TKA Ilegal Tiongkok Sehari Diupah Rp400 Ribu

BURUH KASAR. Sejumlah tenaga kerja asing (TKA) saat menjalani jam istirahat siang di Desa Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Seharusnya TKA hanya untuk tenaga kerja ahli, tapi ada dari mereka yang bekerja sebagai buruh. Imam Husein-Jawa Pos

eQuator.co.id – Morosi-RK. Keberadaan TKA asal Tiongkok, legal maupun ilegal, sudah tidak bisa lagi dibantah. Seperti jamur, eskalasi mereka terus meningkat. Bayaran mereka pun luar biasa. Berikut penelusuran Jawa Pos di Sulawesi Tenggara.

Di desa/Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) kelompok TKA bekerja layaknya di kampung halaman mereka. Jumat (30/12) siang, jalan di sana tampak lengang. Hanya satu dua kendaraan truk dan mobil operasional proyek yang terlihat hilir mudik di jalan tanah (pengerasan) tersebut.

Mereka keluar masuk kawasan mega industri Morosi. Di situ ada pembangunan pabrik besar pengolahan mineral (smelter) nikel dan PLTU yang dimulai sejak 3 tahun lalu.

Kelengangan itu berubah pukul 15.00 Wita. Satu persatu pekerja semburat dari lokasi proyek. Baik pekerja lokal maupun TKA. Hanya, bedanya, pekerja pribumi langsung pulang ke rumah masing-masing. Sementara para TKA menuju deretan kios semi permanen yang berjarak 100 meter dari pintu masuk proyek. Totalnya 16 kios. Mayoritas beratap seng, asbes dan daun sagu kering, serta berdinding papan.

Deretan kios yang lebih mirip pasar templok itu dihuni warga setempat. Barang yang dijual cukup lengkap. Ada perkakas rumah tangga, seperti baskom, ember, gayung, hanger, dan bak air. Beberapa kios juga menjual pulsa elektrik, pulsa listrik, kartu perdana, sampai aksesoris hand phone. Paling banyak adalah rumah makan.

Ada juga toko buah dan toko kelontong yang menjual galon air mineral isi ulang, mi instan, biskuit, dan kopi sachet. Tidak hanya itu, penjual batu akik juga menghiasi deretan kios tersebut.

Jasa rental mobil pun bisa ditemukan di area yang berada 1 jam dari kota Kendari itu. Tarifnya Rp 400 ribu sekali jalan (Morosi-Kendari). Ada pula yang kios yang khusus menjual minuman keras (miras) jenis bir.

Pasar dadakan tersebut ramai menjelang petang. Pantauan Jawa Pos pukul 17.00-18.00 Wita. Tidak banyak masyarakat lokal yang mengunjungi kios-kios itu. Pembelinya justru banyak dari pekerja asing asal Tiongkok. Lebih 20 orang pekerja asing menuju kios-kios tersebut setiap menitnya. Itu berarti, jumlahnya mencapai 1.200 orang dalam satu jam saja.

Jumlah itu meningkat dua kali lipat selepas petang. Setiap menit ada puluhan pekerja asing yang keluar dari dalam kawasan industri. Mereka berjalan bergerombol 5-10 orang.

Mayoritas identik dengan pekerja kasar atau unskilled worker. Penampilan mereka sangat sederhana. Bahkan kucel. Sebagian besar mengenakan kaos oblong dan celana kolor atau training. Ada pula yang memakai kemeja lusuh serta celana kain warna gelap. Sebagian besar pakai sandal jepit. Hanya sedikit pekerja yang mengenakan seragam proyek warna biru dan abu-abu dan bersepatu.

Semua pekerja asing itu menggunakan bahasa Tiongkok saat berinteraksi satu sama lain. Tidak ada satupun yang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia atau Inggris.

”Mayoritas yang bekerja di pabrik itu (smelter) memang orang Tiongkok, orang Indonesia-nya sedikit,” ujar Fahrudin, warga Desa Morosi.

Nah, kios-kios itu sengaja didirikan seiring eskalasi pekerja Tiongkok di kawasan tersebut. Bahkan, tidak jarang nama kios yang menggunakan tulisan bilingual (dua bahasa), Indonesia dan Mandarin. Rumah makan Berkah, misalnya, dibawah tulisan RM Berkah terdapat aksara China yang artinya sama dengan nama rumah makan.

