Usul Lahan di Kawasan Hutan Jadi APL, Kapuas Hulu Menanggung Beban Dunia Terlalu Besar

Alih Fungsi Harus Dikaji Betul-betul

ilustrasi.net

eQuator.co.id – Putussibau-RK. Proses usulan alih fungsi lahan kawasan hutan lindung Kapuas Hulu tinggal menunggu finalisasi pendataan dari dinas (satuan kerja perangkat daerah/SKPD) terkait. Peta digitalnya pun dalam proses pembuatan.

“Sekarang sedang kita lengkapi data untuk usulan. Berdasarkan arahan pak Sekda (Sekretaris Daerah), kampung yang berada di kawasan hutan diusulkan menjadi APL (Areal Penggunaan Lain)” terang Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kapuas Hulu, Anthonius Rawing, di kantornya, Rabu (24/8).

Setelah data lengkap, disampaikan ke Badan Koordinasi Penataan Ruang daerah (BKPRD) Provinsi Kalbar untuk diteruskan ke pemerintah pusat melalui Kementerian terkait. “Mereka (SKPD) sudah menyampaikan data, tapi belum disertai dengan digitasi. Kalau data sudah komplit, pengusulan ke pusat lewat BKPRD provinsi yang mengirim ke pusat untuk diverifikasi. Kalau dinilai memenuhi kriteria, ya akan diterima,” paparnya.

Mantan Camat Seberuang, Kapuas Hulu, ini menambahkan, pemerintah kabupaten terus berupaya mengeluarkan kampung atau dusun yang sudah ditetapkan pemerintah pusat masuk kawasan hutan lindung. “Karena masyarakat perlu dibangun,” ucap Anthon, karib dia disapa.

Ia menilai, kebijakan penetapan sebuah kawasan yang dilakukan selama ini tanpa mempertimbangkan berbagai aspek di masyarakat. Dampaknya, masyarakat merasa terkungkung karena ruang gerak aktivitas mereka semakin sempit.

“Padahal, secara historis, masyarakat itu sudah turun-temurun mendiami sebuah kawasan. Sementara aturan yang dibuat pemerintah itu baru lahir sekitar tahun 1983,” ungkapnya.

Sebagai contoh, lanjut dia, Dusun Laung, Desa Seneban, Kecamatan Seberuang. Hampir seluruh dusun tersebut di dalam kawasan lindung. Dan memang, meski tak 100 persen, 20 kecamatan juga masuk kawasan hutan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup itu.

“Kalau yang dominan Kecamatan Putussibau Selatan (hulu kapuas), Putussibau Utara, Embaloh, Batang Lupar (Lanjak), Selimbau, dan daerah lainnya yang berada di sekitar Taman Nasional,” terang Anthon.

Masih di Kantor Bappeda, tenaga ahli pelayanan sosial dasar P3MD (Program Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat Desa) Kapuas Hulu, Stephanus Mulyadi menyatakan, masuknya desa-desa dalam kawasan hutan menjadi kendala merealisasikan program pembangunan. Salah satunya, saat ingin membuka keterisolasian sebuah dusun dengan membangun infrastruktur jalan dan sebagainya.

“Daerah dalam kawasan hutan sangat sulit pembangunannya. Maka menurut saya Undang-Undang tentang hutan lindung dan taman nasional itu bertentangan dengan HAM dan Pancasila sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,” tuturnya.

Sebab, lanjut dia, orang yang sudah lama tinggal di lahan yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan lindung dianggap kehilangan haknya untuk berdiam di sana. “Mereka dinyatakan tidak ada hak atas hidup, tidak dianggap sebagai warga negara,” beber Steph, karib Stephanus Mulyadi disapa.

Maka, pria yang pernah belajar di Jerman ini berpendapat, jika persoalan tersebut tidak bisa diatasi, masyarakat bisa menuntut negara. Apalagi, masyarakat sering dianggap sebagai biang kerok perusak alam. Padahal, hidup di kawasan yang terisolasi sangat sulit.

