eQuator.co.id – Surabaya–RK. Polisi akhirnya membeberkan keterkaitan lima serangan bom yang menyasar Surabaya dan Sidoarjo selama dua hari berturut-turut. Tiga keluarga yang jadi bomber itu ternyata rutin bertemu seminggu sekali. Yakni setiap hari Minggu di rumah Dita Oeprianto.
Kapolda Jatim, Irjen Pol Machfud Arifin, menyebut keluarga Dita, Anton Febrianto, dan Tri Murtiono rutin bertemu setiap minggu selama beberapa bulan. “Pengajian rutin di rumah Dita itu,” ujarnya, Selasa (15/5).
Saat ditanya mengenai berapa persisnya keluarga Dita, Anton dan Murtiono mengaji bersama, Machfud belum bisa menjawab. “Yang itu masih proses,” katanya.
Jenderal asal Ketintang itu menuturkan, pengajian yang diselenggarakan tiga keluarga itu bersifat eksklusif. Tidak ada satu orang pun di luar tiga keluarga itu yang diperbolehkan ikut. Guru ngaji mereka berjumlah dua orang masih dalam pengejaran.
Keduanya diburu langsung oleh tim gabungan Densus 88 dan Ditreskrimum Polda Jatim. Diduga kuat merka juga termasuk pentolan JAD (Jamaah Ansharut Daulah) di Jatim.
“Tenang, anggota lapangan sudah bermain sekarang. Doakan saja segera tertangkap,” jelasnya.
Lantaran dipimpin guru mengaji afiliasi JAD, maka konten yang diajarkan berbeda dengan pengajian pada umumnya. Majelis taklim eksklusif itu mencuci otak keluarga para pelaku. Mulai dari mempertontonkan video jihad ala Timur Tengah hingga diajari merakit bom.
Fakta tersebut didapatkan setelah melakukan penggeledahan di rumah para bomber dan pemeriksaan sejumlah saksi. Dari sana polisi mendapatkan sejumlah petunjuk kongkrit soal praktik penyebaran radikalisme itu. Saat ditanya soal barang bukti apa saja yang disita polisi, Machfud menjawab diplomatis.
“Itu masih proses,” katanya.
Dita diketahui merupakan Ketua JAD Cabang Surabaya. Dia menjadi pentolan teroris di Kota Pahlawan setelah dua pimpinannya, Zainal Anshori dan Aman Abdurrahman dicokok Densus 88.
Selain itu, dua dari tiga anak dari terduga teroris Anton diketahui tidak menempuh jalur pendidikan formal sama sekali. Faisa Putri dan Garida Huda Akbar tidak bersekolah. Mereka hanya mendapatkan pendidikan dari keluarganya saja.
Yang unik, ternyata Faisa dan Huda sudah disetting untuk menjawab homeschooling ketika ditanyai siapapun soal jalur pendidikan yang mereka tempuh. Padahal mereka tidak menempuh jalur pendidikan informal itu.
“Kalau ditanya jawabannya homeschooling, padahal nggak sekolah sama sekali,” ucapnya.
Satu anak Anton yang tidak terpapar ajaran radikal adalah Ainur Rahman. Sebab, dia kerap keluar kamar dan memilih tinggal bersama neneknya di Rusun Wonocolo Blok B No 5, Taman, Sidoarjo. Tempat tinggal Anton hanya berjarak dua kamar. Yakni di Blok B No 2.
Machfud menyebut Ainur bersekolah di tempat lain. Dia tidak di-homeschooling-kan seperti dua adiknya, Faisa dan Huda.
“Anak itu (Ainur) bersekolah. Nggak kayak anak yang lainnya. Dia ikut neneknya,” paparnya.
Berdasar data yang dihimpun Jawa Pos di lapangan, keluarga Anton dinilai warga sangat tertutup. Saat ditanyai soal dimana sekolah Ainur, warga mengaku tidak tahu sama sekali.
“Sama sekali nggak tahu. Itu orangnya tertutup,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Machfud juga menyatakan, empat anak terduga teroris bakal jadi saksi mahkota. Seluruh pengakuan yang mereka sampaikan bakal jadi alat petunjuk polisi.
Seperti diketahui, empat orang anak itu adalah Ainur Rohman, Faisa Putri, Garida Huda Akbar dan Aisyah Azzahra Putri. Ainr, Faisa dan Garida merupakan anak dari bomber di Rusun Wonocolo, Taman, Sidoarjo. Sedangkan Aisyah merupakan putri dari Tri Murtiono yang meledakkan diri di Mapolrestabes Surabaya.
Lantaran semuanya masih dibawah umur, polisi berusaha menggali fakta keseharian mereka saja. Mulai dari jadwal bangun tidur hingga agenda apa saja yang biasa mereka ikuti.
“Tentu dengan pendekatan khusus. Seluruh pengakuannya dimungkinkan jadi petunjuk,” kata Machfud.
