Rayakan Gerhana Matahari, Sebuah Atraksi dari Tuhan

GMT. Ilmuan NASA Natchimuthukonar Gopalswamy saat diskusi NASA-LAPAN di Jakarta, Jumat (4/3). Agus Wahyudi-Jawa Pos

Jakarta–RK. Hitungan hari menjelang momen “siang menjadi malam” semakin pendek. Tinggal empat hari lagi. Antusiasme masyarakat Indonesia makin terasa. Begitu juga turis, pecinta astronomi, dan ilmuwan dari seluruh penjuru dunia pun bersemangat untuk melihat fenomena tersebut.

Kenapa momen Gerhana Matahari Total (GMT) tahun ini begitu istimewa? Banyak astronom dunia menyebut, GMT 2016 seperti atraksi Tuhan yang spesial buat Indonesia. Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin menyebut, pujian itu disebabkan hanya wilayah Indonesia yang dilewati oleh fenomena langka tersebut. Wilayah lainnya berupa hamparan lautan di Samudra Pasifik dan berakhir di Hawaii.

Di wilayah Indonesia, GMT menciptakan bayangan bulan berbentuk elips seluas 100-150 km di 11 provinsi di Indonesia. Masyarakat bisa menyaksikan fenomena tersebut di Indonesia barat pada pukul 07.30 WIB, Indonesia tengah pada 08.35 WITA, dan Indonesia timur pada pukul 09.50 WIT.

Warga dunia juga antusias menyambut GMT di Indonesia karena GMT pada Rabu pagi, 9 Maret nanti, adalah yang pertama terjadi pada abad ke-21. Jika terlewat, maka baru bisa menikmatinya lagi pada 20 April 2023.

Dengan semua keistimewaan itu, maka Lembaga luar angkasa Amerika Serikat (AS), NASA, tak ragu mengirimkan tim khusus untuk memantau GMT di beberapa lokasi pengamatan di Indonesia. Astronom dari seluruh penjuru dunia pun sejak kemarin, sudah satu persatu tiba di tanah air.

Salah satunya adalah Xavier Jubier yang dikenal luas sebagai tokoh di organisasi astronom dunia, International Astronomical Union (IAU). Bahkan Jubier mengaku sudah berkeliling di Indonesia sejak sebulan lalu untuk melakukan survey atas undangan Kementerian Pariwasata Indonesia.

          Dalam website pribadinya, dia memberikan panduan terkait lokasi dan cara terbaik untuk menikmati fenomena alam yang terakhir terjadi di Indonesia pada 1995 itu. Dalam artikel yang sudah dilihat puluhan ribu netizen itu, Jubier merekomendasikan beberapa lokasi yang bisa digunakan untuk melihat GMT. Antara lain, pulau Woleai di Negara Federal Micronesia, pulau Halmahera, dan Ternate di Indonesia.

Dari semua pilihan lokasi terbaik itu, Jabier mengaku bahwa wilayah Maluku adalah tempat yang dirasa cocok dengan durasi gerhana yang cukup lama dan cuaca terang. Tak hanya itu, dia pun merilis informasi terkait cara lain menikmati gerhana.

Salah satu yang disarankan Jabier adalah menikmati gerhana di atas awan-awan. Jabier menjamin, menaiki penerbangan privat atau komersial akan menciptakan sensasi mengejar gerhana yang tak terlupakan. “Saya menyarankan ada penerbangan khusus gerhana,” kata dia.

Misalnya, Dassault Falcon 7X business jet yang memang sudah pernah digunakan untuk melihat gerhana pada Maret tahun lalu. “Sebab, pesawat ini bisa menjelajah ketinggian 14.630 meter dan bisa mendarat di landasan sepanjang 700 meter,” terangnya.

Selain itu, dia juga menemukan dua penerbangan di Hawai dan Indonesia yang mungkin saja berpapasan dengan momen langkah tersebut. Jabier menyebut penerbangan Garuda Indonesia GA 649 rute Jakarta – Ternate sangat menarik itu dipilih. Penerbangan yang biasa dijadwalkan berangkat 06.15 WIB dan tiba 11.45 WIT tersebut bisa menyajikan pemandangan luar biasa.

“Saya sudah berdiskusi dengan Garuda agar jadwal penerbangan itu bisa sedikit dimodisikasi. Sehingga, penumpang bisa disajikan pemandangan gerhana di sisi kabin sebelah kiri selama 2 menit 27 detik,” terangnya.

Sedangkan, untuk penerbangan di Hawaii, Xavier mencatat terdapat penerbangan Alaska Airlines AS870 rute Anchorage ke Honolulu pada 8 Maret. Maksapai tersebut hanya perlu memajukan waktu berangkat selama 23 menit agar bisa melihat gerhana selama satu menit 59 detik.

