eQuator.co.id – “Mama dan Papa, maafkan Nita. Nita sayang Mama dan Papa,” begitu kira-kira pesan singkat yang ditulis Norma Minita, warga Gang Sepakat II, Jalan dr Wahidin Sudirohusodo, No 17, Pontianak Kota sebelum mengakhiri hidupnya, kepada sang Ibu, Hamida.
Ocsya Ade CP dan Ambrosius Junius, Pontianak
“Hari itu, mentari beriring malu-malu. Malam ini sudikah kau jadi bunga ditidurku, biar gelap tertunduk cemburu, sampai detik itu. Malam ini akankah sejenak kau lebur dimimpi. Hingga embun mencium mu hari hinga fajar lagi. Bila habis sudah rasa ini, tak berpijak lagi pada dunia, karena telah kuhabiskan sisa usiaku hanya untuk mu. Dan bila habis sudah masa ini tak tersisa lagi untuk dunia, karena kan kuberikan sisa cintaku hanya untukmu. Karena telah kuberikan sisa cinta ku hanya untuk mu”.
Coretan puisi ini didapat di dalam kamar Nita, wanita kelahiran Pontianak 24 Mei 1988 yang nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di ventilasi pintu kamar rumahnya, Rabu (2/11) pukul 13.30. Dugaan sementara, ada orang ketiga dibalik ini semua. Belakangan diketahui, Nita sering bertengkar dengan suaminya, Yulianto.
Jasad wanita yang karib dipanggil Amoy ini pertama kali ditemukan kakak iparnya, Yulianti Fitria, 33, dan Muhammad Irfan Dzaki, 13. Kala itu, Yulianti baru tiba di rumah tersebut setelah menjemput anaknya, Irfan pulang sekolah.
Sesampainya di rumah, keduanya melihat pintu kamar Amoy terbuka. Di ventilasi pintu kamar, terlihat ikatan kain. Setelah didekati dan dilihat, ternyata korban sudah tergantung dalam kondisi tak bernyawa.
Saat itu Amoy mengenakan baju kaos warna merah muda motif hello kitty dan celana pendek kotak-kotak. Lantas, keduanya langsung menguhubungi tetangga dan keluarga lainnya, kemudian melaporkan kepada pihak kepolisian. Sambil menunggu kepolisian datang, jasad wanita berwajah cantik itu diturunkan dan dibaringkan di atas tempat tidurnya.
Menurut keterangan Yulianti, Amoy dan Yulianto sehari sebelumnya, sekira pukul 22.00 sempat bertengkar. Diduga disebabkan adanya orang ketiga.
Yulianto merupakan pria kelahiran Nanga Bunut, 2 Juli 1986. Setelah mempersunting Amoy menjadi istrinya, ia memilih tinggal bersama kakak kandungnya, Yulianti di rumah nomor 17 itu. Mereka sudah lama menikah, tetapi belum dikaruniai anak.
Untuk menghidupi keluarga kecilnya, Yulianto bekerja di Hotel Transera sambil menggeluti hobi musiknya. Sedangkan Amoy, ingin membantu perekonomian keluarga, ia memilih untuk bekerja. Baru sebulan belakangan ini waanita penghobi Vespa tersebut mencari rezeki di toko kosmetik di kawasan Nusa Indah.
Yulianto yang dihubungi saat bekerja, segera pulang. Tubuhnya langsung lunglai saat mengetahui istrinya sudah tiada. Ditemani sang kakak, Yulianti, ia terus beristigfar. Sesekali dia meminta tasbih kepada kerabatnya yang mencoba untuk menenangkan Yulianto.
Pantauan Rakyat Kalbar, kondisi pintu kamar tampak ringsek dan telah terpasang garis polisi. Sejumlah personel kepolisian dari Polsek Pontianak Kota dan Polresta Pontianak tampak berjaga, melakukan pemeriksaan di sekitar lokasi.
Ibu korban, Hamida yang tiba dari rumahnya di Sungai Raya Dalam, Gang Raya 3, terus menangis, melihat anaknya sudah pergi untuk selamanya. Sesekali ia memeluk dan menggoyang tubuh Amoy dengaan harapan dapat hidup kembali. Begitu juga adik korban, yang tampak kesal dengan kenyataan ini, tanpa mempedulikan sekelilingnya.
“Dia sempat mengirim SMS (sort message service) meminta maaf kepada kedua orangtuanya, dan menyampaikan rasa sayang kepada orangtuanya,” kata Hamida dalam tangisnya.
Ibu mana yang tak sedih kehilangan anaknya. Ia terus menangis sambil berteriak, bahwa Yulianto merupakan penyebab Amoy gantung diri.
