Sering Tidur diJalan Akibat Kehabisan Bahan Bakar

Jeritan Sopir Angkot di Tengah Lajunya Pertumbuhan Kendaraan

Yanto mengaku hampir frustasi karena penghasilannya sebagai sopir angkot yang terus mengalami penurunan.

eQuator.co.id – MENJADI sopir angkutan kota (Angkot) memang tak mudah. Selain gesit agar setoran terpenuhi, mereka juga harus jeli melihat peluang di tengah lajunya pertumbuhan kendaraan. Jika tidak gesit, jangankan pulang bawa hasil, uang yang didapat kadang tak cukup untuk setoran.

Bagus Arya Susanto

BIAS mentari menembus kaca kabin angkot yang dikemudikan Yanto begitu menyengat saat menyisiri Jalan Slamet Riadi, Karang Asam. Walau demikian, matanya terus menatap tajam, menyisir trotoar sepanjang jalan yang dilintasinya. Sesekali dia mengarahkan setirnya ke kiri jika melihat seseorang berdiri di pinggir jalan dan berharap itu adalah penumpannya.

Tak semua dugaannya benar. Beberapa orang yang ia sangka penumpang hanya warga sekitar yang ingin menyeberang jalan. Walau demikian pria berkulit gelap ini tak mudah putus asa. Ia pun segera menginjak gas angkotnya agar roda mobil tua itu kebali beputar menjemput rejeki.

Tenaga dan biaya yang dikeluarkan setelah beberapa jam rupayanya belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Pria berusia 24 tahun ini memilih beristirahat. Ia menuju warung kopi sederhana di seberang Big Mall.

Di atas kursi panjang, tepat di depan warung itu, ia merebahkan tubuhnya. Cuaca yang cukup panas membuat perantauan asal Kupang ini melepas kaus setengah basah akibat keringat yang dikenakannya. Ia pun mengibas-ngibaskan kaus itu untuk mengursir gerah yang mendera tubuhnya.

Teh es yang disajikan pemilik warung menjadi minuman segar untuk mengusir dahaga. Seakan tak sabar, ia pun langsung mengambil gelas berukuran sedang itu sebelum pemilik warung meletakkannya di atas meja. Teh dingin itu langsung membasahi rongga mulutnya yang sudah begitu kering.

Melihat ia lebih santai, kami pun mulai mengajukan pertanyaan mengenai rutinitasnya sebagai sopir angkot. Walau terlihat garang, ternyata pria lajang ini cukup lembut. Ia menceritakan pengalamannya sebagai sopir angkot selama dua tahun terakhir.

“Dulu saya kerja sebagai kuli bangunan. Karena ingin pendapatan lebih, akhirnya saya membuat SIM (Surat Izin Mengemudi) untuk menjadi sopir angkot,” kata Yanto

Ekspektasi sering tak sesuai kenyataan. Mimpi indah yang diberikan salah seorang rekannya untuk menjadi pelaku jasa transportasi tak semanis realtas di lapangan. Saat ia mulai menginjakkan kakinya di pedal untuk mencari penumpang dengan cara menyisiri jalan Kota Tepian, penghasilan yang ia dapat justru sering kurang.

“Dua tahun lalu masih mending. Ada yang bisa disisihkan walau tidak banyak. Sekarang kondisinya sudah berubah, kendaraan semakin banyak, penumpang pun jarang,” terangnya sembari mengibas-ngibaskan kausnya.

Puncaknya akhir 2015 lalu. Sejak saat itu, jumlah penumpang angkot dirasakan mengalami penurunan drastis. Jika sebelumnya ia masih dapat mengantongi uang hingga Rp 250 per hari, sejak akhir tahun lalu untuk mencapai Rp 200 ribu saja sudah sukar.

“Kan kita ini jauh dekat Rp 5 ribu. Jadi untuk sampai Rp 200 itu perlu 40 penumpang. Terkadang satu hari tidak sampai segitu dapatnya,” jelasnya.

Uang Rp 200 itu terbilang sangat pas. Bahkan dengan uang sebesar itu ia tidak bisa membeli makan dan kebutuhannya yang lain. Karean Rp 100 ribu harus ia setorkan kepada pemilik angkot tersebut, sementara Rp 100 ribu lainnya digunakan untuk membeli bahan bakar. “Jadi kalau cuma dapat Rp 200, ya jelas kiita tidak makan,” ujarnya dengan nada lantang.

Tak heran jika ia mengaku sering kurang membayar setoran akibat minimnya penumpang. Jika hal itu yang terjadi, Yanto mengaku hanya bisa meminjam kepada sang juragan angkot untuk mencukupinya di hari selanjutnya. “Kalau seandainya hari ini kita cuma bisa bayar Rp 70 ribu, berarti besok harus bayar Rp 130 ribu. Untuk pemikinya pengertian,” tuturnya.

Lebih parahnya lagi ia sering kehabisan bahan bakar dan terpaksa harus tidur di jalan jika pulang terlalu malam. Walau demikian ia mengaku tetap tabah dan mengganggap hal itu bagian dari proses perjalanan hidup. “Namanya mobil tua, indikator bensinya juga tidak nyala. Jadi saya sering tidak tahu kalau bensinya sudah habis. Kalau mogok di jalan, apalagi malam, ya tidur di situ saja. Sampai pagi datang, ada teman yang bantu,” tutupnya. (aya)