Lalu bagaimana jika tidak mendapatkan penerbangan yang tepat? Situs space.com mengaku menyewa kapal adalah opsi terbaik berikutnya. Meteorologis (ahli lapisan udara) Jay Anderson dan Jennifer West memperkirakan tidak ada tempat yang terjamin dari kemungkinan diguyur hujan saat GMT terjadi. Karena itu, banyak orang yang harus pasrah terhadap peruntungan tempat mereka berada.

“Pengamatan lewat kapal sudah jelas bakal menguntungkan. Mereka bisa mengatur lokasi dengan awan paling sedikit dan berpindah-pindah jika hujan terjadi,” terang mereka.

Meski dagdigdug dengan konsisi cuaca yang memasuki musim hujan, hal itu tak mencegah para mania gerhana untuk datang ke Indonesia. Terutama, orang-orang yang menyebut diri mereka eclipse chasers (pemburu gerhana). Salah satunya, David Makepeace yang terkenal sebagai eclipse guy.

Pria asal Kanada tersebut mengaku rela datang ke Indonesia meski harus menempuh 30 jam perjalanan dari Toronto ke Jakarta pada 3 Maret lalu. “Saya akan berkunjung ke Ternate untuk menyaksikan gerhana di sini,” ujarnya di blog pribadi eclipseguy.com.

Tak hanya dia, mania gerhana asal Australia Kate Russo pun mengaku datang ke Indonesia sendirian hanya untuk menyaksikan gerhana tersebut. Perempuan psikolog itu menulis bahwa ingin berkunjung sembari berwisata keliling Jakarta, Bali, dan Sulawesi. Dia mengaku memilih Palu sebagai tempat berlabuh karena tertarik dengan event Eclipse Festival.

Bagi yang tidak sempat atau mampu pergi ke titik langsung pengmatan GMT, menonton via streamingbisa jadi pilihan terakhir. Masyarakat dunia tampaknya bakal disajikan pemandangan langsung via internet lewat berbagai situs. Misalnya, NASA dan lembaga astronomi Slooh.

SUMBER RISET

          Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) tidak kalah antusias menyambut gerhana matahari total (GMT) Rabu (9/3). Mereka berharap peneliti-peneliti yang meriset fenomena langka ini, bekerja profesional dan pulang membawa hasil penelitian bagus.

“Aspek yang menjadi objek penelitian pada fenomena gerhana matahari ini banyak sekali,” kata Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti kemarin (5/3).

          Ghufron menjelaskan, fenomena GMT sangat jarang terjadi. Sehingga momen ini pasti menjadi buruan para periset, khususnya di bidang astronomi. Dia optimistis apapun tema penelitian GMT kali ini, pasti bakal menjadi sumber ilmu dan inovasi berharga di masa depan.

          Dosen jurusan astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) Dhani Herdiwijaya mengatakan, kampusnya cukup antusias juga menyambut GMT 9 Maret nanti. Apalagi ITB adalah satu-satunya kampus yang membuka jurusan astronomi di Indonesia. “Saya beserta keluarga berangkat mengamati GMT ke Belitung,” tutur dia.

          Pria yang akrab disapa Dhani itu menuturkan, bintang utama dalam setiap fenomena GMT adalah korona. Dia menjelaskan pada kondisi normal, susah untuk mengamati korona matahari. Pada kondisi normal, peneliti matahari hanya bisa mengamati bagian fotosfer saja. “Korona ada di atas fotosfer,” jelas dia.

          Dalam ilmu astronomi, sifat korona ini sangat unik. Bahkan masih menyimpan misteri di dalamnya. Misteri itu adalah, kenapa gelombang panas di korona mencapai 1 juta sampai 2 juta derajat celcius. Sementara fotosfer yang lebih dekat dengan inti matahari, gelombang panasnya hanya 6.000 derajat celcius. Sedangkan inti matahari, panasnya 15 juta derajat celcius.

“Logikanya semakin menjauhi inti matahari, panasnya turun. Tapi korona justru malah tinggi sekali panasnya,” katanya.

Bagi peneliti GMT, tentu akan mencari foto GMT sebagus mungkin. Dia mengingatkan untuk memotret GMT, harus pakai pelindung kamera. Jika tidak sensor kamera bahkan mata orang yang memotret bisa rusak. Pelindung baru boleh dicopot ketika masuk fase gerhana total.

“Jika di Belitung nanti fase ini berdurasi sekitar 2 menit, ya hanya 2 menit pengamatan langsung aman dilakukan,” terang Dhani.

          Peneliti di Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Emanuel Sungging Mumpuni kemarin mengatakan sudah berada di Halmahera. Untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Maba di Halmahera Timur. Dia memperkirakan 70 persen langit Maba saat gerhana nanti tidak tertutup awan.

“Mudah-mudahan cerah,” harap dia. Tantangan pemantauan GMT kali ini adalah, gerhana terjadi di saat musim basah.