“Mengapa mereka lebih memilih mengusahakan emas, bandingkan saja harga karet sekarang yang murah. Nah, masyarakat ingin berusaha di bidang lain di wilayahnya sendiri malah kesulitan. Bahkan, pemerintah daerah mau bangun apapun sulit. Kapuas Hulu ini menanggung beban untuk dunia terlalu besar,” paparnya.

Tapi, memang ada beberapa daerah yang tidak perlu dikeluarkan dari kawasan lindung, karena menyangkut potensi sumber daya alam. Ada sungai dan kawasan wisata yang mesti dijaga dan dilestarikan.

Hanya saja, timbul kekhawatiran rencana alih fungsi tersebut mengganggu kelestarian hutan hujan tropis. Anas Nashrullah, Hulu-Kapuas Leader Landscape World Wild Fund for nature (WWF) Kalbar menyatakan, pada dasarnya tidak menolak wacana tersebut. Namun, alih fungsi itu semestinya dilakukan dengan kajian mendalam dan komprehensif. Tentu berdasarkan daya dukung lingkungan, kondisi ekosistem yang khas, dan juga rencana pengembangan ekonomi regional.

“Harus dikaji benar mana yang boleh dan mana yang tidak. Hitungannya kan ada kondisi sosial masyarakat, ada kondisi alam, ada kondisi pertumbuhan ekonomi, ada kondisi daya dukung birokrasi. Mampu nggak birokrasi mengelola itu, dan lain-lainnya. Intinya, nggak semudah membalik telapak tangan. Harus ada keselarasan antara pertumbuhan ekonomi dan konservasi,” ujarnya kepada Rakyat Kalbar, Selasa (23/8).

Anas mengatakan, acuan tata ruang di kawasan Kapuas Hulu saat ini sebenarnya sudah jelas. Karenanya dia berharap pemerintah taat dengan tata ruang tersebut.

“Semuanya sudah clear, sampai ke detail, di sana mau dibangun apa, di sini mau kembangkan apa, segala macam. Dan salah satu yang kita tawarkan adalah membantu pemerintah mengembangkan yang kita sebut kawasan agropolitan,” tuturnya.

Kawasan agropolitan adalah kawasan yang memang diperuntukkan bagi pertumbuhan ekonomi, dimana realitanya, kawasan tersebut memang telah terjadi aktivitas ekonomi masyarakat. Anas tidak sepakat jika ada yang mengatakan bahwa keberadaan hutan lindung mengungkung masyarakat.

Menurutnya, konteks kawasan lindung dalam jangka panjang sebenarnya adalah untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri. “Contohnya untuk memanfaatkan kayu. Masyarakat tidak boleh menebang, tapi harus menanam dulu, kemudian kayu ini besar baru dimanfaatkan. Karena itu, kalau diterjemahkan jangka pendek memang terkesan membatasi. Padahal dalam jangka panjang justru melindungi,” jelas Anas.

Satu hal yang ia khawatirkan, wacana alih fungsi kawasan lindungi ini justru ditunggangi oleh pihak-pihak lain. “Untuk siapa? Saya tahu persis bagaimana kemampuan masyarakat mengelola lahan itu. Sangat terbatas,” tukasnya.

Anas memberikan contoh Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu, yang sebagian kawasannya berada dalam kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS). Menurut dia, hingga saat ini, masyarakat di desa tersebut dapat mengelola kawasan lindung secara arif.

Ia mengakui, keberadaan kawasan lindung memang kerap kali berbenturan dengan rencana pembangunan infrastruktur. Namun demikian, pemerintah harus jeli dalam perencanaannya.

“Infrastruktur yang seperti apa dulu? Kan percuma saja kalau kawasan kemiringan 40% kemudian dialihfungsikan, mau dibuat apa?” tandasnya. Sambungnya, beberapa pembangunan infrastruktur yang tepat terbukti tidak menjadi masalah, seperti pengembangan ekowisata ataupun pembangunan rumah apung.

 

Laporan: Andreas dan Iman Santosa

Editor: Mohamad iQbaL