-ads-
Home Features Sukses Memelopori Industri Pesawat tanpa Awak

Sukses Memelopori Industri Pesawat tanpa Awak

Malaysia Sempat Hendak Membajak Dian

USAHA SENDIRI. Dian Rusdiana Hakim menunjukkan pesawat tanpa awak produksi perusahaannya yang dilengkapi kamera. Hilmi Setiawan-Jawa Pos

eQuator.co.id – Bermodal ketekunan, Dian Rusdiana Hakim berhasil memelopori industri pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicle/UAV) di dalam negeri. Banyak produksinya yang dimanfaatkan di bidang pertanian dan keamanan nasional.

M. Hilmi Setiawan, Bandung

Belasan badan pesawat terbang tanpa awak mini siap dikirim ke instansi-instansi pemesan. Ukurannya satu meteran. Itulah pesawat tanpa awak mini karya AeroTerrascan, perusahaan yang didirikan Dian Rusdiana Hakim.

-ads-

Menariknya, Dian tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang kedirgantaraan. Bahkan, dia tidak sampai tamat kuliah. Beberapa kali kuliah, tetapi mandek di tengah jalan.

’’Pendidikan itu penting, tetapi bukan segalanya,’’ jelas Dian ketika ditemui di bengkel AeroTerrascan, Jalan Haji Wasid, Bandung, Jumat pekan lalu (11/11).

Meski tak tamat kuliah, kini Dian mempekerjakan banyak sarjana di perusahaannya, termasuk lulusan Pascasarjana ITB. Total karyawan Dian mencapai 70 orang. Perinciannya, 25 orang di bengkel atau showroom AeroTerrascan. Kemudian, di pabrik produksi masal yang bermarkas di Cinambo, Bandung, juga ada 25 orang. Lalu, bidang survei (AeroSurvey) mengerahkan 20 tenaga kerja.

“Semua bermula dari hobi. Hobi yang saya tekuni,’’ kata Dian.

Menurut bapak tiga anak itu, selain ketekunan, kunci kesuksesan dia adalah tidak pelit ilmu. Dia tidak pernah menolak siapa saja yang ingin belajar kepada dirinya. Karena itu, pabriknya cukup sering menerima mahasiswa yang ingin magang. Juga komunitas-komunitas dirgantara yang menimba ilmu dari pakar otodidak tersebut.

Dian mulai menekuni hobi aeromodeling pada 1991 setelah lulus SMA. Sambil kuliah, dia menekuni hobi langka itu. Dia lalu bertemu dengan para mahasiswa penggemar hobi yang sama dari ITB. Dari situ, dia mempunyai ide untuk menciptakan robot terbang. Setelah mencoba-coba, Dian berhasil membuat robot terbang berupa helikopter autopilot.

Berkat helikopter autopilot itu, pria kelahiran Garut, 22 Desember 1972, tersebut kemudian diminta membantu laboratorium teknik mesin dan dirgantara ITB di bawah arahan Prof Mulyo Widodo. Dia mulai bekerja pada awal 2000 hingga 2007.

Dian juga sempat ditarik menjadi tenaga magang di sebuah perusahaan pesawat tanpa awak milik para dosen ITB. Namun, dalam perkembangannya, perusahaan itu tidak berjalan. Setelah mempelajarinya, ternyata ada masalah krusial yang membuat industri dirgantara, khususnya pesawat tanpa awak, cepat mati.

Dian menegaskan, membuat pesawat tanpa awak itu tidak sulit. Asalkan menguasai tekniknya, orang bisa merangkainya. Hanya, yang sering dilupakan, jarang produsen yang mau menawarkan konsep layanan kepada user. Padahal, servis kepada para calon pembeli itu sangat penting dalam marketing. Konsumen akan berpikir ulang untuk membeli pesawat yang harganya setara mobil kelas SUV tersebut jika tidak tahu manfaatnya.

