Kepanikan masih terus berlangsung. Selain getaran gempa yang terjadi setiap saat, masih banyak korban belum terevakuasi.
Ridwan Marzuki-Muh Nurhadi, Palu
eQuator.co.id – Seorang pria tergopoh-gopoh. Masuk ke dalam tenda selatan posko utama pengungsi korban gempa dan tsunami Donggala-Palu di Markas Korem 132/Tadulako, Palu.
Kepanikan tergambar di wajahnya. Juga sedih. Tanpa sandal atau pengalas kaki. Sebuah kondisi yang langka terjadi ketika seseorang memasuki lingkungan TNI. Akan tetapi, pria itu tak peduli. Tak gentar. Dia mendekat ke arah personel yang duduk bagian depan.
“Tolong kami, Pak. Tolong….,” demikian kalimat permohonan Alto Giffari, warga Balaroa, Kecamatan Palu Barat.
Dialah pria malang itu. Raut kesedihan tergambar dari wajahnya yang lusuh. Tubuhnya tak terawat. Belum mandi sejak gempa dan tsunami menghantam Palu.
Pakaiannya pun seadanya. Baju kaus oblong putih yang dikenakannya, warnanya telah berubah menjadi krem akibat lumpur dan debu. Untuk celana, dia hanya mengenakan celana kolor pendek.
“Beri kami bantuan. Belum ada bantuan masuk ke sana. Korban belum diangkat (evakuasi). Tolong, anak istri saya masih tertimbun di sana kasian,” pinta Alto sangat memelas.
Seorang relawan evakuasi mengarahkannya mendaftar di posko induk pengungsi korban gempa dan tsunami Palu. Tak lama, petugas membantunya. Namanya dicatat. Kini, dia terdaftar sebagai salah satu korban yang akan mendapat bantuan.
KEAJAIBAN TUHAN
Jumat, 28 September, Aldi sedang show di atas panggung di sebuah kafe di kawasan Tondo, Palu Timur, Palu. Banyak pengunjung di kafe itu. Sebagai seorang seniman, Aldi memang sering tampil di sejumlah tempat di Palu.
Kaki para pengunjung menghentak-hentak. Jarum jam menunjukkan pukul 16.00 Wita. Aldi makin semangat. Bergoyang dan meliuk. Mik dipegang erat. Sangat total dalam menyuguhkan lagu.
“Bruuukkkk….,” tiba-tiba panggung ambruk. Air laut dengan daya dorong kuat menghantam. Hanya sekejap. Tak ada yang menyadari akan datangnya gelombang raksasa mematikan itu. Tsunami yang tak mereka ketahui akan tiba secara mendadak.
Semua pengunjung terhempas. Termasuk Aldi. Terseret arus dan bahan bangunan berupa material yang telah menyatu dengan air laut. Seketika, semua orang di kafe yang memang dibangun di pinggir pantai Palu itu, hanyut dan tenggelam.
Aldi tenggelam. Namun, berjuang melawan dorongan gelombang tinggi yang dipenuhi aneka material. Wajahnya sempat muncul ke permukaan sebelum akhirnya hilang lagi digulung ombak.
Para pengunjung yang tadi menikmati lantunan suaranya, bahkan telah hilang lebih dahulu. Mereka tenggelam. Belakangan, semuanya ditemukan tewas. Beruntung, Aldi masih mujur. Dia selamat.
“Seluruh badannya luka gores. Mungkin kayu-kayu yang menggulungnya bersama tsunami,” beber ibu Aldi, Ros.
Anaknya selama berkat usaha sangat keras pantang menyerah. Meskipun terseret, dia tetap berupaya mengatur napas agar tak menelan air laut banyak. Di sisa tenaganya, tsunami menghempaskannya ke dekat daratan. Di situlah dia berpegangan pada pohon. Memanjat, lalu naik bukit.
“Aldi tak bisa lagi bergerak waktu ditemukan. Setelah tsunami surut, warga mengangkatnya dibawa ke rumah sakit,” imbuh perempuan 55 tahun itu.
Sehari-hari, bersama ibunya, Aldi tinggal di Desa Kalukubula, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi. Sekitar 9 kilometer dari Kota Palu. (FAJAR/JPG)