Kalau Anda jadi orangtua, berani tidak mengirimkan anak kelas IV SD sendirian naik bus ke luar kota yang jauh untuk nonton sepak bola?
Pertanyaan di atas absurd? Mungkin iya. Tapi, saya mengalaminya waktu kelas IV SD dulu, sekitar tahun 1988.
Waktu itu, Surabaya sedang demam sepak bola. Saya termasuk. Di kompleks saya dulu, pertandingan sepak bola terus digelar antar-RT, di lapangan di sebelah masjid.
Saya dan teman-teman, waktu SD itu, termasuk yang kreatif. Kami punya tim yang terbentuk dari ”anak-anak satu kompleks, dari berbagai RT”. Kaus putih kami ”customize” dengan nama dan nomor di belakang, menggunakan cat semprot.
Gawang kami buat dan potong dari bahan kayu yang diambil teman dari ”tumpukan” di lotengnya. Kayu tersebut ternyata kayu jati dan teman kami disemprot habis-habisan oleh ortunya karena itu sebenarnya ranjang yang masih akan dipakai.
Tukang becak setempat kami hire sebagai official vehicle, mengangkut gawang itu ke lokasi kami akan bertanding. Itu kalau pertandingannya away dan di lapangan lawan tidak ada gawang.