eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan barat, jumlah desa mandiri di Kalbar mengalami peningkatan signifikan. Sejak tahun 2014, tercatat 2,94 persen atau sebanyak 60 desa dari total 2038 desa di Kalbar dikategorikan mandiri.
Sedangkan sebanyak 1.165 (57,16 %) desa kategori berkembang dan 813 (39,89 %) desa tertinggal. “Data ini diperoleh melalui dari Status Indeks Pembangunan Desa (IPD) tahun 2018,” ungkap Kepala BPS Kalbar Pitono saat menyampaikan data statistik tentang desa-desa di Kalbar di kantornya, Senin (10/12).
Dalam perhitungan IPD ini kata dia, menunjukkan tingkat perkembangan desa dengan kategori tertinggal, berkembang dan mandiri. Selama periode tahun 2014 – 2018, desa tertinggal di Kalbar berkurang sebanyak 268 desa. Sedangkan desa mandiri bertambah 35 desa. “Artinya semakin tinggi IPD menunjukkan semakin mandiri desa tersebut,” jelasnya.
IPD ini disusun berdasarkan beberapa dimensi. Seperti dimensi pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, transportasi, pelayanan umum dan penyelenggaraan pemerintahan desa. Pada 2018, dimensi penyusun IPD mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun 2014. Namun yang paling tinggi pertumbuhannya ada di dimensi penyelenggaraan pemerintah desa, yaitu sebesar 13,20 poin.
“Sementara yang tumbuh namun angkanya kecil ada di pelayanan umum dengan angka 1,24 poin, masih naik meskipun jumlahnya tidak begitu besar,” tuntas Pitono.
Di tempat sama Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalbar, Ahi mengatakan, pihaknya menyambut baik adanya pertumbuhan terhadap desa mandiri berdasarkan catatan BPS tersebut. “Kita sangat sambut baik terkait pertumbuhan ini artinya ini juga berita bagus bagi pemerintah,” sebutnya.
Namun kata dia, terjadi perbedaan dengan data Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) RI. Dari sisi indikatornya saja sudah berbeda. Sehingga dalam mengkategorikan terjadi perbedaan data.
“Sebab acuannya dari SK Kemendes PDTT, baru ada satu desa di Kalbar yang dikategorikan desa mandiri,” jelasnya.
Artinya, terdapat perbedaan mencolok antara data BPS dengan Kemedes PDTT. Namun Ahi memahami terjadi perbedaan tersebut. Lantaran dari sisi indikator dan dimensi saat pengambilan data dilakukan dengan cara yang berbeda.
Dijelaskan dia, Kemendes PDTT menggunakan tiga dimensi sebagai indikator untuk mengklasifikasi kategori desa. Yakni ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sedangkan BPS menggunakan lima dimensi.
“Adanya perbedaan ini, tentu juga kedepan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan,” demikian Ahi.
Laporan: Nova Sari
Editor: Arman Hairiadi