalah keterbukaan masyarakat terhadap pendatang dari luar berikut budayanya. Masyarakat Ketapang masa lalu mampu menerima budaya baru,” analisa Imam.

Ia menambahkan, hal itu tercermin pada keberadaan candi yang merupakan produk budaya luar. Bahkan, keberadaan candi yang mencirikan budaya Hindu/Buddha diapit oleh dua komplek makam Islam yang sejaman. Dua karakter budaya ini dapat hidup berdampingan dengan harmonis.

“Pelajaran dari masa lalu ini merupakan modal utama dalam pembangunan kualitas hidup masyarakat di Ketapang,” yakin dia.

Lebih lanjut, Candi Negeri Baru disebutnya berada pada konteks sistem budaya yang berbeda dengan sebelumnya. Artinya, candi ini ditemukan dalam kondisi sudah tidak ada pendukung budayanya. Kendati demikian, bukan tidak mungkin berkah dari candi tersebut masih bersisa. Jawaban atas pertanyaan tersebut bergantung candi itu akan dikelola atau tidak.

“Berkaca pada enam tahun lalu, ketika candi mulai ditampakkan. Meskipun hanya beberapa bulan dan setelah itu ditimbun kembali,” ungkapnya.

Imam menyarankan, pengelolaan Candi Negeri Baru dilakukan pada tiga aspek, yaitu nilai, fisik bangunan, dan fungsi baru. Pengelolaan nilai-nilai penting dari candi dapat dilakukan melalui penelitian interdisipliner.

Artinya, nilai yang menunjukkan kearifan budaya representasi candi itu, kemudian ditransformasikan melalui sistem pendidikan. Nah, pemahaman akan nilai kearifan budaya ini merupakan pilar utama dalam pembangunan karakter budaya masyarakat.

Aspek pelestarian fisik bangunan candi, imbuh Imam, dilakukan dengan melindungi bangunan tersebut dari ancaman kerusakan. Bangunan ini merupakan penanda jaman yang khas. Sebuah tanda simbolis yang menunjukkan keberadaan budaya yang luar biasa pada masa sebelumnya.

Kemudian, pada aspek fungsi, candi perlu ditempatkan pada konteks budaya sekarang. Dapat dilakukan dengan pembangunan open site museum dan pengembangan pariwisata budaya.

“Kunjungan wisatawan ke Situs Negeri Baru akan memberikan nilai edukatif dan rekreatif. Bagi masyarakat di sekitarnya, akan mendapatkan keuntungan bila mampu mengembangkan ekonomi kreatif,” tutup Imam. (*)

Jaidi Chandra, Ketapang