eQuator.co.id – Nanga Pinoh-RK. Enam bulan menjabat Kasat Reskrim Polres Melawi, AKP Siswadi sudah menangani tujuh kasus pencabulan anak bawah umur. Rata-rata tersangka bukan orang jauh, melainkan paman, ayah tiri dan tetangga korban.
“Ini saya mengatakan yang saya ingat saja ya. Pertama terjadi pada Maret 2016. Korbannya anak 13 tahun, pelajar SMP di Nanga Pinoh. Pelakunya ayah tiri sendiri,” kata Siswadi.
Tersangka mencabuli korban beerulang-ulang kali sejak masih SD. Bahkan korbannya hamil, padahal masih SMP. “Tersangka melakukan perbuatan biadab itu, ketika ibunya sedang berjualan,” ujar Siswadi.
Kasus berikutnya dialami anak 14 tahun di Kecamatan Belimbing, Maret 2016 lalu. Tersangkanya juga ayah tiri korban. Tersangka mencabuli anak tirinya sejak di bangku SD.
“Kalau di Belimbing ini, modusnya membawa korban untuk ikut ke kebun sawit miliknya. Sampai di sana anak tirinya itu dicabuli, dan terjadi berulang-ulang kali. Korban menerima saja perlakuan tersangka, karena di bawah tekanan atau ancaman,” ucapnya.
Kasus ketiga di Menukung, April 2016. Dialami anak 10 tahun. Tersangkanya paman korban. “Ini juga dibawah tekanan dan ancaman tersangka,” ungkap Siswadi.
Selanjutnya di Kecamatan Sayan, Mei 2016. Korbannya gadis 15 tahun. Tersangka teman dekat korban, remaja 17 tahun. “Ini dilakukan di sebuah café,” ucapnya.
Kelima di salah satu hotel di Nanga Pinoh. Korban anak 14 tahun warga Sintang. Keduanya berkenalan via Blackberry Messenger (BBM). Keduanya janjian bertemu di Nanga Pinoh, dan menginap di sebuah penginapan.
“Kalau yang duanya lagi saya lupa lokasi dan usia korbannya. Namun yang pasti itu ada tujuh kasus pencabulan yang terjadi, selama saya menjabat sebagai Kasat Reskrim sejak Januari 2016 hingga sekarang,” bebernya.
Menanggapi maraknya kasus pencabulan, Kepala Kantor Kemenag Melawi, Azharudi Nawawi mengaku sudah terjadi degradasi atau krisis moral, baik kalangan remaja maupun di tengah masyarakat. “Ya kondisi ini memang memprihatinkan. Kasus ini memag tengah disoroti,” ungkap Azharudi.
Dia mengatakan, perubahan-perubahan ini dapat terjadi, dimulai dari lingkungan keluarga atau di dalam rumah sendiri. Pendidikan agama lemah, pengawasan dari orangtua kurang, bahkan mulai acuh tak acuh.
“Kalau istilah kita, anak ayam tidak pulang dicari tuannya. Tapi kalau sekarang anak gadis, tidak pulang semalaman, dibiarkan saja,” tegasnya.
Orangtua mestinya berperan penuh. Di samping itu sekolah dan instansi terkait melakukan pencegahan. Orangtua jangan bangga ketika bisa membelikan anaknya handphone termahal. “Karena sarana itulah, anak-anak dengan mudah mengakses apapun, termasuk pornografi,” kata Azharudi.
Mestinya orangtua mmbetengi anak-anaknya dengan pendidikan agama. “Apapun agamanya, harus dibentengi dengan memperkuat pelajaran dan pembinaan agama,” katanya.
Dinas terkait juga dapat berperan, di samping kepolisian. Pemkab harus menerapkan aturan tegas, agar remaja dan anak sekolah tidak lagi bebas keluyuran hingga larut malam. “Misalnya dibuatkan Perda. Agar siswa keluar malam dia takut. Jadi ada batasannya,” ungkapnya. (ira)