Tak Pernah Meresahkan, dan Sekarang Bubar

Menelisik Jejak Diduga Gafatar di Kapuas Hulu (Bagian 2)

NYATAKAN BUBAR. Pertemuan antara Muspika Kecamatan Putussibau Selatan (empat orang berseragam yang duduk terpisah) dengan 15 eks anggota Gafatar (menghadap ke deretan Muspika) di Kantor Camat setempat, Jumat (15/1). Andreas

Setelah mendapat petunjuk dari Pak Ani, warga Kedamin Hulu, terkait lokasi yang ditempati warga asal Jawa, wartawan koran ini pun menuju ke tiga unit bangunan semi permanen yang dibangun berderet di tepi jalan poros menuju Pantai Baung, Putussibau Selatan.

Andreas, Putussibau

Tempat itu tampak sepi, hanya ada ibu rumah tangga bersama sejumlah anak. “Laki-laki pada ke kebun, hanya kami dan anak-anak doank di sini. Sudah setahun lebih kami di sini, dari Purwakerta, ada yang dari Jakarta,” ungkap salah seorang ibu berusia muda, Kamis (14/1).

Berselang sekitar empat menit, keluar seorang pria muda dari rumah di sebelahnya. Ia memperkenalkan diri dengan nama Igit. Pria dengan logat Sunda ini juga mengaku berasal dari Purwakerta.

“Di sini kita sama teman-teman, hanya beda daerah aja. Sebelumnya saya di Tangerang, saya memang udah merantau, Tangerang, Jakarta ya, mutar-mutar gitu mas cari rejeki,” tutur Igit, ramah.

Ia berada di Kapuas Hulu sudah lebih dari setahun, aktivitasnya selain berkebun juga berjualan bakso pentol keliling Putussibau. “Ya biasa mas, cari rejeki, yang penting kita giat doang. Tapi sekarang istri lagi hamil, ndak jual pentol lagi, karena kadang bawa ke Puskesmas,” cerita dia.

Ketika bertolak dari Jawa ke Kalbar, Igit sudah mengurus kepindahan penduduk. Ia pun memperoleh hak seorang warga negara seperti BPJS untuk keperluan berobat sang istri yang tengah hamil muda.

“Kalau ndak ada itu mah repot, tapi kita sudah bawa surat pindah dari Jawa kesini,” lugasnya.

Diakui Igit, kedatangannya bersama rombongan ke Kalbar ada yang menggunakan kapal laut dan pesawat, kemudian menuju Kapuas Hulu menggunakan kendaraan darat. Menurut dia, di kawasan itu ada tujuh KK warga pendatang.

“Kita tidak ditanggung kelompok atau organisasi. Kita punya duit dikit, kita ke sini, cari pengalaman. Di Kalimantan tanahnya masih luas, ndak seperti Jakarta,” papar dia.

Rumah kontrak yang ditempati Igit bersama rekannya itu disewa seharga Rp6 juta pertahun. Namun, sekarang, sistem pembayarannya perbulan, sebesar Rp600 ribu. “Tapi kita mah patungan bayarnya. Satu rumah ada yang dua KK, karena ada dua kamar. Jadi agak ringan bayarnya,” bebernya.

Ia mengaku, hasil dari usaha berkebun dan berjualan kue yang dilakukan ibu-ibu cukup besar, sehingga mampu memenuhi kebutuhan rumah tangganya. “Masyarakat di sini baik, ramah-ramah, kalau habis panenan kita biasa bagi-bagi hasil kebun,” ucap Igit.

Dia juga menyatakan tidak bergabung dengan organisasi atau perkumpulan dalam bentuk apapun, dengan alasan ingin fokus bekerja menafkahi anak istrinya. “Belum ada gabung ke organisasi, di sini sih banyak orang Sunda. Malas pak ikut-ikut gitu, mending nyari duit buat anak istri,” tandasnya.

