Ada sejumlah masalah di pertanian Indonesia. Permasalahan tersebut perlu terus dikawal, dicarikan solusianya, agar petani lebih berdaya. Sehingga pada akhirnya mereka akan lebih sejahtera.
Rizka Nanda, Pontianak
eQuator.co.id – Persoalan pertanian di Indonesia tersebut, pertama tanah yang rusak lantaran penggunaan pestisida berlebih. Termasuk penggunaaan pupuk berlebihan tanpa melihat ukuran proporsionalnya.
“Ini terjadi di semua daerah, penggunaan pestisida berlebihan juga tidak baik,” ungkap Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Moeldoko usai pelantikan pengurusan HKTI Kalbar sekaligus Expo Pertanian 2018 di Jalan Bardan, Pontianak, Minggu (5/8).
Selain itu, lahan sempit juga menjadi persoalan. Hal tersebut banyak ditemukan di pulau Jawa. Tapi untuk pulau Kalimantan persoalannya tentang gambut. Mengenai hal itu, dirinya, belum lama ini sudah berdiskusi dengan pengurus gambut nasional. Tujuan meminta bantuan untuk menyelesaikan persoalan gambut di wilayah Indonesia.
Selanjutnya, petani juga kesulitan mendapatkan akses permodalan. Akibatnya petani terjerat tengkulak dengan sistem ijon.
“Petani tidak memiliki kuasa untuk menentukan harga, mereka tidak memiliki nilai tawar, sehingga harga dimainkan oleh para tengkulak,” paparnya.
Diakui dia, masih banyak petani yang fanatik terhadap teknologi lama. Mereka sulit menerima yang terbaru. Ditambah lagi persoalan manajemen yang lemah.
“Terkadang ada beberapa biaya tidak dihitung, seperti ongkos tenaga kerja. Padahal itu kan harus dihitung agar tahu dengan pasti berapa penghasilan yang didapat,” terangnya. Dan terakhir, penanganan pascapanen yang masih belum maksimal.
Sementara itu, Penjabat (Pj) Gubernur Kalbar Dodi Riyadmadji mengatakan, pertanian di Indonesia masih menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Makanya, pembangunan pertanian masih menjadi prioritas, termasuk di Kalbar. Yaitu dengan menetapkan pertanian sebagai salah satu sektor unggulan baik dalam industri, pertanian dan pariwisata.
“Dalam usaha memajukan bidang pertanian, diperlukan keseriusan mengelola Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM)nya yaitu petani,” katanya.
Dodi tak menampik saat ini lahan pertanian semakin berkurang dengan berbagai alasan. Seperti populasi penduduk yang makin bertambah dan terjadi konversi lahan. Dia menilai, upaya memaksimalkan fungsi lahan harus diutamakan.
“Petani selaku SDM pengelola pertanian harus mendapat arahan, pendampingan dan motivasi demi gairah meningkatkan produktivitas pertanian,” lugasnya.
Kehadiran HKTI, kata dia, harus bisa memainkan peran dan fungsinya selaku organisasi profesi yang memfasilitasi dan memperjuangkan kepentingan petani. Dengan muaranya adalah tercapainya peningkatan kesejahteraan petani.
“Kepengurusan HKTI di Kalbar hendaknya memahami tiga fungsi utama keberadaannya. Pengurus harus bisa menjalankan fungsi advokasi, pendampingan dan pembelaan terhadap benbagai kepentingan petani di semua sektor,” imbuhnya.
Fungsi pembinaan dan bimbingan perlu diberikan pada petani sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Selanjutnya fungsi motivator serta dinamisator diperlukan untuk dapat memberi pemahaman kepada seluruh stakeholder pertanian. Sehingga sinergi yang tercipta dapat makin memajukan dunia pertanian.
Dodi juga mengingatkan bahwa tantangan ke depan jauh lebih berat dan kompleks dibanding masa-masa sebelumnya. Pembangunan tidak akan berhasil dengan sempurna apabila hanya dilaksanakan oleh pemerintah.
“Kita perlu menyatukan atau menyelaraskan gerak dan langkah kita bersama, pemerintah dan seluruh komponen masyarakat,” ajaknya.
Oleh karena itu, HKTI Kalbar sebagai salah satu wadah berhimpunnya organisasi bergerak di bidang pertanian yang aktivitasnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat petani.
“Kita harap HKTI ini dapat meningkatkan partisipasinya dan bersama-sama dengan pemerintah mengembangkan kehidupan untuk memajukan dunia pertanian,” pungkas Dodi. (*)
Editor: Arman Hairiadi