Ketika Eks Pengusaha Mebel Banting Stir Jadi TKI

(Masih) Dongeng Enaknya Cari Makan di Negeri Orang

Hendra, warga Tanjung Balai Karimun, Batam, Kepulauan Riau, membersihkan halaman Shelter KJRI di Sarawak, Kuching, Malaysia, Minggu (10/4) pagi. OCSYA ADE CP/RAKYAT KALBAR

eQuator.co.id – Merantau ke Jiran, bagi para TKI tidak hanya untuk mengais rezeki. Bisa juga untuk melupakan kenangan kelam yang pernah dialami di daerah asal, meski harus meninggalkan keluarga dan penghasilan tetap. Namun, tak sedikit juga yang memanfaatkan kesempatan di saat orang terhimpit masalah.

Banyak manusia lupa diri kala sudah berlimpah rezeki. Tak ingat saat-saat ia merangkak tumbuh menjadi orang besar. Akhirnya, kekayaan yang dimiliki terbang entah kemana. Entah terbius drugs (narkotika), main perempuan, atau hal mubazir lainnya.

Contohnya Hendra, warga Tanjung Balai Karimun, Batam, Kepulauan Riau, yang kini nasibnya terlunta-lunta di Malaysia. Bujangan 32 tahun tersebut kini ditampung di Shelter Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), Sarawak, Kuching, Malaysia, setelah kabur dari tempatnya bekerja.

Dia TKI sektor perikanan. Seorang Anak Buah Kapal (ABK) nelayan Malaysia. Jika merunut ke belakang, rasanya tak percaya Hendra mau susah. Kerja mati-matian di laut. Soalnya, saat di Batam, dia seorang pengusaha.

“Saya jadi TKI karena ingin meninggalkan kebiasaan buruk saja,” tutur Hendra ditemui di Shelter KJRI di Sarawak, Kuching, Malaysia, Minggu (10/4) pagi.

Awalnya Hendra tak mau mengingat cerita pahit itu. Pun, pagi itu ia tampak sibuk menyapu halaman Shelter. Namun, sedikit demi sedikit ia membuka kisahnya.

Sambil melamun, ia bercerita. Anak kedua dari empat saudara pasangan pengusaha di Batam ini punya perusahaan mebel dengan lima karyawan.

“Waktu di Batam, penghasilan saya tak tetap, tergantung orderan. Tapi lumayan lah untuk mengembangkan usaha menjadi besar,” ujarnya.

Nah lho, kenapa mau jadi TKI di Malaysia? Hendra sempat terdiam sejenak. Jawabannya, “Saya mau lupakan Narkoba”.

Semasa menjadi pengusaha, Hendra terjerumus pergaulan. Ia ketagihan ineks dan sabu pada tahun 2007.

Kala matahari sedang terik-teriknya, saat orang bekerja untuk mengepulka asap dapur, Hendra sudah berada di Pub, teler memakai psikotropika. Usai senja pun, hidupnya dihabiskan di diskotik dengan biaya sekali ‘on’ Rp2 hingga Rp3 juta.

“Waktu itu main tarik saja duitnya. Karena duit datang sendiri,” ungkapnya.

Dan, begitulah. Usaha yang dibesarkan itupun menumpuk utang akibat pengeluaran melebihi penghasilan. Tabiat tersebut lah yang ingin diubahnya.

“Saya mau hidup jauh dari masalah,” tukas Hendra.

Dalam keadaan hampir bankrut itu, ada tawaran kerja di luar Batam. “Teman yang tawarkan kerja di Malaysia, dan sebelum buka usaha pun saya pernah kerja jadi nelayan di Batam. Jadi, mau saja,” ucapnya.

Tanpa pikir panjang Hendra pun mau menjadi TKI walau segala usaha dan orang yang disayanginya ditinggalkan. Kala itu, ia dijanjikan kerja nelayan dengan gaji 15 persen dari hasil tangkapan atau sekitar RM2000 perbulan.

“Saya mau saja. Usaha saya dilimpahkan ke adik,” terang dia.

Administrasi keberangkatan Hendra dibantu dua calo atau yang disebut agen. “Teknisnya, tekong hubungi agen orang Entikong, namanya Yono. Kemudian Yono telpon Abeng di Batam. Mereka lah yang urus segala surat,” bebernya.

Niat baik orang terkadang tak berjalan mulus. Ternyata, agen-agen itu nakal. “Sebelum berangkat, mereka baik. Namun setibanya di Malaysia, perjanjian tak sesuai. Makan pun tidak ditanggung. Makanya saya kabur,” jelas Hendra.

Ia melarikan diri ketika kapal bersandar di pelabuhan. Saat itu, dia bersama temannya yang juga dari Batam. “Kami nekat saja kabur tanpa passport, kan ditahan tekong. Tanya-tanya ke tempat lain tak ada yang mau terima kami kerja,” sesalnya.

Putus asa, mereka memutuskan pulang ke tanah air. Rekan Hendra yang memiliki uang bisa saja pulang ke tanah air tanpa passport dengan membayar RM200 kepada pihak-pihak tertentu. Namun, karena Hendra kehabisan uang, ia meminta pertolongan KJRI.

Kini Hendra genap tiga minggu ditampung di Shelter dan menunggu kabar kapan bisa pulang ke tanah air. Ia mengaku tak mau lagi tinggal di Batam, takut kembali terjerumus kecanduan Narkotika.

“Siapa yang tak rindu dengan keluarga, tapi saya takut jadi pengguna lagi. Meski kota kecil, Batam pengaruhnya kuat. Makanya saya mau ke daerah lain (Indonesia, red) mencari pengalaman baru untuk lupakan masa lalu,” kata dia.

Matahari Minggu itu semakin tinggi. Sepertinya dia pun sudah lelah mencurahkan isi hati. “Ada hikmahnya juga saya jadi TKI, bisa tinggalkan Narkoba. Meski tak berduit, tapi sekarang sudah berhenti pakai,” tutup Hendra. (*)

Ocsya ade CP, Sarawak