Transportasi Massal Mati Akibat Sepi Penumpang

Atasi Kemacetan Perlu Keterlibatan Banyak Pihak

FGD. Foto bersama peserta dan narasumber FGD MTI Kalbar di ruang sidang utama Fakultas Teknik Untan Pontianak, Rabu (11/4). Gusnadi-RK
FGD. Foto bersama peserta dan narasumber FGD MTI Kalbar di ruang sidang utama Fakultas Teknik Untan Pontianak, Rabu (11/4). Gusnadi-RK

eQuator.co.idPONTIANAK-RK. Pembangunan Transportasi Kota Pontianak: Mau Dibawa Kemana? Tajuk itu lah yang diangkat dalam Focus Group Discussion (FGD) Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Kalbar yang digelar di ruang sidang utama Fakultas Teknik Untan Pontianak, Rabu (11/4).

Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Pontianak mengakui terkendala dalam mengatasi kemacetan di Bumi Khatulistiwa. “Dishub merupakan unsur Pemkot yang jadi leader di transportasi. Tapi tidak bisa sendiri, di situ ada stakeholder lainnya,” ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengujian Kendaraan Bermotor Dishub Kota Pontianak, Rohman, Rabu (11/4).

Dalam diskusi tersebut, sebagian besar memang mengeluhkan soal macet yang terus terjadi. Di sisi lain, angkutan massal di Kota Pontianak dianggap mati. “Semakin banyak masyarakat yang peduli seperti MPI ini, sebetulnya inilah menjadi wadah untuk memikirkan kota kita,” ucapnya.

Sebenarnya kata Rohman, persoalan macet bisa tertangani bilamana berbagai pihak konsentrasi pada angkutan umum. Sehingga bus maupun angkot kondisinya tidak memprihatinkan seperti saat ini. “Kita memang punya wacana untuk mengembangkan transportasi massal, sudah ada beberapa unit yang bisa digunakan,” tuturnya.

Namun upaya menghidupkan kembali transportasi massal ini tidaklah mudah. Selain terikat regulasi, faktor lain seperti tarif, persaingan usaha, serta kendaraan pribadi yang dipermudah masuk berdampak pada sepinya peminat angkutan publik. “Untuk mengembangkan transportasi massal, tidak mudah. Perlu komitmen bersama,” tukasnya.

Menurut data terakhir yang dihimpun pihaknya, tercatat sebanyak 400 opelet yang ada di Kota Pontianak. Itu pun tidak semuanya beroperasi optimal lantaran sepinya penumpang. Sehingga antara operasional dengan pendapatan tidak sepadan.

Ia menyatakan, tidak seperti wilayah lain di Indonesia opelet dikelola perusahaan. Sedangkan di Kota Pontianak dikelola secara pribadi.  “Idealnya angkutan itu dikelola lewat perusahaan sehingga profesional, tapi yang terjadi angkutan yang ada dikelola pribadi,” tuturnya.

“Kalau mengacu PP 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, sebenarnya menyelenggarakan angkutan harus perusahaan yang berbadan hukum,” timpal Rohman.
Untuk menghidupkan opelet, bisa saja Pemkot memberikan subsidi. Namun untuk subsidi langsung harus ada mekanisme sendiri. “Misalnya subsidi yang diberikan untuk menjadikan angkutan umum menarik dan harus murah. Makanya biaya operasional yang dikeluarkan harus ditutupi dengan subsidi. Ini yang tidak mudah,” demikian Rohman.

 

Laporan: Gusnadi

Editor: Arman Hairiadi