”Untuk memudahkan saja, karena pekerja yang beli di sini (kios) tidak ada yang bisa bahasa Indonesia,” ujar pria yang pernah jadi tukang jasa antar galon untuk pabrik smelter ini. Kompleks pasar yang berada di jalan utama Desa Morosi itu selalu ramai pukul 17.00 sampai 21.00 Wita. ”Seperti pasar malam, jam segitu pekerja asing keluar dari kawasan proyek, cari makan dan belanja,” imbuhnya.

Setiap hari, ada ribuan pekerja asing berbelanja di pasar tersebut. Mayoritas berjalan kaki. Sebagian membeli makanan instan untuk dibawa ke mes di dalam kawasan proyek. Lainnya membeli makanan siap saji di warung makan. ”Itu (jalan kaki) kebanyakan pekerja kasar, kalau  yang jabatannya level atas naik motor dan mobil, belanjanya ke Kendari,” imbuhnya.

Saat belanja di pasar itu, para pekerja yang baru tiba dari negara asalnya biasanya akan membeli baskom untuk wadah air dan makanan. ”Karena mereka tidak mau pakai baskom bekas,” beber Fahrudin yang punya usaha rental kendaraan ini.

Di pasar tersebut, transaksi jual beli antara penjual dan pekerja Tiongkok lebih dominan menggunakan bahasa isyarat. Maklum, tidak semua pemilik kios bisa berbahasa Tionghoa. Begitu juga sebaliknya, pekerja asing sangat minim yang bisa berbahasa Indonesia. Di rumah makan Hikmah milik Suminah (42), misalnya, pekerja asing mesti menunjuk makanan yang akan dipesan.

Tidak sedikit pula pekerja China yang memasak sendiri di dapur rumah makan. Selain keterbatasan bahasa, masak sendiri dilakukan pekerja asing agar citrasa makanan yang dimakan sesuai dengan selera.

Caranya, mereka akan menunjuk bahan masakan dan alat masak yang akan diolah sendiri. Untuk memasak, biasanya dilakukan lebih dua orang pekerja. Masakan itu nantinya disajikan untuk kelompok pekerja berjumlah 4-5 orang.

”Kalau ayam potong yang sudah cabut bulu Rp 70 ribu nanti dimasak sendiri sama mereka (orang China). Kalau satu porsi nasi bungkus Rp 17 ribu,” tutur Suminah.

Untuk menentukan harga, beberapa pemilik kios sudah terbisa menyebut angka dalam bahasa Mandarin. Baskom harga Rp 5.000, misalnya, penjual akan bilang bucet ke pekerja China. Namun, bila penjual belum bisa berbahasa Tiongkok, mereka akan menggunakan isyarat jari. Satu jari menunjukan harga Rp 1.000, dua jari Rp 2.000 dan begitu seterusnya.

”Mereka juga banyak yang nawar kalau harganya kemahalan,” ujar Sungkowo, 50, warga setempat.

Pekerja asing Tiongkok di Marosi selama ini memang dikenal tertutup. Terutama soal pekerjaan dan gaji. Saat Jawa Pos mencoba berkomunikasi, mereka selalu menghindar. Mereka hanya mau menyebut nama dan daerah asalnya saja. Selebihnya, mereka akan menunjukan ekspresi menolak dengan bahasa Mandarin.

”Tidak mau, tidak mau,” ujar Liu Sandong, warga China yang bekerja di proyek pembangunan smelter nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) ini.

Penelusuran Jawa Pos, lebih dari seribu warga China yang bekerja di kawasan mega industri Morosi. Data yang disebutkan perangkat desa Morosi, tercatat 1.913 warga negara asing (WNA) berada di kawasan industri itu. Mayoritas bekerja di proyek smelter PT VDNI. Mereka tinggal di barak penampungan didalam kawasan proyek yang disediakan perusahaan asal Tiongkok itu.

Bila dikroscek data imigrasi Sulawesi Tenggara, jumlah TKA itu memang berbeda. Imigrasi hanya mencatat 609 WNA bekerja di perusahaan tersebut. Sementara Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) setempat mengatakan 739 TKA yang bekerja di Sultra.

”Kalau imigrasi dan ketenagakerjaan mau bekerjasama dengan pihak desa, mereka pasti panen,” ujar salah seorang tokoh agama desa Morosi.

