Tiga Kali Puji Dibelikan Mobil, tapi Dijual Semua

Kemenag Telusuri Pegawainya

BOM. Barang bukti bom yang digunakan para teroris diperlihatkan di layar saat keterangan pers di Polda Jatim, kemarin. Dite Surendra-Jawa Pos
BOM. Barang bukti bom yang digunakan para teroris diperlihatkan di layar saat keterangan pers di Polda Jatim, kemarin. Dite Surendra-Jawa Pos

eQuator.co.id – Salah seorang putra Dita Oepriarto sempat menangis setelah salat berjamaah beberapa hari sebelum aksi pengeboman terjadi. Bertahun-tahun ikut salat berjamaah selalu datang terlambat dan pulang cepat.

Wakil Ketua Takmir Musala Al Ikhlas di kompleks Perumahan Wisma Indah Khorihah masih ingat betul wajah Dita saat terakhir bertemu. Tepatnya saat salat Subuh berjaamah Minggu lalu (13/5). Di musala itu Dita dan dua anak laki-lakinya selalu melaksanakan salat berjamaah. ”Magrib, Isya, dan Subuh, Dita pasti salat di sini. Anaknya malah Duhur dan Asar juga (salat) di musala,” ujar pria 65 tahun tersebut.

Mereka selalu datang belakangan, seusai iqamah atau saat surah Al Fatihah dibacakan. Begitu juga halnya setelah salat, mereka langsung pulang. Tidak pernah duduk dulu ikut berdoa ataupun mengobrol dengan jamaah lain. Hal itu berlangsung bertahun-tahun. Jamaah lain sudah hafal.

Mereka melihat tidak ada yang aneh dengan Dita dan kedua anaknya menjelang aksi pengeboman. Hal janggal justru didapati sehari dan dua hari sebelum aksi pengeboman yang dilakukan Dita Oepriarto, 47, bersama istrinya, Puji Kuswati, 43, dan keempat anaknya, Yusuf Fadhil, 18; Firman Halim, 16; Fadhila Sari, 12; dan Famela Rizqita, 9; tersebut.

Pada Kamis (10/5) Firman menangis setelah salat Subuh. Khorihah sempat mendengar sedikit bisikan Dita kepada anaknya. ”Sabar ya, Nak. Ikhlaskan,” ujar Khorihah menirukan ucapan Dita kepada Firman.

Tak hanya sampai di situ, Sabtu (12/5) sesudah melaksanakan salat Magrib, warga melihat lagi Firman menangis. Dita pun memeluk anaknya dan mencoba menenangkan. Warga sebenarnya penasaran, tapi tidak berani menanyakan.

Puji pun dikenal santun dan grapyak dengan ibu-ibu di kompleks. Tiap arisan rutin saban bulan dia selalu datang. ”Bahkan, waktu tiba giliran arisan di rumahnya, dia selalu terbuka,” ujar ketua RT tersebut.

Puji sendiri ternyata kelahiran Dusun Krajan, Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi. Dia merupakan putri ketiga di antara empat bersaudara pasangan H Koesni dan Hj Minarti. Koesni yang kini berumur 82 tahun adalah pensiunan TNI-AL dan kini bersama putranya mengelola usaha jamu tradisional.

H Rusiyono, juru bicara keluarga H Koesni, mengatakan bahwa Puji sejak kecil tidak tinggal bersama orang tuanya. Saat masih berumur 20 bulan, Puji diadopsi almarhumah Ny Sukar, kakak kandung Koesni yang tinggal di Kecamatan Gorang Gareng, Kabupaten Magetan. ”Sejak kecil diasuh budenya. Karena saat itu budenya tidak memiliki anak,” ujarnya.

Sebelum menikah dengan Dita, Puji datang ke Banyuwangi untuk minta restu. Saat itu Koesni bersama keluarga tidak merestui. ”Puji tetap nekat menikah. Katanya sudah saling cinta,” ungkapnya.