Soal ini, Lurah Kedamin Hulu, Sabran membenarkan. Hampir setahun lebih penduduk dari Jawa datang dan tinggal di RT 14/RW 05 kelurahannya. Mereka berjumlah tujuh Kepala Keluarga (KK)
“Secara administrasi mereka membawa surat pindah lengkap dari Jawa, sebagaimana proses perpindahan resmi yang berlaku di negara kita,” terang Sabran, di kantornya.

Di daerah tersebut tidak ada warga pendatang lain, mereka tinggal di rumah kontrakan yang berjumlah tiga unit itu. “Disitu mereka memiliki homeschooling (bukan pendidikan formal,red), memang pergaulan mereka agak terbatas, dari segi bahasa memang kesulitan karena kita sering bahasa kampung (setempat,red),” tuturnya.

Terkait kepercayaan yang dianut oleh warga tersebut, Sabran tak tahu persis. “Paling dalam identitas mereka di situ agamanya Islam,” ucap dia.

Dan, selama ini, lanjutnya, keberadaan warga dari Jawa itu tidak pernah menimbulkan keresahan di lingkungan sekitar. Mereka bergaul normal seperti biasa.

“Dan kita memang belum menanyakan secara langsung ke mereka bagaimana mereka menerapkan kepercayaan yang dianut, karena kepercayaan ini sifatnya individual, ndak bisa juga kita serta merta memanggil mereka tanpa alasan,” tandasnya.

Penelusuran berlanjut kemarin (15/1). Kali ini, bersama Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Putussibau Selatan. Selain camat, ada Danramil, anggota Polsek, dan unsur dari Kantor Kementerian Agama setempat.

Mereka mengundang warga tiga unit rumah kontrakan di Kelurahan Kedamin Hulu tersebut ke Kantor Camat Putussibau Selatan. Pertemuan dihadiri 15 warga.

Terungkap lah bahwa mereka memang anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Sekretaris Gafatar Kapuas Hulu, Ponidi mengungkapkan, pertama kali menginjakkan kaki di bumi uncak Kapuas pada 13 September 2014. Kala itu seluruh anggota bermukim di tiga lokasi.

“Kami tinggal di lokasi kontrakan Pak Gawat, Pak Soleh, di Jalan Baong, kemudian kontrakan ketiga di Jalan Dogom Putussibau. Ini ngontrak selama satu tahun. Kami di Kapuas Hulu ada 12 kepala keluarga,” ujarnya.

Ponidi mengaku anggota Gafatar yang hijrah ke Kapuas Hulu itu berasal dari Jakarta dan Tanggerang. Menurut Ponidi, aksi sosial dan gotong royong di Gafatar bernilai positif.

“Saya punya pengalaman sendiri, yang awal takut donor darah namun ketika dapat penjelasan dari Gafatar, akhirnya saya rutin donor hingga bergabung dengan Gafatar,” tukas dia.

Kemudian, di Gafatar ada program ketahanan pangan untuk mengurangi impor beras dari luar. “Kami diberi pandangan bagaimana menjadi petani dalam rangka menciptakan ketahanan pangan,” ungkap pria yang mengaku pernah bekerja di salah satu pabrik di Tangerang itu.

Karena tidak mampu menahan tekanan, Ponidi memutuskan berhenti bekerja di pabrik dan memutuskan merantau ke Kalimantan. “Kami ke sini dipimpin Ketua Gafatar Kapuas Hulu, namanya Junaidi, kemudian melaporkan diri ke Kesbangpol Kabupaten,” bebernya.

Ketika mendaftar ke Kesbangpol, pihaknya diminta menyerahkan data kepengurusan organisasi, termasuk AD/ART Gafatar. “Kemudian pada April 2015, Gafatar di Kalbar dibubarkan, Gafatar Kapuas Hulu otomatis bubar,” tegas Ponidi.

Setelah bubar, mereka tidak bergabung lagi dengan organisasi manapun. Junaidi selaku ketua Gafatar Kapuas Hulu pun memutuskan mengubah nasib ke Pontianak. Hingga September 2015, setelah istrinya melahirkan, tidak pernah kembali ke Kapuas Hulu.