Dalam tangisan itu, Hamida menyatakan kekesalannya kepada Yulianto yang terus terbaring setelah siuman dari pingsan di kursi ruang tamu. Ia kesal, Yulianto masih saja dekat dengan seorang wanita lain. Padahal sebelumnya permasalahan orang ketiga ini sudah diselesaikan. “Kau kan sudah punya istri. Ini semua kesalahan kau,” tegas Hamida.
Hamida tak menyangka, Yulianto bisa berkhianat kepada istrinya. Sehingga Amoy nekat mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu. Pun, pagi Rabu itu, rupanya Hamida sempat menelepon Yulianto untuk menanyakan kabar Amoy. Kala itu, Yulianto mengatakan, kondisi Amoy baik-baik saja.
“Tak sangka, Ibu dulu menyerahkan (anak) bagus-bagus. Kira kau tanggungjawab, rupanya kau buat dia sakit sampai meninggal begini. Ya Allah, ya rob. Kalau sudah tak bisa bersama, kembali ke orangtuanya,” ujarnya kepada Yulianto di hadapan polisi dan wartawan.
Senin kemarin, Amoy sempat pulang ke rumah orangtuanya untuk mencurahkan isi hatinya yang selama ini dia pendam. Sebagai ibu, Hamida menasehati bahwa dalam rumah tangga ada asam manisnya. “Sabar nak, saya bilang. Sabar kau sebagai istrinya. Itu hanya perempuan saja, tidak ada apa-apanya,” terangnya.
Awalnya, Hamida dan adik korban masih belum bisa memberi keputusan, apakah jenazah anaknya akan divisum. Mereka menunggu kedatangan sang ayah. Beberapa menit kemudian, ayahnya tiba di rumah itu. Meski sedih, ia menguatkan diri untuk tetap terlihat tegar, sambil menenangkan psikologis istrinya yang terus mengucap istighfar.
Akhirnya diputuskan jenazah Amoy divisum. Sambil menunggu ambulans Rumah Sakit Anton Soedjarwo Polda Kalbar tiba, pihak keluarga berkemas. Selain ditemukan puisi tersebut, ditemukan juga sehelai kain kafan yang dibungkus dalam plastik hitam di kamar Amoy.
Sementara itu, menghindari amukan keluarga yang terlihat kesal, Yulianto diamankan ke Mapolresta Pontianak. Hingga kemarin, kasus ini masih ditangani Polsekta Pontianak Kota. Belum ada keterangan resmi dari kepolisian. Begitu juga Kapolsek Pontianak Kota, AKP Lusiana Feni yang belum bisa dihubungi.
Kepergian Amoy menjadi perhatian tetangga dan temannya. Mereka terlihat ramai mendatangi rumahnya.
Amoy dikenal baik oleh lingkungan dan temannya. Satu di antara rekannya, Kemol, 25, mengaku terakhir bertemu dengan Amoy pada acara kominitas Vespa di sebuah kafe, Minggu (30/10) lalu. “Kami bersantai di sana. Sempat berfoto bareng. Setelah itu lanjut nyantai-nyantai di Bundaran Untan. Itu saja,” katanya.
Masih di teras rumah korban, Kemol mengatakan, ia memang cukup akrab dengan Amoy, lantaran kerap bertemu dalam acara komunitas pecinta Vespa. Dikatakannya, korban pernah bercerita tentang masalah rumah tanganya kepada Kemol. Sebagai teman yang baik, ia pun memberi saran untuk bersabar dalam menghadapi masalah itu.
“Kita sudah saling kenal sejak empat tahun lalu, kami dalam satu komunitas Vespa. Dia sempat cerita masalah (keluarga). Katanya suaminya gini-gini. Saya bilang ke dia sabar saja, mungkin itu kawan bah, saya bilang dia. Mana kita tahu itu teman kerjanya,” ujarnya.
Sementara Ida, 60, tetangga korban mengaku kaget dengan kejadian ini. Ia sempat sarapan pagi di warung tepat di seberang rumah Amoy. Warung tersebut memang tempat biasa untuk sarapan pagi, serta membeli makanan buat bekal kerja.
“Nggak nyangka jak, tadi dengar kakak iparnya teriak, saya pun kaget juga. Paadahal tadi pagi ada bertemu waktu sarapan di warung, tegur sapa biasa saja,” ungkap Ida kepada Rakyat Kalbar.
“Tadi pagi, ada seorang warga yang nanya ke dia, masuk kerja apa nggak. Dia menjawab tidak masuk kerja, sedang libur,” sambung Ida.
Dijelaskan Ida, meski pendiam, Amoy dikenal ramah dan murah senyum jika berjumpa dengan tetangga. “Memang jarang bertemu dengan korban begitu juga dengan suaminya. Karena mereka masing-masing punya kesibukan, dan mereka belum dikaruniai anak. Selama bertengga tidak pernah mendengarnya cekcok atau bertengkar,” jelas Ida. (*)