Saat ini, fenomena penggunaan gawai oleh anak-anak tidak bisa dibendung. Saking masif dan berbahaya, sampai-sampai Badan Kesehatan Dunia (WHO), menetapkan kecanduan game menjadi bagian dari gangguan mental. Tentu, orang tua punya tugas ekstra mencegah, jangan sampai hal itu terjadi pada anaknya.
YUYUN ERMA KUTARI, Mataram
eQuator.co.id – Angin sepoi-sepoi berhembus. Satu per satu daun mangga lepas dari tangkainya. Berjatuhan memenuhi halaman Gedung Kantor RSJ Mutiara Sukma. Di atas gazebo koran ini bersama Psikolog Klinis Nalurita Palupi berbincang hangat. Mengenai apa yang selalu dikhawatirkan orang tua zaman now. Anak-anak kecanduan gawai.
Di setiap perubahan zaman, tentu ada tantangannya masing-masing. Begitu juga bagi orang tua. Nalurita mengatakan, fenomena kecanduan gawai memang telah menjadi perhatian khusus semua pihak. Bila tidak segera dihentikan, maka berdampak pada gangguan perilaku anak.
Sepanjang 2019, sudah lebih dari 20 orang tua di Kota Mataram yang melakukan konsultasi. Gangguan perilaku yang terdiagnosa paling banyak adalah tantrum atau mudah marah.
“Penyebabnya karena kecanduan gawai tadi, kita pernah mengetes anak dengan memberi gawai, lalu saat mengambilnya kembali, mereka jadi marah ya ngamuklah,” jelas Narulita.
Ini harus menjadi warning bagi orang tua. Banyak dampak negatif yang ditimbulkan bila sudah kecanduan. Di antaranya bisa mengurangi interaksi dengan orang-orang sekitar. Karena anak akan fokus pada dunia gawainya saja. Secara tidak langsung, akan membentuk gangguan kepribadian antisosial, terlebih lagi komunikasi dengan keluarga menjadi lebih berkurang.
Karena antisosial, akan berdampak pada kurangnya aktivitas fisik. Pada usia anak-anak, latihan motorik dasar seperti loncat maupun lari sangat diperlukan, namun karena kecanduan gawai, maka semua aktivitas tersebut membuat fisiknya menjadi kurang bergerak. Sehingga anak akan memiliki sifat malas, dan egois (egosentris). Dan yang paling memprihatinkan, anak-anak menjadi tidak peduli dengan lingkungan sekitar dan berkurang rasa empati. “Ini sangat berbahaya,” tegasnya.
Ada pola konsumtif yang dialami anak-anak. Misalnya bermain game yang menggunakan pembayaran, atau adanya godaan untuk selalu memperbarui gawai kekinian. Dengan fitur yang lebih canggih.
Lebih dari itu, Narulita menegaskan, ada yang lebih parah adalah anak-anak gangguan konsentrasi. Kecanduan gawai akan membuat anak-anak senang untuk berimajinasi tentang game yang dimainkan.
Bila sudah begini, anak-anak bisa terindikasi gejala gangguan mental. Mulai dari meningkatnya rasa cemas, depresi, bipolar, stres bila tidak mengakses gawainya.
“Aduh gimana ya nasib game-ku, aduh ini itu pokoknya kalau kayak ini, siap-siap orang tua harus aware dan harus menaruh perhatian,” ujarnya.
Bila sudah terjadi, maka orang tua harus berkonsultasi pada ahli. Narulita menegaskan, jangan malu melakukan konsultasi. Tidak bisa dipungkiri, pola pikir masyarakat saat ini tidak bisa dicegah. Bila konsultasi, sudah dianggap gangguan jiwa. Padahal tidak seperti itu.
“Kalau kita konsultasi, bisa kita deteksi dini bagaimana penanganan selanjutnya, bisa kita cegah agar tidak parah, biasanya sudah parah lalu datang, itu yang kurang tepat,” kata dia.
Karena itu, dirinya menyarankan orang tua, agar penggunaan gawai pada anak-anak harus diawasi. Bahkan kalau bisa dibatasi. Kalau pada remaja diawasi. Kalau pada anak-anak, orang tua harus memiliki komitmen yang kuat untuk membatasi. Misalnya hanya diakses pada akhir pekan atau anak-anak membatasi jam mainnya. Paling lama dua jam sehari. Itu pun tidak harus sekaligus.
“Misalnya 10 menit pertama pada pulang sekolah, 10 menit kedua pas sore hari, dan 10 menit sebelum belajar, harus diatur waktunya, pasti bisa kok,” jelasnya.
Selain itu, pemberian penggunaan gawai pada anaka-anak, bisa juga sebagai reward karena si anak telah belajar, atau mendapat nilai bagus di sekolah. Itu bisa menjadi motivasi buat anak-anak ada alasan untuk mendapat hasil yang lebih baik.
Dalam hal tindakan pembatasan dan pengawasan, orang tua pun harus memiliki komitmen kuat. Misalnya saat anak tidak menggunakan gadget, orang tua pun harus melakukan tindakan hal yang sama.
“Jadi anak juga melihat contoh nyata,” ujar Upi.
Kendati demikian, ada pola tertentu yang lebih efektif. Mengajak anak-anak bermain. Banyak permainan yang bisa dilakukan. Misalnya membaca buku cerita, bernyanyi, atau mainan lain yang bisa dilakukan bersama. Jika anak sudah remaja, anak bisa diajak untuk melakukan aktifitas rumah tangga bersama. Misalnya Bersama-sama merapikan meja makan, atau menyiapkan makanan.
“Kalau anak laki-laki diajak main bola, atau anak perempuan di ajak masak-masak, ada banyak hal membuat anak mengalihkan perhatiannya dari gawai itu,” tanda