Itu berarti, banyak pekerja asing yang belum tercatat di instansi terkait. Para pekerja lokal yang bekerja di proyek smelter mengamini hal tersebut. Menurut mereka, TKA yang tercatat secara tertulis menduduki posisi level atas, seperti tenaga ahli (TA). Sementara tenaga level bawah belum pernah dihitung.

”Kalau dihitung jumlahnya pasti ribuan,” ujar M. Fajrian, pekerja lokal.

Fajrian mengakui, TKA yang bekerja di kawasan tersebut lebih banyak dibanding pekerja Indonesia. Perbandingannya 1 (Indonesia) : 3 (China). Pekerja asing yang tidak tercatat itu dipastikan tenaga kerja kasar. Mereka menduduki posisi level bawah. Mereka selalu lari saat ada operasi imigrasi dan ketenagakerjaan. Sehingga, tidak satupun yang berhasil terjaring.

Mereka umumnya mengisi posisi petugas cleaning service, office boy, angkat campuran semen, angkat potongan besi, angkat galon, tukang pasang batu untuk cor-coran serta helper. Ada pula tukang masak dan sopir kendaraan proyek yang berkewarganegaraan China.

Imbalan mereka pun lebih besar daripada penduduk lokal yang bekerja di posisi yang sama. ”Kalau kami (pekerja lokal) Rp 90 ribu per hari, tapi kalau mereka (pekerja kasar Tiongkok) bisa Rp 400 ribu sehari,” beber buruh kasar ini.

Selama ini, para buruh kasar di Morosi memang sulit terungkap. Sebab, mereka pulang dan pergi ke wilayah itu setiap 2-3 bulan sekali. Para pekerja tersebut mayoritas berasal dari wilayah pinggiran dan pesisir Tiongkok. Seperti diungkapkan Liu Zecai, TKA Morosi asal provinsi Jiang Shu. Dia berbekal visa kunjungan untuk bekerja di Indonesia.

”Tiongkok, Tiongkok,” ujar Liu Zecai sembari menunjukan paspornya.

Sama dengan kebanyakan TKA di Morosi, Liu Zecai juga irit berbicara saat ditanya tentang pekerjaannya. Namun, dia sempat mengamini bekerja di Morosi sebagai tenaga kerja kasar saat Jawa Pos berkomunikasi menggunakan gambar. Selebihnya, dia memilih menolak dengan menggelengkan kepala.

Liu Zecai kemarin (1/1) berencana pulang ke negaranya. Bersama belasan rekannya yang berasal dari Jiang Shu, Liu Zecai menumpang pesawat Lion Airline dari Bandara Haluoleo Kendari menuju Soekarno-Hatta Jakarta untuk transit ke penerbangan internasional.

Sementara itu, Bagian Pesonalia PT VDNI Yuda Novendri menampik adanya kabar TKA Ilegal di perusahaannya. Dia menegaksan bahwa semua TKA yang dipekerjakan oleh Virtue Dragon memiliki paspor dan visa.

”Mereka 100 persen masuk lewat Bandara Seokarno Hatta. Dan selanjutnya masuk Kendari lewat Bandara Haluoleo,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos.

Dia menerangkan TKA dari perusahaannya memang dipekerjakan dalam hitungan bulan. Karena itu, dia tidak heran jika wajah-wajah baru TKA semakin bertambah. Data per akhir November 2016. Jumlah TKA yang bekerja pada VDNI mencapai 701. Terdiri dari 609 pekerja di Kendari dan dua karyawan di Jakarta.

’’Untuk laporan Desember ini masih kami buat dan baru bisa dilaporkan pada awal Januari,” jelasnya.

Dia juga membantah bahwa TKA yang diimpor dari Tiongkok adalah pekerja yang tak mempunyai ketrampilan. Menurutnya, karena teknologi smelter yang dibawa langsung dari Tiongkok, maka mau tidak mau perusahaan harus mempekerjakan teknisi dan pekerja konstruksi dari Tiongkok. Namun, dia menegaskan bahwa mereka tidak masuk kategori buruh.

”Apa teknik mengelas mesin mereka yang notabene perlu keahlian dapat dikatakan buruh ? Seperti diketahui bahwa teknologi dan pembangunan smelter sepenuhnya dari Tiongkok. Selain itu, kami juga mempekerjakan tenaga lokal untuk membantu mereka,” jelasnya. Menurutnya, tenaga lokal yang diserap mencapai 900 tenaga lokal per November lalu. (Jawa Pos/JPG)