Oleh karena itu, kini mereka ditempatkan di ruangan khusus di RS Bhayangkara Polda Jatim. Salah satu pengakuan yang berhasil didapat polisi adalah soal fakta pernah disuruh menonton film jihad ala Timur Tengah. “Padahal penuh kekerasan. Ngeri. Tapi itu pengakuannya,” jelas jenderal bintang dua itu.
Di sisi lain, pihak kepolisian mendapatkan tugas tambahan, yakni trauma healing dan deradikalisasi terhadap empat bocah itu. ’’Kami lakukan pendampingan bersama psikolog dan pemerhati anak,’’ tutur Kabidhumas Polda Jatim Kombespol Frans Barung Mangera.
Ainur tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya, meski masih satu rusun. Dia tinggal bersama neneknya di unit yang berbeda. Ainur pulalah yang menunjukkan lokasi gudang penyimpanan bahan peledak milik ayahnya kepada polisi.
’’Mereka ini kami sebut korban indoktrinasi,’’ terang mantan Kabidhumas Polda Sulsel itu.
Maka, keempatnya diberi pendampingan oleh psikolog dan pemerhati anak untuk menghilangkan trauma atas apa yang terjadi. Sebagai langkah awal, mereka dibuat senyaman mungkin dengan keadaan di sekelilingnya. Kemudian, ada proses relaksasi progresif untuk mencegah agar mereka tidak stres.
Psikolog juga akan mengupayakan agar setiap informasi yang disampaikan kepada anak-anak tersebut tidak berdampak buruk terhadap kondisi mereka. Khususnya, informasi yang berkaitan dengan orang tua anak-anak tersebut.
Begitu pula dengan kerabat anak-anak itu, polisi akan memberikan pendampingan. Tujuannya, pihak keluarga ikut memperhatikan tumbuh kembang anak-anak itu agar jauh dari indoktrinasi sebagaimana orang tua mereka. Pihak keluarga juga diberi briefing agar tidak keliru dalam menyampaikan informasi kepada keempat anak itu.
Pelibatan anak-anak dalam lima serangan bom di Surabaya dan Sidoarjo perlu jadi peringatan keras bagi masyarakat. Sebab, jika level terorisnya keluarga bakal sulit dideteksi. Machfud menyatakan perlu semua pihak untuk melakukan deteksi dini.
Dia menyebut perlu partisipasi tiga pilar. Yakni Polri, TNI dan Pemkot/Pemkab. “Sampai ke level Polsek lalu tembus sampai RT-RW. Tanpa bantuan mereka ya nggak mungkin bisa,” ujarnya.
Model Community Policing itu perlu dibudayakan dalam masyarakat. Sebab, sejatinya warga bisa menjadi polisi atas dirinya sendiri. Jika hanya mengandalkan pengamanan personel polisi, tentu tidak akan efektif. Sebab, jumlah polisi terbatas.
“Pokoknya semua harus waspada, bukan saling mencurigai, harus peduli dengan sekitar,” imbaunya.
Sementara itu, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto menjelaskan bahwa aparat kepolisian terus bergerak memburu para terduga teroris. ”Sampai ke akar-akarnya,” kata dia ketika diwawancarai di Mabes Polri, Jakarta, kemarin.
Setiap informasi langsung ditindaklanjuti dan didalami. Mereka melakukan langkah itu guna meminimalisir potensi ancaman serupa yang terjadi di Surabaya.
Berdasar informasi yang dia terima sampai kemarin sore, jumlah terduga teroris yang ditangkap masih 13 orang. Seluruhnya masih satu jaringan dengan Dita Oeprianto yang meledakan bom di tiga gereja bersama keluarganya.
”Semua grup JAD Surabaya di pimpin oleh Dita,” terang pria yang akrab dipanggil Setyo itu. Dia pun memastikan kembali, seluruh terduga teroris itu saling berkaitan.
Sebagai pimpinan JAD di Surabaya, Dita bersama anggotanya, Tri Murtiono memang sudah bersiap untuk melaksanakan bom bunuh diri. Tidak heran, selang sehari pasca Dita meledakan bom bersama keluarganya, Tri menyusul. Dia menyerang Mapolrestabes Surabaya. Disamping berperan sebagai pimpinan JAD Surabaya, Setyo menuturkan bahwa Dita turut serta dalam perakitan bom.
”Yang merakit bom Dita,” imbuhnya.
Namun demikian, tidak semua proses perakitan dilaksanakan di rumah Dita. Berdasar data dan fakta yang diperoleh aparat kepolisian di lapangan, sejumlah barang bukti ditemukan terpisah. Termasuk bahan baku untuk membuat bom serta bom yang sudah selesai dan siap diledakan. Dari rumah Dita misalnya. Di antara barang bukti yang diamankan, petugas turut menemukan bahan baku yang bisa dipakai untuk membuat bom.
