eQuator – Mempawah-RK. Hasil pertemuan antara warga Mempawah dengan koordinator pendatang dari Yogyakarta, terungkap siapa penghuni rumah kontrakan di Jalan Pangsuma, Kecamatan Mempawah Timur.
Rumah itu ditempati sekelompok warga yang pernah mengikuti Organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Namun sekarang mereka sudah tidak lagi bergabung, sejak larangan pemerintah diberlakukan atas organisasi tersebut.
Salah seorang pendatang, Dwi Adianto mengaku sebagai koordinator warga pendatang dari Yogyakarta dan menetap di Mempawah. Namun mereka tidak pernah mengatasnamakan Gafatar.
“Segala aktivitas Gafatar tidak pernah kami lakukan di sini. Kami murni datang untuk mencari penghidupan, mulai dari pertanian hingga sektor usaha. Kami tekankan kembali, kami datang ke sini bukan mengatasnamakan Gafatar, apalagi ingin mengembangkan ataupaun memperluas Gafatar. Tapi kami murni mencari penghidupan,” tegas Dwi yang tinggal di rumah kontrakan berukuran 10 x 25 meter persegi itu.
Dikatakannya, sejak Gafatar dilarang pemerintah pada Agustus 2015 silam, dirinya beserta para pengikut Gafatar tidak pernah lagi aktif di organisasi tersebut. Multi efek akibat ikut dalam organisasi Gafatar juga mereka terima. Diantaranya, mereka ada yang di PHK (putus hubungan kerja) dari perusahaan, dan ada pula yang tidak diakui lagi di tempat mereka berasal, yaitu Jogja.
“Masyarakat sering mengaitkan Gafatar dengan keagamaan. Ada yang sentimen mengaitkan hal tersebut. Dulu kami tergabung dalam Gafatar, tidak pernah mengaitkan organisasi itu dengan keagamaan, kami murni sosial waktu itu. Namun itu semua masa lalu kami,” ungkap Dwi berperawakan tinggi besar, berwajahkan brewok dan berkacamata.
Dwi mengakui kepindahan kelompok yang dibawanya ke Mempawah itu, karena sentimental warga di tempat dirinya berasal. Warga Jogja menganggap masa lalu mereka tak bisa dihilangkan, karena pernah mengikuti organisasi Gafatar.
“Kami pindah ke sini murni untuk mencari penghidupan baru, bersama-sama urunan (patungan) bersama warga Jogja yang ikut. Kami membeli lahan, bercocok tanam di sini. Tapi ada yang bilang kedatangan kita ada yang mendanai, itu tidak benar. Kami ke sini dengan urunan,” tegas Dwi.
Koordinator pendatang Jogja itu memaparkan, warga yang di dibawah koordinasinya berjumlah 90 Kepala Keluarga (KK). Mereka nantinya akan bermukim di Desa Pasir yang saat ini sedang dibuka lahan bercocok tanam.
Menyikapi ultimatum warga Desa Antibar, memaksa eks Gafatar keluar dari kampungnya, dihormati Dwi. “Jika memang masyarakat sini merasa kurang srek menerima kami dengan beberapa alasan, ya sebagai orang pendatang yang ingin mencari penghidupan baru dan hidup damai, kami akan mengikuti sesuai arahan masyarakat. Kami akan pindah dari kontrakan ini,” janji Dwi.
Memang kontrakan di Desa Antibar hanya rumah persinggahan sementara. Nantinya mereka menetap di Kampung Pasir yang telah mereka buka lahannya seluas 12 hektar. Seluas tiga hektar telah ditanami padi untuk kehidupan mereka.
“Kita tanami padi, ubi, kacang panjang, cabe dan tanaman-tanaman pertanian, membuktikan kami di sini murni bertani, tidak ada maksud apapun. Saat ini 90 KK masih tersebar, karena masih proses pembukaan lahan, namun mayoritas dari kami sudah menempati lahan tersebut,” beber Dwi.
Kembali Dwi mengungkapkan, permintaan maafnya kepada masyarakat Desa Antibar, jika memang kedatangan mereka belum secara penuh permisi kepada penduduk setempat.
“Kami memohon maaf jika kulon nuwon (permisi) dengan warga sekitar belum sempurna, atau ada yang kami terlangkahkan. Kami sampaikan pula kedatangan kami di sini tidak sama sekali membawa Gafatar, ataupun mengatasnamakan Gafatar. Kami murni kelompok yang datang dari Jawa yang ingin mencari penghidupan, jika ada pemikiran warga kami membawa Gafatar ke sini, bisa dicek di masyarakat, apakah itu terjadi,” ungkapnya.
Ketua Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat Mempawah, Aswandi mengatakan, kedatangannya bersama warga ke kontrakan para pendatang baru itu, ingin memperjelas isu krusial yang saat ini hangat dan menjadi buah bibir di Mempawah.
Warga ingin memperjelas, apakah beberapa warga yang tinggal di kontrakan itu mengetahui tentang Gafatar. “Soalnya kemarin ada teman kami yang mengecek ke sini, mereka tidak mengakui kalau bekas pengikut Gafatar. Namun malam ini Alhamdulillah mereka telah mengakui hal tersebut,” ungkap Aswandi usai berbicara langsung dengan Dwi, koordinator warga pendatang asal Jogja tersebut.
Gafatar secara resmi telah dibubarkan di Indonesia, setelah adanya rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada Mendagri. Bahkan menyatakan organisasi itu sesat dan menyesatkan.
“Nah, terkait kedatangan kami malam ini, kami menitikberatkan keterkaitan penduduk pendatang dengan Gafatar. Kami ingin mengakses seluruh pendatang baru yang ada di sini,” tegasnya. “Kekhawatiran kami, selama ini ada banyak masyarakat yang menghilang dari berbagai daerah, semisal masyarakat yang bernama Nur dari Boyolali dikabarkan hilang beberapa bulan ini, tidak menutup kemungkinan ada di sini. Maka dari itu kami datangi para warga-warga pendatang ini,” sambung Aswandi.
Dikatakan Aswandi, warga Mempawah tidak takut kepada Gafatar. Namun yang dikhawatirkan, mereka akan mendoktrin warga Mempawah sehingga mengikuti aliran sesat.
“Kita tidak mau masyarakat terkontaminasi hal tersebut. Bukan berarti kami anti terhadap aksi-aksi sosial mereka (Gafatar),” tegas Aswandi.
Sesuai ultimatum warga, pendatang dari Jogja itu diberi waktu tiga hari untuk meninggalkan Desa Antibar.
Laporan: Ari Sandy
Editor: Hamka Saptono