“Dari 12 KK mantan anggota Gafatar, dua KK meninggalkan Kapuas Hulu, satu KK lagi namanya Tokino yang bekerja ke Sintang,” papar Ponidi.

Dari pengarahan pimpinannya, lanjut dia, Gafatar merupakan ormas yang bergerak di bidang sosial, kemanusiaan, dan budaya sehingga yang menjadi anggota dari beragam kalangan, suku, dan agama.

“Organisasi Gafatar tidak pernah menyentuh ranah agama, karena urusan ibadah individu setiap dirinya pada Tuhan, Sang Pencipta. Tidak ada tekanan, mau salat mau nggak itu terserah. Jadi isu Gafatar tidak mewajibkan salat, tidak mewajibkan haji, itu fitnah,” jelasnya.

Ponidi mengatakan, di Kapuas Hulu pihaknya fokus pada kemandirian pangan dan aksi sosial donor darah di RSUD Achmad Diponegoro, Putussibau. “Semata-mata kami memiliki panggilan jiwa saling peduli dengan sesama,” ucap dia.

Program homeschooling yang dijalankan saat masih di Gafatar ternyata memiliki latar belakang unik. “Saya melihat di Tangerang waktu itu banyak tawuran, anak pelajar pada tawuran setiap hari, kemudian anak usia sekolah sudah hamil dan Narkoba,” imbuh lulusan SMK Otomotif Kelaten, Jawa Tengah ini.

Program homeschooling di Gafatar, klaim dia, mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan Tuhan Yang Maha Esa dan bagaimana saling berbagi plus peduli. “Maka kita tertarik, sampai di sini juga kita menerapkan itu. Yang ngajar orang-orang tua, pendidikan karakter kepada anak,” pungkasnya.

Sementara itu, Camat Putussibau Selatan, Drs. Iwan Setiawan, Msi menjelaskan, pertemuan dilakukan untuk memastikan agar anggota Gafatar di Kapuas Hulu bukan orang-orang yang hilang di Jawa.

Dia menilai, secara sosial, kegiatan Gafatar tampak baik. Namun, jika masuk ke ranah agama patut diwaspadai. Agar tak seperti ajaran Achmad Musadeq.

“Kemudian, kegiatan homeschooling yang sesuai di perkotaan sudah ada dilakukan oleh guru yang profesional. Kalau homeschool disini saya tidak setuju, harus ada formalnya, bagaimana nasib anak-anak mereka nanti,” tegas Iwan.

Meski yakin Gafatar memang sudah bubar, Iwan mengaku ragu dengan aktivitas homeschooling itu. Ia khawatir masih ada teleconference mereka dengan Gafatar pusat.

“Kalau pelajarannya tanpa standar, tidak memenuhi syarat, ya kita khawatir, siapa narasumbernya?” tanya Iwan.

Untuk itu, Iwan bersama unsur Muspika Kecamatan Putussibau Selatan meminta surat pernyataan kepada Ponidi dan kawan-kawan bahwa memang mereka telah keluar dari Gafatar.

“Juga melakukan perbuatan positif dan bisa membaur dengan masyarakat sekitar. Jangan ada ideologi yang menyimpang, kita tetap memantau keadaan mereka,” tandasnya.

Ponidi dan kawan-kawan memang kemudian meneken kesepakatan dengan poin pernyataan bahwa mereka keluar dari organisasi tersebut, berselaras, dan membaur dengan warga. Dan bersyahadat untuk menjalankan syariat Islam sesuai tuntunannya.

Sementara, Danramil 06/Putussibau, Hari menegaskan, warga yang keluar dari Gafatar Kapuas Hulu harus membaur dengan masyarakat dan memeluk kepercayaan yang tidak menyimpang. Serta memegang teguh persatuan bangsa dan ideologi Indonesia.

“Dalam pepatah, dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Tidak boleh egois, harus menyesuaikan dengan lingkungan, sesuaikan dengan adat istiadat setempat yang tidak bertentangan dengan agama,” pesan Hari.(*/selesai)