Kisah Ni Wayan Tina Mariani, Gadis Yang Berjuang Melawan Tumor Tulang Belakang

Sang Ayah Gadaikan Sertifikat Rumah untuk Pengobatan BERJUANG : Ni Wayan Tina Mariani, 29, bersama ayahnya I Wayan Mayik, 56, saat duduk diteras rumahnya.

BERJUANG : Ni Wayan Tina Mariani, 29, bersama ayahnya I Wayan Mayik, 56, saat duduk di teras rumahnya.

eQuator.co.id – Takdir manusia tidak ada yang tahu, sebagaimanapun manusia berusaha Tuhan lah yang tetap menentukan. Seperti halnya yang dialami oleh Ni Wayan Tina Mariani, 29, warga Banjar Gamongan, Desa Selemadeg, Kecamatan Selemadeg, Tabanan. Gadis yang sebelumnya sehat tiba-tiba divonis menderita tumor tulang belakang.

DEWA RASTANA, Tabanan

Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 ketika wartawan koran ini menyambangi sebuah rumah di Banjar Gamongan, Desa Selemadeg, Kecamatan Selemadeg, Tabanan. Seorang gadis kurus pun nampak keluar dari dapur sederhana yang bahkan berdinding spanduk dan kayu-kayu bekas. Dengan sedikit tertatih-tatih gadis tersebut menyambut wartawan koran ini sambil mempersilahkan duduk diteras rumahnya yang semi permanen.

Ya, gadis yang baru menginjak usia 29 tahun pada 13 Februari lalu itu sejak 9 tahun terakhir divonis menderita tumor tulang belakang. Benjolan sebesar bola tenis yang ada di punggung bagian bawahnya tersebut tiba-tiba muncul saat Tina, panggilan akrab gadis tersebut, berusia 20 tahun.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, Tina menuturkan bahwa semua bermula ketika dirinya tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa pada kedua kakinya. Saat itu dirinya mengira sakit yang ia rasakan berasal dari keseleo yang pernah ia alami satu tahun sebelumnya, namun setelah diperiksa ke rumah sakit dokter mengatakan jika dirinya mengalami saraf kejepit. “Waktu itu saya merasakan kaki saya sakit sekali, saya fikir karena keseleo. Soalnya satu tahun sebelumnya saya pernah jatuh terpeleset di sawah, setelah diperiksa ternyata ada saraf terjepit,” tuturnya.

Akan tetepi sakit di kedua kaki tersebut tak kunjung hilang meskipun sudah diberikan obat, malahan kedua kakinya semakin nyeri. Bersamaan dengan itu, Tina tidak menyadari jika dipunggung bagian bawah muncul benjolan kecil seperti bisul, hingga ayah Tina memutuskan untuk kembali membawa putrinya ke rumah sakit Tabanan, dan setelah diperiksa ternyata Tina divonis menderita tumor tulang belakang. Benjolan kecil itu pun terus berkembang dan semakin membesar hingga kini menjadi sebesar bola tenis. “Saat diperiksa di BRSU Tabanan dokter bilang saya kena tumor tulang belakang, lalu saya sempat periksa dan tes darah di RS Sanglah juga sama divonis tumor tulang. Benjolanya terus membesar sampai dua tahun, lalu tidak membesar lagi sampai sekarang ukurannya seperti ini,” lanjut Tina sembari menunjukkan benjolan tersebut.

Tumor tulang belakang yang diderita Tina kemudian membuat dirinya harus keluar dari pekerjaan yang sudah ia geluti selama 5 tahun di pabrik lilin yang ada di Bajera, Selemadeg. Bagaimana tidak, kedua kaki Tina terus melemah sehingga ia tak bisa berlama-lama berdiri dan berjalan, belum lagi jika nyeri dan semutan pada kakinya datang, maka tak ada pilihan selain beristirahat. “Kalau sudah kambuh bisa semalaman tidak tidur karena menahan sakit sambil menangis karena sakit sekali dan nyeri,” sambungnya.

Benjolan di punggung bagian bawah itu pun membuat ia tidak leluasa beraktifitas, karena jika tidak sengaja tersentuh maka akan terasa sakit. Oleh sebab itu untuk tidur dirinya harus miring menghadapi kiri atau kanan alias tidak bisa terlentang. Namun untuk melakukan aktifitas sepeti memasak, mencuci pakaian dan menyapu ia mengaku masih sanggup. “Kalau memasak, mencuci atau menyapu sih masih bisa. Tapi tidak bisa berdiri lama-lama, cepat kesemutan dan nyeri,” lanjut Tina.

Atas kondisi tersebut, ayah Tina, I Wayan Mayik, 56, tak mau berdiam diri. Meskipun hanya menjadi seorang petani dengan penghasilan tidak menentu ia memiliki tekad kuat untuk melihat putri semata wayangnya sembuh dan beraktifitas seperti sedia kala. Kurang lebih ada 15 dokter dan puluhan pengobatan alternatif sudah dijalaninya namun hasilnya nihil. “Kalau ke dokter sampai sejauh ini hanya di sarankan untuk operasi saja tapi saya tidak sanggup. Selain biaya yang besar, keberhasilan dari operasi juga hanya 50 persen. Jadi di dokter paling hanya diberikan obat penghilang rasa sakit saja,” ungkap pria yang biasa dipanggil Pan Tina tersebut.

Meskipun telah menggunakan Jamkesmas, sejak satu belakangan ini Tina sudah tidak lagi menjalani pengobatan medis. Hanya sekali-kali sang ayah mengantarkannya untuk menjalani terapi pijat pengobatan alternatif karena memang benar-benar sudah tidak ada biaya. Penghasilan dari bertani di lahan milik orang bersama istrinya, Ni Ketut Suarmi, 54, bahkan tak mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. “Kemana-mana sudah pernah kami coba, ke medis, alternatif sampai pengobatan niskala. Tetapi tetap tidak ada perubahan. Sekarang sudah tidak ada biaya untuk berobat lagi,” ujarnya lirih.

Mirisnya lagi, untuk biaya pengobatan Tina sebelum memiliki jaminan kesehatan, Pan Tina sampai menggadaikan sertifikat rumahnya di salah satu BPR senilai Rp 25 juta dengan bunga Rp 500 ribu perbulannya. Selain itu ia juga berhutang di LPD setempat sebesar Rp 8 juta. “Sampai sekarang saya hanya bisa membayar bunganya saja karena saya hanya mengandalkan uang hasil tani yang tidak seberapa,” lanjutnya.

Namun ia tak putus asa, sebagai seorang orang tua yang baik ia selalu mensupport putrinya agar tegar dan kuat menghadapi penyakitnya. Ia pun berharap Tina bisa sembuh dan kembali beraktifitas seperti semula. “Semoga ada keajaiban agar anak saya bisa sembuh dan kembali seperti dulu,” pungkasnya. Tina pun mengamini ucapan sang ayah. (ras)

————-