Misalnya, konsep yang ditawarkan kepada konsumen terkait dengan manfaat di bidang usaha perkebunan. Yakni, pemanfaatan pesawat tanpa awak untuk melihat kesehatan tanaman, peta wilayah perkebunan, serta menghitung jumlah pohon yang ditanam.

Menurut anak kelima di antara enam bersaudara itu, pemetaan perkebunan sawit yang luasnya ribuan hektare tidak efektif jika dilakukan secara manual. Apalagi menghitung pohon yang ditanam yang jumlahnya bisa jutaan batang.

’’Dengan menggunakan pesawat UAV, pekerjaan itu jadi lebih mudah, efektif, dan efisien. Secara biaya juga lebih murah,’’ tuturnya.

Sejak berdiri pada 2009, AeroTerrascan memproduksi dua jenis pesawat tanpa awak. Yaitu, fix wing yang bodinya mirip pesawat sungguhan dan multirotor atau yang umum disebut drone. Sampai sekarang sudah diproduksi sekitar 300 unit.

’’Kadang ada konsumen yang tidak membeli unit, tetapi minta jasa survei. Kami bisa melayani,’’ tegasnya.

Dian menyatakan, yang paling laris adalah pesawat jenis fix wing Ai-450. Pesawat jenis itu memiliki durasi jelajah 1,5 jam dengan wilayah cakupan seribu hektare. Pesawat tersebut biasanya terbang di ketinggian 400 meter dari permukaan tanah.

’’Selain perusahaan swasta dan instansi pemerintah, pesawat ini banyak dimanfaatkan TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara,’’ ungkapnya.

Berkat kemampuannya membangun industri pesawat tanpa awak dalam negeri, Dian sempat ditawari pindah bekerja ke Malaysia. Tetapi, dia menolak.

Ada pula perusahaan yang ingin mengakuisisi AeroTerrascan. Namun, lagi-lagi Dian menolak dengan halus. Dia ingin mempertahankan AeroTerrascan sebagai perusahaan yang terbuka bagi siapa pun untuk menimba ilmu. ’’Saya ingin bangsa ini maju. Anak-anak mudanya berilmu,’’ tuturnya. ’’Saya tidak suka perusahaan ini tertutup dan kaku,’’ tandasnya.

Di tengah usahanya mengembangkan industri pesawat tanpa awak, baru-baru ini Dian membuat proyek yang menghebohkan publik. Yakni, misi menembus langit.

Berkolaborasi dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Dian terobsesi untuk meluncurkan pesawat tanpa awak di ketinggian 30 km atau di lapisan stratosfer.

Namun, sayang, misi menembus langit yang sudah dia persiapkan sejak sepuluh tahun silam itu tidak berjalan mulus. Misi penerbangan pesawat dari Stasiun Peluncuran Roket Lapan di Pameungpeuk, Garut, tersebut tidak berjalan lancar.

Pada peluncuran hari pertama (28/10), masih di ketinggian 10 km, pesawat tanpa awak itu lepas dari balon cuaca yang membawanya ke angkasa. Misi pun diulang keesokannya (29/10). Namun, lagi-lagi gagal. Pesawat lepas dari balon pembawa di ketinggian 19 km.

’’Sejatinya, di ketinggian 19 km itu sudah masuk lapisan stratosfer. Namun, itu belum ideal,’’ ungkapnya.

Dian menuturkan, sangat banyak data yang bisa diambil seandainya misi penerbangan di lapisan stratosfer tersebut berjalan mulus. Data yang didapat itu bisa dikembangkan untuk membuat satelit yang cukup mengangkasa di lapisan stratosfer.

’’Sejumlah negara melakukan riset lapisan stratosfer. Nah, bila satelit itu bisa beroperasi di lapisan stratosfer, akan ada penghematan yang lumayan besar. Khususnya terkait dengan biaya pembuatan satelit yang jauh lebih murah ketimbang satelit yang mengorbit pada umumnya,’’ bebernya. (*/Jawa Pos/JPG)

Exit mobile version