Karena nekat menikah, hubungan Puji dan keluarganya di Banyuwangi tidak baik. Nyaris tidak pernah ada komunikasi. Puji bersama suami dan anaknya terakhir pulang pada 28 Januari 2018 saat keluarga menggelar hajatan. ”Kalau di rumah tidak pernah lama,” katanya.

Meski jarang berkomunikasi, Koesni tetap memperhatikan putrinya. Selain membelikan rumah, dia sempat membelikan mobil. ”Membelikan rumah dan mobil itu karena melihat cucu-cucunya,” sebut Sujiyo, kerabat Koesni.

Sujiyo menambahkan, Koesni sempat kesal dengan ulah menantunya itu. Tiga kali dibelikan mobil, tapi dijual semua. Pada 2013 pasutri tersebut kembali dibelikan mobil Toyota Avanza, tapi BPKB-nya tidak diberikan agar tidak dijual lagi. ”Mobil itu sepertinya yang dibuat bom bunuh diri,” ujarnya.

Sementara itu, Rektor Unair M. Nasih mengatakan, Dita memang benar pernah menjadi mahasiswa Unair. Dia mengambil D-3 program studi manajemen pemasaran, tapi tidak sampai lulus. Dita drop out pada semester III karena tidak pernah masuk dan hanya menempuh 47 SKS dengan IPK 1,47. ”Jadi bukan alumni,” tegasnya.

Selama kuliah, jelas Nasih, Dita juga tidak pernah aktif di organisasi mahasiswa. Baik senat mahasiswa maupun unit kegiatan mahasiswa (UKM). Termasuk tidak pernah ikut kelompok kajian masjid kampus.

Sementara itu, pengungkapan kasus terorisme di Surabaya dan sekitarnya, mencatut perempuan berinisial W. Dia adalah istri Budi Satrio, terduga teroris yang ditembak mati polisi Senin (14/5) lalu. Diketahui W berprofesi sebagai PNS Kementerian Agama (Kemenag).

Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag Mastuki mengatakan, istri terduga teroris itu bekerja sebagai sebagai staf tata usaha (TU) di Kantor Kemenag Kota Surabaya. “Dia bekerja sejak 2005,” katanya saat dikonfirmasi kemarin (15/5).

Mastuki lantas memastikan hanya si istri yang berstatus PNS Kemenag. Sementara suami yang bernama Budi dan sudah tewas ditembak polisi, bukan PNS Kemenag.

Untuk tindak lanjut, Mastuki menjelaskan Kemenag sudah menurunkan tim dari Inspektorat Jenderal (Itjen) ke kediaman W, Senin malam lalu (14/5). Dia menegaskan menerjunkan tim Itjen Kemenag sudah sesuai dengan prosedur dalam rangka menegakkan disiplin pegawai sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 53/2010 tentang Disiplin PNS.

Sementara itu di Kantor Presiden Menag Lukman Hakim Saifuddin ikut mengomentari pegawainya yang menjadi istri terduga teroris. Dia mengatakan Kemenag masih melakukan penelusuran.

“Intinya Kemenag memiliki jumlah satker (satuan kerja, Red) terbanyak diantara kementerian dan lembaga lain. ASN (aparatur sipil negara, Red) di Kemenag tak kurang dari 220 ribu orang,” jelasnya.

Dengan jumlah pegawai sebanyak itu, Lukman mengatakan kemampuan mereka untuk mengetahui aktivitas setiap pengawas terbatas. Dia juga mengatakan Kemenag secara institusi tidak tahu apa saja kegiatan pegawainya ketika berada di luar kantor. Lukman juga mengatakan terus melakukan komunikasi dengan kepolisian.

“Tentu ini pelajaran bagi kami di Kemenag,” jelasnya.

Supaya lebih ketat dan kewaspadaan bahwa seluruh ASN atau PNS dan seluruh keluarganya harus sesuai sumpah dan janji yang diucapkan saat dilantik jadi aparatur negara. Untuk itu Kemenag sangat tegas dalam menjatuhkan sanksi kepada aparaturnya yang melanggar hukum, sumpah, regulasi, dan ketentuan lainnya terkait profesi ASN. (Jawa Pos/JPG)