eQuator.co.id – Berbeda dengan orang Indonesia yang lebih hobi naik kendaraan pribadi, banyak warga Jepang yang justru senang naik moda transportasi publik. Konsekuensinya, angkutan masal di negeri itu jadi penuh sesak, terutama pada rush hour (jam sibuk).
Maharani Wanodya, Jepang
Ketika berkunjung ke Jepang pekan lalu, saya tak ingin sekadar jalan-jalan ke objek-objek wisata populer. Maka, saya memilih untuk live like a local. Merasakan ritme hidup ala penduduk negeri yang dipimpin PM Shinzo Abe itu.
Destinasi pertama yang saya kunjungi adalah Nagoya. Setiap pagi pada pukul 07.15 saya bergegas menuju Stasiun Kereta Tsurumai yang tidak jauh dari rumah host parents saya, Ales Jon dan Marketa Jonova, pasangan asal Republik Ceko. Saya berlagak seperti orang hendak berangkat kerja.
Jika saya berjalan enak-enakan demi menghirup udara pagi yang segar, orang-orang di sekitar saya melangkah cepat dengan jangka lebar-lebar. Bahkan, ada yang setengah berlari. Tujuannya satu: memburu kereta pagi.
Begitu tiba di platform, antrean di spot-spot tempat pintu kereta bakal dibuka sudah mengular. Tentu saja semua berbaris dengan tertib. Tak ada saling dorong atau saling serobot seperti yang biasa terjadi di Indonesia.
Tanpa perlu menunggu lama, kereta Tsurumai Line yang sudah ditunggu tiba. Pintu hanya terbuka sekitar satu menit sehingga para penumpang harus gesit untuk masuk. Dalam sekejap, semuanya terangkut. Namun, karena jumlah kursi terbatas, hanya di sisi kanan dan kiri kereta, sebagian penumpang mau tidak mau harus rela berdiri. Saya juga kebagian berdiri. Namun belum sampai harus berdempet-dempetan.
Setelah lepas dari Tsurumai, kereta meluncur menuju stasiun berikutnya, Kamimaezu. Di sini, bukannya penumpang berkurang, melainkan malah membengkak. Maka, penumpang yang sudah ada di dalam mesti bertoleransi dengan merapatkan diri agar yang lain bisa naik. Suasana mulai berdesak-desakan.
Karena hendak berkeliling kota, saya lalu memutuskan untuk pindah kereta subway Higashiyama Line yang menuju Stasiun Nagoya, yang merupakan stasiun sentral. Semakin mengarah ke Stasiun Nagoya, tingkat kerapatan penumpang di dalam kereta semakin tinggi.
Berdiri dengan agak berdesakan pun tak lantas membuat para penumpang yang rata-rata pekerja kantoran dan pelajar sensi. Mereka sibuk memelototi layar smartphone masing-masing. ”Itu hal biasa di sini. Setiap jam segitu (sekitar pukul 07.30, Red) memang kereta penuh dengan orang yang mau berangkat kerja dan pelajar yang akan ke sekolah. Orang sini biasanya berangkat lebih awal untuk menghindari rush hour,” kata Ales, yang sudah setahun tinggal di Nagoya.
Namun, ternyata apa yang saya rasakan di Nagoya belum ada apa-apanya. Rush hour di Tokyo jauh lebih ekstrem. Jalur Saikyou Line yang saya tumpangi di ibu kota Jepang itu melewati berbagai titik bisnis strategis seperti Ikebukuro, Shibuya, dan Shinjuku.
Dari Stasiun Itabashi yang dekat dengan tempat menginap saya, kereta menuju Stasiun Ikebukuro. Suasana masih bisa ditoleransi, sebelas dua belas dengan yang ada di Nagoya. Tiba di Ikebukuro, atmosfer rush hour mulai terasa.
Kereta belum berhenti pun, saya sudah bisa menyaksikan betapa masifnya jumlah calon penumpang. Benar saja, ketika pintu kereta terbuka, saya segera terdorong ke bagian tengah karena arus penumpang yang masuk. Sebagian besar kaum pria.
Peringatan petugas stasiun bahwa kereta sudah tidak muat tak mereka hiraukan. Begitu pula imbauan untuk menunggu kereta berikutnya yang akan tiba kurang dari 10 menit lagi.