Serupa, petugas kepolisian juga mendapati sejumlah barang bukti serupa di kediaman Anton Ferdianto. Mulai cairan kimia sampai bom siap ledak. Barang bukti yang sama juga ditemukan di tempat tinggal terduga teroris ASW, Abu Haidar alias Widodo, TM, dan Budi Satrijo. Nama terakhir tidak lain adalah terduga teroris yang mau tidak mau harus ditembak mati oleh petugas. Dari data yang diterima Setyo, Budi juga punya peran khusus.
Menurut pati Polri asal Semarang itu, Budi juga dapat tugas mengumpulkan dana. ”Perannya adalah penampung dana yang digunakan kelompok JAD Surabaya,” imbuh Setyo.
Peran tersebut dijalankan Budi sesuai arahan Dita. Belum diketahui pasti sumber dana yang ditampung oleh Budi. Sebab, sampai saat ini petugas yang bekerja di lapangan masih terus mendalami sejumlah data.
”Mungkin dari anggotanya,” tambah dia.
Termasuk di antaranya jumlah pasti anggota JAD Surabaya. Selain itu, pendalaman juga dilakukan untuk mengetahui dengan jelas aktivitas pengajian yang bisa diikuti oleh anggota JAD Surabaya.
”Masih didalami,” imbuh Setyo. Yang pasti, kata dia, masih ada terduga teroris yang berkaitan dengan peledakan bom bunuh diri di Surabaya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). ”Teman-teman masih bergerak di beberapa wilayah,” tambahnya.
Polisi juga tidak mau berlama-lama memegang barang bukti bom yang didapatkan dari para pelaku teror. Kemarin (15/5), aparat mengadakan dua kali disposal atau pemusnahan terhadap bom yang sudah jadi maupun bahan pembuat bom. Barang-barang itu didapatkan dari berbagai operasi di Surabaya dan Sidoarjo sejak Minggu (13/5) lalu.
Disposal dilakukan di lahan mangrove Medokan Sawah Gunung Anyar Surabaya. Pemusnahan pertama berlangsung antara pukul 11.00-13.00. itu untuk barang bukti yang kami dapatkan dari dua lokasi. Masing-masing di kediaman pelaku bom gereja Dita Oepiarto di Wonorejo, Rungkut, Surabaya, dan tempat tinggal Anton Febrianto di Rusun Wonocolo, Sepanjang, Sidoarjo.
Di rumah Dita, polisi mendapati bahan-bahan racikan bom. Kemudian ada senapan angin, rangkaian kabel hingga bahan peledak untuk bom pipa.
”Untuk rangkaian bom (pipa) yang sudah siap pakai, di rumah Dita ditemukan 15 buah,” terang Kabidhumas Polda Jatim Kombes Frans Barung Mangera di Mapolda Jatim kemarin.
Sementara, di rumah Anton, ditemukan lebih banyak lagi bahan pembuat bom. Karung-karung berisi sulfur belerang dan bahan lainnya ditemukan disebuah gudang di rusun tersebut. ”Yang menunjukkan lokasi barang bukti itu anaknya yang nomor 2, dia tinggal dengan neneknya,” lanjut perwira kelahiran Toraja, Sulsel, itu.
Untuk bom aktif, hanya ditemukan satu di rumah Anton. Bom itu tadinya nyaris meledak, karena Dita sudah memegang tombol pemicu saat polisi datang. Namun, upayanya gagal karena dia keburu ditembak hingga tewas. Seluruh barang bukti tersebut didisposal.
Sedangkan, barang bukti dari kediaman Tri Murtiono, pelaku bom Mapolrestabes Surabaya, didisposal sorenya pukul 17.00. Kemarin menjelang siang, Rumah kontrakan tri di Jalan Tambak Medokan Ayu VI digeledah. Sekitar tiga jam, tim Gegana dan Densus 88 Polda Jatim memeriksa rumah Tri dan menemukan puluhan bom aktif.
“Ada 54 bom yang ditemukan. Itu terdiri dari 27 kontainer yang masing masing berisi dua pipa,” ujar Kapolrestabes Surabaya Kombes Rudi Setiawan. Bom yang ditemukan sebagian besar berdaya ledak tinggi. Dari 54 bom itu, tiga di antaranya yang berdaya ledak kecil diledakkan di lokasi penemuan. Selebihnya, 51 bom dibawa ke Gunung Anyar.
Pukul 14.00 mobil penjinak bom mulai meninggalkan rumah kontrakan Tri untuk menuju lokasi disposial. Bom yang mereka bawa lantas di tanam di dalam tanah. Sebuah backhoe digunakan untuk membuat lubang penanaman. “Karena daya ledaknya tinggi, peledakan kami lakukan dalam beberapa tahap,” sambung Rudi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi efek ledakan yang besar. Persiapan untuk peledakan pun membutuhkan waktu sekitar dua jam.
Setelah persiapan selesai, wartawan diminta mundur untuk semakin menjauhi lokasi disposial. Saat diledakkan, dari jarak 300 meter, suara terdengar menggelegar. Letupan api juga terlihat mengudara. Sirine mobil yang ada di sekitar pun langsung berbunyi. (Jawa Pos/JPG)