Walau sumringah, lega karena menginjakkan kaki kembali di Ibu Pertiwi, perempuan berusia 41 tahun itu tetap menitikkan air mata. Hampir tiga bulan lamanya, dia hidup tertekan penuh derita di negeri jiran.
Ocsya Ade CP, Entikong
eQuator – Namanya Istiwaul. Satu dari 287 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) non prosedural yang dipulangkan dua hari lalu (8/12). Ia berasal dari Kabupaten Tenggang, Provinsi Semarang. Berangkat ke Malaysia setelah diiming-imingi RM 800 per bulan atau sekitar Rp2,56 juta oleh seorang sponsor yang juga warga Semarang.
Isti, biasa dia dipanggil, tergiur. Duit itu jauh lebih besar dibanding penghasilannya menjual penganan di salah satu sekolah. Dia pun rela meninggalkan suami dan dua anaknya.
Apalagi, semua biaya ditanggung Si Sponsor mulai dari pembuatan paspor hingga transportasi. “Tak sepeserpun kami keluar uang,” cerita Isti, di kursi sofa Lobi Unit Latihan Kerja Industri (ULKI), Entikong, Sanggau, Selasa (8/12).
Dari semarang, Isti diterbangkan ke Pontianak. Beberapa jam kemudian, dia dinaikkan ke bus tujuan Kuching, Sarawak, Malaysia. “Katanya kerja rumah tangga,” ujarnya.
Rupanya, perempuan itu malah jadi korban perdagangan orang. Selama di Kuching, Isti tinggal di rumah majikannya. Agen, Isti menyebut Sang Majikan.
Derita perempuan berjilbab ungu tersebut dimulai saat tiba di rumah Sang Majikan. Isti diperintahkan untuk bugil, alasannya mengecek barangkali ada sesuatu yang disembunyikan di badannya.
“Agennya sih perempuan. Saya disuruh telanjang di kamar mandi . Tapi, tetap saja saya resah bukan main,” kesal dia.
Agen itu hanya rumah penampungan para TKI yang diplot untuk bekerja kasar di pusat perbelanjaan setempat. “Kami dibuat seperti robot. Pergi jam 6 pagi, pulang jam 8 malam. Kami jadi cleaning service di gedung berlantai empat itu,” ujarnya.
Kerja maksimal, seharusnya pendapatan yang diperoleh juga besar. Namun, itu cuma mimpi bagi ibu kantin sekolah dasar di Tenggang ini. “Selama kerja tak dapat bayaran,” tutur dia.
Sang Majikan berjanji akan membayar gajinya setelah Isti kerja delapan bulan. Itupun dipotong biaya hidup, sisa separoh dari janji RM 800 per bulan. “Kami hanya dikasih makan. Boro-boro jalan-jalan melihat Kota Kuching,” bebernya.
Memang, Isti dan 15 orang TKI lainnya dari berbagai daerah di Indonesia tidak boleh keluar rumah selain ke “kantor”. Bahkan, alamat rumah yang ditinggalinya pun mereka tak tahu. Di setiap penjuru rumah dipasangi kamera pengintai, yang juga dijaga sejumlah orang.
“Kami setiap harinya diantar jemput sopir khusus untuk ke tempat kerja,” ungkap dia.
Perlakuan kasar kerap mereka terima. Caci maki merupakan santapan sehari-hari. Bahkan, ancaman akan dibunuh dari Sang Majikan kerap terlontar kepadanya.
“Sepulang dari kerja, kita harus kerja lagi di rumah Agen, beres-beres. Tidak boleh istirahat, kalau istirahat pasti dimaki,” papar Isti.
Pernah pula dia disuruh memandikan anjing peliharaan Sang Majikan. Beruntung, Isti berpura-pura tengah mengerjakan pekerjaan lainnya.
Sebenarnya, Isti mulai curiga ketika transit sebentar di Pontianak sebelum menuju Kuching. Namun, ia terpaksa tetap berangkat. Mau pulang kembali ke kampung, uang sudah tak punya.
Padahal, belakangan dia mendapat kabar, Si Sponsor yang mengajaknya bekerja ke Malaysia mendapatkan bayaran Rp24 juta dari Sang Majikan untuk setiap TKI. Isti juga disuruh berbohong soal umur dan tujuan ke Kuching ketika melewati PPLB Entikong.
“Sponsor bilang, kalau ditanya bilang saja melancong, jangan bilang kerja dan umur saya pun diganti jadi 35 tahun. Ini awal saya curiga dan merasa ditipu,” kenangnya.
Dua bulan lebih Isti melewati masa tak mengenakkan itu. Sampai akhirnya, ia nekad untuk tak lagi kembali ke rumah Sang Majikan. (*/bersambung)
Editor: Mohamad iQbaL