Yang Didalami Soal Kesengajaannya

Penistaan atau Pencemaran Nama Baik?

Basuki Tjahaja Purnama

eQuator.co.id – Jakarta-RK. Gelar perkara terbuka kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama diprediksi akan panas. Diprediksi, yang paling menentukan arah kasus adalah saksi ahli. Apakah ada pidana atau tidak, akan bergantung dari analisa saksi ahli tafsir, pidana dan bahasa.

Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan bahwa gelar perkara terbuka itu sejak awal telah dijadwalkan dalam dua minggu kedepan. Kemungkinan akhir November. ”Tentu untuk menentukan status dari terlapor,” paparnya kemarin.

Dalam gelar perkara itu, ada sekitar 15 saksi yang akan ikut dalam gelar perkara. Diantaranya, ada saksi ahli tafsir atau agama, pidana dan bahasa. ”Sebelum gelar perkara, maka pengambilan keterangan semua saksi harus tuntas,” jelasnya.

Sesuai jadwal, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan diperiksa Senin. Lalu, dilanjutkan dengan memeriksa beberapa saksi ahli pada Selasa dan Rabu. ”Setelah selesai, baru gelar perkara itu,” ungkapnya.

Boy berharap masyarakat bisa bersabar menunggu proses tersebut. Mekanisme penyelidikan tersebut sudah diterapkan dengan baik. ”Ini sudah diatur dalam peraturan kapolri soal manajemen penyidikan,” tuturnya.

Sementara Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menuturkan, gelar perkara bergantung dari kesaksian dari semua saksi. Baik, yang melihat secara langsung dan saksi ahli. ”Namun, yang patut untuk diketahui, saksi ahli tafsir agama ini dari mana” tanyanya.

Pasalnya, saksi ahli itu harus memiliki legal standing. Bila, diibaratkan sebuah profesi, tentunya saksi ahli yang harus memiliki sertifikasi. Bukan saksi ahli yang ukurannya tidak jelas. ”Ini adalah proses hukum, tentu semua harus memiliki dasar hukumnya,” tuturnya.

Mempertimbangkan masalah tersebut, maka sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga yang diakui pemerintah dalam menaungi ulama. Maka, seharusnya MUI ini menjadi saksi ahli yang pertimbangannya lebih dominan.

”Sebab, MUI memiliki legal standing yang lebih kuat,” tegasnya.

Lalu, bagaimana prediksi jalannya gelar perkara ini? Abdul Ficar menuturkan, untuk mengetahui jalannya gelar perkara tentu harus mengetahui pasalnya. Untuk kasus dugaan penistaan agama itu diatur dalam pasal 156 a KUHP. Pasal 156a menyebut dipidana selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatu agama.

”Maka, yang akan dibuktikan adalah pasal tersebut,” terangnya.

Dalam pernyataan Ahok yang terekam dalam video itu akan dianalisa apakah sengaja dan apakah perbuatannya bersifat penodaan agama. ”Maka yang harus didalami adalah soal kesengajaannya,” tuturnya.

Menurutnya, pertanyaannya yang muncul dalam kondisi ini adalah apakah Ahok sadar perkataannya itu akan menyinggung orang lain. Kalau sadar dan mengetahui, maka unsur kesengajaan itu masuk. ”Kalau tidak sadar ya tidak masuk,” terangnya.

Namun, bila didalami konteksnya, Ahok merupakan non muslim yang mengomentari surat Al Maidah 51, salah satu ayat dalam kitab suci agama Islam. Posisi Ahok yang merupakan pemeluk agama lain. ”Maka, mestinya Ahok menyadari bahwa omongannya akan menyinggung orang lain. Kalau menghormati sesama, tentu tidak akan masuk dalam ranah agama dan ideologi,” ucapnya.

Di samping soal penistaan agama, lanjutnya, pernyataan Ahok ini juga perlu diuji dalam konteks pencemaran nama baik. Pasalnya, pernyataan Ahok yang menyebut jangan mau dibohongi orang pakai Al Maidah 51 itu juga merujuk pada orang yang sering menyiarkan ayat tersebut. ”Tentunya, ulama yang menyampaikan Al Maidah 51 tersebut,” jelasnya.

Sementara Komisioner Kompolnas Poengky Indarwati mengatakan bahwa gelar perkara secara live itu merupakan upaya Polri menunjukkan transparansi dalam kasus tersebut. Tentunya, penyelidik dan penyidik harus bersikap independen. ”Tidak bolah ada intervensi dari pihak manapun,” tegasnya.

Bagian lain, Wakil Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) Muhammad Zaitun Rasmin mengapresiasi langkah kepolisian yang akan menggelar perkara dugaan penistaan agama oleh Ahok secara terbuka. Tapi, itu masih belum melegakan bila rasa keadilan masyarakat belum terpenuhi. ”Kita berharap tidak sekadar formalitas saja,” ungkap saat dihubungi kemarin (6/11).

Dia menegaskan sedari awal bahwa dugaan penistaan agama itu sudah terang benderang. Dasarnya adalah fatwa dari MUI yang menegaskan adanya penistaan agama oleh Ahok. Selama ini, MUI juga dipandang sebagai rumah bagi ahli-ahli agama Islam. ”Harusnya MUI yang dijadikan rujukan bahwa ada penistaan agama,” tegas Ketua Umum Wahdah Islamiyah itu.

Pendapat dan sikap keagamaan MUI terkait dugaan penistaan agama oleh Ahok itu dikeluarkan pada 11 Oktober lalu.  Isinya diantaranya, menyatakan kandungan Al Maidah ayat 51 berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Qur’an.

Zaitun menuturkan tidak akan berhenti berjuang untuk mengawal terus fatwa MUI tersebut. Dia yakin mayoritas ulama juga akan sependapat dengan MUI dalam kasus Ahok itu. Apalagi melihat ada jutaan umat muslim yang turun jalan pada Jumat (4/11) lalu. Dari data GNPF hampir semua lapisan turun. mulai dari gubernur hingga masyarkat biasa turut serta. ”Kami mengetuk hati nuran pemerintah, presiden, dan kepolisian untuk memenuhi rasa keadilan mayarakat,” tambah dia. (Jawa Pos/JPG)