NIKMATI GERHANA,

LUPAKAN MITOS

Gempita menyambut fenomena GMT memang begitu luar biasa. Empat peneliti dari National Aeronautics and Space Administration (NASA) datang dari Amerika ke Halmahera untuk meneliti ‘dicaploknya matahari oleh raksasa buto ijo’ itu.

Mereka sudah berada di Jakarta dua hari lalu dan memaparkan rencana penelitiannya. Keempat orang itu adalah Madhulika Guhathakurta, Natchimuthukonar Gopalswamy, Nelson Leslie Reginald, dan Seiji Yashiro. Keempatnya akan berkolaborasi riset dengan tim dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Khusus di Lapan, tim yang akan melakukan penelitian berasal dari Pusat Sains Antariksa (Pussainsa). Kepala Pussainsa Lapan Clara Yono Yatini menuturkan GMT tahun ini bukan fenomena yang tidak pernah terjadi di republik ini. GMT terakhir yang mampir di Indonesia terjadi pada 1983 dan melewati sepanjang pulau Jawa.

“Tapi saat ini tidak banyak yang menikmati. Karena ada miskomuniasi,” jelasnya pada seminar GMT Lapan dan NASA di Jakarta, Jumat (4/3).

Clara menuturkan saat ini diinformasikan bahwa GMT begitu berbahaya. Sehingga masyarakat dihimbau berada di dalam rumah. Bahkan tidak itu saja, harus bersembunyi di bawah ranjang tempat tidur.

Namun untuk GMT tahun ini, dia berharap masyarakat Indonesia bisa menikmati bersama-sama. Selain terkait ilmu pengetahuan, fenomena langka ini juga bisa digunakan sebagai momentum untuk merenungi kuasa Tuhan. Dia optimis dengan gencarnya pemberitaan media massa jelang GMT 9 Maret nanti, masyarakat sudah tidak mempercayai mitos-mitos gerhana matahari.

Terkait dengan GMT yang bisa merusak mata, menurut Clara itu bukan mitos. Memang benar bahwa gerhana matahari itu bisa mencederai mata. Sehingga dianjurkan masyarakat untuk melihat GMT dengan bantuan kacamata khusus. Tetapi ketika fase gerhana sudah benar-benar penuh alias puncak, aman untuk dilihat dengan mata telanjang.

Clara berharap kerja sama Lapan dan NASA tidak putus pada momentum GMT 9 Maret nanti. Tetapi akan dilanjutkan lagi dengan riset-riset antariksa lainnya. Tujuannya untuk perkembangan ilmu pengetahuan baik di Amerika maupun di Indonesia.

Peneliti Pussainsa Lapan Emanuel Sungging Mumpuni mengatakan kolaborasi Lapan dan NASA ini, bukan ekspedisi perdana peneliti Amerika di Indonesia. Dia menjelaskan peneliti Amerika sudah melakukan ekspedisi pengamatan dan penelitian GMT sejak awal abad ke-20. Tepatnya pada 1901, 1926, dan 1929 di kawasan Sumatera Utara.

Dia menuturkan ada beberapa unsur GMT tahun ini begitu menarik. Diantaranya adalah lintasan GMT melalui 12 provinsi di Indonesia. Baginya sangat jarang GMT itu melalui daratan yang begitu luas. Bahkan ada kalanya GMT itu hanya terjadi di lautan.

Sungging menjelaskan selain di Maba, Halmahera Timur, tim peneliti Lapan juga diterjunkan ke Ternate. Di lokasi ini nantinya tim Lapan akan melakukan dua penelitian. Yaitu penelitian tentang efek lensa grafitasi melalui pengamatan gerhana dan gangguan geomagnet terkait pengaruh gerhana.

Peneliti NASA Nelson Leslie Reginald mewakili rekannya menyampaikan rencana penelitian mereka di Indonesia. Dia menjelaskan diantara permasalahan yang ingin mereka pecahkan dengan pengamatan GMT di Indonesia adalah temperatur dan elektron matahari.

Pada saat puncak GMT terjadi, bakal ada sinar yang terpencar-pencar di luar lingkaran hitam gerhana. Sinar yang terpencar-pencar inilah yang disebut dengan korona. Sinar yang terpencar-pencar di korona itu merupakan pantulan cahaya fotosfer yang dipantulkan oleh elektron bebas di korona matahari.

“Kami akan meneliti yang lebih cerah itu K-corona atau F-corona,” jelasnya.

Nelson mengatakan dia sudah terlibat dalam beberapa kali di tim pemburu GMT NASA. Diantaranya pada 2001 lalu di Zambia. Kemudian dia juga pernah mengamati gerhana di Saudi (2002), Libya (2004), dan Tiongkok (2008).

“Saya sangat antusias menyambut GMT di Indonesia ini,” pungkasnya. (JAWA POS/JPG)