eQuator.co.id – Guadalajara-RK. Pertemuan para gubernur dunia yang tergabung dalam Governor’s Climate and Forest Task Force (GCF Task Force) di Guadalajara (Estate Jalisco), Meksiko, tahun ini, menampilkan laporan progres semua kegiatan masing-masing provinsi dan negara bagian yang menjadi anggota forum sesuai Deklarasi Rio Branco pada 2014. Termasuklah Gubernur Kalbar, Cornelis.
Selain memaparkan langkah yang telah dilaksanakan dalam meeting sejak 31 Agustus-1 September 2016 itu, Cornelis memberikan masukan kepada forum. Ia mengemukakan sejumlah kearifan lokal masyarakat Dayak yang secara empirik dialami sendiri oleh Cornelis saat mengelola dan memperlakukan hutan.
Dalam sesi talkshow yang dipandu Gubernur Jalisco, Aristoteles Sandoval, Cornelis memaparkan bahwa Kalbar sebagai koordinator GCF di Indonesia telah membuat rencana kerja berdasarkan tiga pilar utama. Pertama, memperkuat kesatuan pengelolaan hutan, mengendalikan penggunaan ruang dan tata kelola ijin. Kedua, membangun kemitraan dengan pihak swasta untuk memastikan rantai pasok komoditas diproduksi secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dan terakhir menjamin pembangunan rendah emisi yang inklusif dengan keterlibatan aktif masyarakat adat dan petani kecil.
“Ketiga pilar ini menjadi panduan 6 provinsi di Indonesia mengurangi deforestasi sesuai tujuan Deklarasi Rio Branco,” tuturnya, Rabu (31/8) waktu setempat.
Lebih lanjut, mantan Bupati Landak dua periode ini menerangkan, GCF Indonesia telah aktif melakukan pembicaraan dengan pemerintah pusat dan provinsi di luar anggota serta mitra swasta termasuk LSM. Bincang-bincang telah dilaksanakan beberapa kali termasuk dengan duta besar (Dubes) negara-negara sahabat.
“Pada tingkat nasional saya telah memimpin dialog dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyuarakan permintaan dari tingkat sub nasional agar mengkondisikan pengurangan deforestasi dan emisi gas rumah kaca. Permintaan itu meliputi diselesaikannya tingkat emisi rujukan, registrasi karbon, dan mekanisme distribusi manfaat untuk REDD (Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation),” papar Cornelis.
REDD adalah sebuah mekanisme pengurangan deforestasi dan pengrusakan hutan dengan maksud mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan itu sendiri. Di Kalbar, Cornelis menyatakan, pemerintahannya sudah menyusun dokumen tingkat rujukan emisi hutan yang melibatkan semua pihak, mulai dari swasta, NGO, masyarakat, universitas, dan negara donor. Dokumen Tingkat Rujukan Emisi Hutan ini mengacu pada dokumen tingkat nasional.
Ia menegaskan, Kalbar sudah menjalin kemitraan dengan swasta untuk menjamin supply chain yang berkelanjutan sesuai 4P approaching (planet, people, profit, and peace). Misalnya, kerja sama pengembangan Kemiri Sunan dengan Yayasan Belantara dan Grup APP untuk menghijaukan kembali lahan kritis.
Tak cukup itu saja, Pemprov Kalbar merekomendasikan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) berupa Areal Hutan Pendidikan untuk Fakultas Kehutanan Untan seluas 22.500 hektar, dimana 5.000 hektar di dalamnya direncanakan untuk pengembangan energi terbarukan (biodiesel) dari tanaman Kemiri Sunan atau tanaman lain seperti rumput gajah.
Lanjut Cornelis, kerja sama dengan beberapa perusahaan HPH untuk sertifikasi FSC seluas 248.570 hektar telah dilakukan. Kerja sama lainnya, mengelola lanskap terintegrasi di Kubu Raya bersama berbagai perusahaan HTI, HPH Mangrove, restorasi ekosistem, dan Hutan Desa. Hal ini termasuk dengan Inisiatif Dagang Hijau (IDH) grup APP, Bina Silva, dan Grup Alas Kusuma dengan cakupan lahan lebih dari 500.000 hektar.
“Secara bersamaan, dukungan juga diberikan kepada program The Heart of Borneo yang dikelola WWF yang lanskapnya meliputi Kalimantan, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Saya percaya trend yang sama juga dilakukan oleh kolega kami dari Aceh, Papua Barat, Kalteng, dan Kaltim,” ungkapnya.
Namun demikian, dunia masih kurang mengakui dan menghargai upaya yang telah dilakukan tersebut. Kata Cornelis, sejauh ini, dukungan teknis dan pendanaan masih berada di pemerintah pusat dan institusi nonpemerintah seperti NGO.
“Kami hanya dilewati saja. Akibatnya, Provinsi tidak dapat mengontrol dan mengkoordinir kegiatan yang didanai oleh pendonor Internasional di tingkat tapak. Saya khawatir hal ini akan menyebabkan rencana kerja tidak terarah atau bahkan menggagalkan target pengurangan deforestasi, emisi, dan pembangunan hijau berbasis komoditas berkelanjutan di daerah,” keluhnya.
Sebelum sesi talkshow itu, pertemuan GCF dibuka Menteri Lingkungan Hidup Meksiko Rafael Pacchiano. Selain Cornelis, pemaparan lainnya dilakukan Gubernur negara bagian Jalisco, Aristoteles Sandoval, sendiri selaku tuan rumah. Ia menyatakan keyakinannya untuk mereduksi deforestasi hingga 80% dan mengurangi emisi gas hingga 50% sesuai target GCF di tahun 2020. Menyusul sejumlah rencana yang telah dilaksanakan di negara bagiannya.
Optimisme serupa disuarakan Peter Shumlin, Gubernur Negara Bagian Vermont Amerika Serikat (AS), Fernando Melendez (Peru), Silvano Aureoles (Brazil), dan juga Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambri.
Usai sesi talk show, sesi sidang terbatas para gubernur pun digelar. Di sesi inilah beberapa gubernur menyatakan terkesan dengan pandangan Cornelis. Dua gubernur mengundangnya untuk berkunjung ke wilayahnya. Mereka adalah Gubernur Ontario Kanada, Katleen Wynne, dan Gubernur Vermont AS, Peter Schumlin. Terhadap undangan ini, Cornelis mengucapkan terima kasih namun belum dapat memenuhinya. “Jadwal saya September ini padat,” tukas Gubernur Kalbar dua periode itu.
Hadir juga dalam pertemuan tahunan ini, mantan Dubes RI untuk AS, Dino Pati Djalal, dan Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim Dunia PBB, Patricia Espinosa Cantellanos, yang memberikan sambutan dalam kondisi cidera kaki.
Laporan: Humas Pemprov Kalbar di Guadalajara, Meksiko dan Isfiansyah
Editor: Mohamad iQbaL