Mereka tetap berusaha masuk karena tak ingin terlambat masuk kantor. Seorang penumpang perempuan di depan saya sampai tergencet karena kereta sangat penuh. Berdiri tegak saja sulit. Tubuhnya doyong ke belakang karena terdesak para penumpang pria di depan dan kanan-kirinya.
Andai saja saya tidak memanggul tas yang dijadikannya sandaran, perempuan itu mungkin tak bisa mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi alias terjerembap ke lantai. ”Anda tidak apa-apa?” tanya saya, lantas membantunya untuk menegakkan tubuh.
Dia mengangguk sambil tersenyum tipis. ”Tidak apa-apa. Terima kasih ya,” ucapnya.
Untung saja kondisi penuh sesak itu hanya bertahan lima menit. Kebanyakan penumpang turun di Stasiun Shinjuku yang berjarak 5,9 km dari Ikebukuro sehingga saya dan penumpang lain yang belum turun bisa bernapas agak lega. Kepadatan penumpang kembali tergerus di Stasiun Shibuya. Selepas kawasan ngehit di Jepang tersebut, kereta relatif lengang.
Bagi yang sehat, berkomuter dalam kondisi seperti itu bukan masalah. Tapi, bagi mereka yang mengidap asma atau klaustrofobia, lebih baik jangan nekat. Sebab, sudah tidak ada lagi jarak antartubuh penumpang di dalam kereta. Jangankan berpindah posisi, menoleh saja sulit. Di Indonesia, situasi seperti itu biasanya dimanfaatkan oleh para pencopet untuk beraksi.
Saat menceritakan pengalaman itu kepada Peggy Sen, host parents saya di Tokyo, dia menertawakan saya. Perempuan kelahiran Hongkong yang sudah tujuh tahun tinggal di kota megapolitan tersebut bilang, rush hour tak boleh diremehkan.
”Kadang kalau kamu lengah, kamu bisa ikut terseret turun karena terdorong penumpang lain yang keluar dari kereta lho,” ungkapnya.
Pengalaman ”seram” di Nagoya dan Tokyo itu tak membuat saya kapok. Di Osaka, saya kembali penasaran untuk mencoba suasana rush hour di dalam kereta komuter. Saya ingin membandingkan apakah (suasana di Osaka) se-hectic di Tokyo.
”Rush hour di sini tidak seheboh di Tokyo kok. Sepenuh-penuhnya kereta, kamu tidak akan berdesakan seperti di Tokyo,” kata Oji Miyuki, yang menjamu saya selama di Osaka.
Ucapan ibu tiga anak itu ada benarnya. Pada jam yang sama dengan di Tokyo pun, warga Osaka woles (selow/slow) saja. Kereta Sakaisuji Line yang melalui distrik komersial seperti Tenjimbashisuji, Nipponbashi, dan Ebisucho tidak penuh-penuh banget. Selain kereta, sepeda menjadi opsi moda transportasi warga. Banyak pekerja dan pelajar yang berseliweran di jalanan Osaka dengan naik sepeda angin.
Puas merasakan rush hour di tiga kota besar di Jepang, saya mencoba agak menepi. Saya hijrah ke Pulau Shikoku, tepatnya ke Matsuyama di Prefektur Ehime. Matsuyama jauh dari ingar bingar dan gemerlapnya kota metropolitan. Suasananya malah lebih mirip pedesaan. Tak heran jika suasana pada jam sibuk di Matsuyama berbanding 180 derajat dengan di Nagoya, Tokyo, dan Osaka.
Sama dengan di tiga kota sebelumnya, saya start naik kereta pada pukul 07.15. Alih-alih berkomuter bareng pekerja kantoran atau pelajar, rekan seperjalanan saya rata-rata manula dan sesama wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Lima jalur trem dalam kota yang dioperasikan Iyotetsu plus satu trem spesial Botchan Ressha jarang sekali penuh saat rush hour. Jadi, saya bisa leluasa menikmati pemandangan kota yang berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa itu. Apabila di tiga kota sebelumnya tempat duduk kereta bagai barang sakral yang hanya bisa didapatkan manusia-manusia terpilih, di Matsuyama penumpang hampir selalu kebagian seat. (*/Jawa Pos/JPG)