eQuator.co.id – Siang itu rumah Jumari dipenuhi banyak orang. Mereka datang membawa peralatan pertukangan. Ada juga yang mengusung kayu. Kayu-kayu dirangkai. Hingga menjadi kerangka rumah. Lengkap dengan lubang jendela dan pintu. Sebagian relawan perempuan membantu mengecat asbes. Asbes difungsikan sebagai dinding rumah. Setelah dicat, asbes ditempelkan pada kayu yang telah membentuk kerangka rumah. Maka jadilah sebuah rumah hunian. Meski tak berdinding tembok, rumah itu cukup rapat menahan angin dari luar. Pun menahan tetesan hujan. Rumah semi permanen itu berukuran 3 x 6 meter persegi. Menghadap ke selatan. Itulah tempat tinggal Jumari yang baru. Yang sebelumnya berupa kandang ternak.
Uniknya, proses pembangunan rumah semi permanen itu kebetulan mirip dengan acara “Bedah Rumah” yang ditayangkan salah satu stasiun TV swasta.
Ketika semua relawan berjibaku dengan peluh membangun rumah itu, Jumari justru sedang tak berada di kediaman mereka. Saat itu Jumari dan anaknya sedang singgah ke tempat saudaranya di Parangtritis.
”Jumari pergi sejak tadi malam (Sabtu, 20/4),” kata Sukinem, 55. Sukinem adalah pemilik lahan di mana rumah Jumari didirikan. Tepatnya di Padukuhan Srunggo II, Selopamioro, Imogiri, Bantul. Sukinem dan suaminya, Tugiman, 54, mengizinkan lahannya itu didirikan rumah. Asal bukan bangunan permanen.
Di mata Tugiman, Jumari adalah sosok pendiam. Tidak mudah srawung dengan tetangga. Dia juga jarang mengikuti acara desa. Segudang permasalahan membelit hidupnya. Itu yang menyebabkannya tampak kaku terhadap orang lain. Jumari juga tidak mudah percaya kepada orang lain. ”Dia perlu dibimbing masalah pekerjaan. Kasihan. Dia cuma hidup dengan anaknya,” ungkap Tugiman iba.
Setahun lalu, lanjut Tugiman, Jumari diceraikan istrinya. Dia diusir dari tempat tinggal istrinya. Hingga Jumari meminta izin Tugiman untuk menempati kebun sengonnya. Bermodalkan jangkringan kandang sapi miliknya, Jumari bertahan hidup. Setiap hari dia membuat arang kayu untuk dijual. Jika musim panen dia berburu jerami. Untuk pakan ternak. Hasil menjual jerami hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Itu pun minim. ”Saya kasihan jadi saya biarkan untuk tinggal di situ. Sekalian jaga kebun sengon ini,” ungkap Tugiman.
Kisah Jumari ternyata mencuri perhatian publik. Koordinator Program Keluarga Harapan (PKH) Kabupaten Bantul Rini Natalina pun tergerak hati untuk membantu pembangunan rumah bagi Jumari. Namun, bantuan itu bukanlah program pemerintah. Melainkan donasi dari banyak orang yang berhasil dia kumpulkan. Sebab, rumah Jumari didirikan bukan di lahan milik pribadi. Sehingga tak bisa diajukan untuk program bantuan pemerintah. “Kami buka donasi. Mendapat Rp 5 juta. Dibelanjakan material rumah,” ungkapnya.
Rini menggandeng relawan dan komunitas peduli masyarakat miskin. Seperti Sedekah Bantul, Peduli Dhuafa, Berkah Bantul, dan Info Sedulur Pucung (ISP).
Rini mengaku iba dan miris melihat kondisi Jumari dan anaknya. Yuniawan, anak Jumari, sangat dekat dengan Jumari. Meski hidup serba terbatas, Yuniawan tak minder. Dia tetap rajin bersekolah. Dan berbaur dengan teman-temannya. Kondisi itulah yang membuat Rini prihatin. Terutama dengan kondisi psikis Jumari dan Yuniawan.
“Semoga Pak Jumari dan anaknya bisa hidup lebih layak,” harap Yani Susilowati, anggota komunitas Dhuafa. “Mudah-mudahan mereka merasa senang dengan rumah ini,” tambahnya.
Meita Candra Lantiva/Radar Jogja