eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Aturan kenaikan harga rumah bersubsidi yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dianggap bukan kendala bagi pengembang perumahan dalam merealisasikan perumahan MBR. Realisasi MBR justru terbentur oleh ketatnya SOP yang diterapkan oleh perbankan.
Peraturan No. 353/KPTS/M 2019 tentang batasan harga rumah sejahtera tapak yang diperoleh melalui kredit/pembiayaan rumah bersubsidi, mengatur besaran harga rumah bersubsidi terbagi menjadi lima wilayah.
Khusus untuk wilayah Kalimantan, harga rumah bersubsidi untuk tahun 2019 sebesar Rp153 juta serta tahun 2020 sebesar Rp164,5 juta. Harga tersebut berlaku di seluruh wilayah Kalimantan, kecuali Kabupaten Murung Raya (Kalimantan Tengah) dan Kabupaten Mahakam Ulu (Kalimantan Timur).
Wakil Sekjen DPP Real Estate (REI), Sukiryanto menilai, kenaikan harga rumah ini bukan persoalan jika dilihat dari sisi mutu rumah yang dibangun. Harga yang ditetapkan kementerian bukanlah harga mati.
“Rumah MBR yang dari harga Rp142 juta untuk zona Kalimantan naik menjadi Rp153 juta ini tentu selama mutunya bagus ini tidak masalah tidak berpengaruh. Artinya ini bukan harga mati, tapi harga maksimal yang ditetapkan,” ungkap Sukiryanto, belum lama ini.
Artinya kata Sukiryanto, harga Rp153 juta tersebut bisa dikatakan batas atas. Namun para pengembang dapat menjual harga di bawah yang sudah ditentukan tersebut. Seperti di Kalbar, ada beberapa pengembang yang masih menjual di bawah dari harga itu.
“Masih ada yang menjual di harga Rp120 jutaan, namun memang lantaran kawasan yang letaknya di pinggiran atau jauh, dan harga yang sudah ditargetkan ini tidak boleh melebih dari tipe rumah 36,” ungkapnya.
Bila melihat harga baru yang dikeluarkan oleh kementerian tersebut, maka ada kenaikan sebesar Rp11 juta. Keputusan ini sejalan dengan keputusan Kementerian Keuangan Nomor 81/PMK.010/2019 tentang batasan harga jual rumah sederhana dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebelumnya telah berlaku pada awal Juni.
Sukiryanto kembali menyatakan hal ini tak menjadi masalah. Menurutnya yang masih menjadi persoalan hingga saat ini adalah SOP perbankan yang terbilang ribet. Tak pelak inilah yang akhirnya membuat mentok realisasi MBR.
“Misalnya Kubu Raya memakai IMB harus sudah jadi, listrik harus sudah dibayar dan sementara listrik mengalami kendala untuk setor, harus ada bukti setor untuk PLN, lalu konsumen dari bank tidak bisa salah sedikit pun,” katanya.
Sukir bilang, ada dua faktor pendorong persoalan ini. Bank konsisten mempertahankan SOP-nya sangat ketat, sementara pemerintah ingin program kebutuhan rumah bagi MBR ini bergulir cepat. Sehingga target program pemerintah untuk pencapaian sejuta rumah tercapai.
“Ini ada masalah yang kurang ketemu, sementara dari sisi pengembang untuk produksi tidak masalah selama pembelinya ada. Selama bank menyetujui untuk KPR apalagi didukung oleh pinjaman-pinjaman KPR,” sebutnya.
Sukir memandang ketatnya SOP yang diterapkan oleh perbankan ini guna mencegah persoalan kredit macet. Tak dipungkiri memang kasus seperti itu masih terjadi.
“Sebab ingin NPL atau kredit macetnya tidak tinggi. Dan ini yang menjadi masalah yang dihadapi oleh MBR. Bahkan ada yang baru satu dua bulan kredit sudah macet, ini juga kita tidak pungkiri. Sementara pemerintah ingin berkembang cepat,” sebutnya.
Dalam hal ini, Sukir berharap mesti ada jalan keluar dalam persoalan tersebut. Perbankan dan pemerintah harus sinkron sesuai dengan tujuan program sejuta rumah bagi MBR. Masalah ini menurutnya juga telah dibahas di tingkat pusat.
“Namun tingkat daerah tetap SOP harus berjalan. Sebab bank juga tidak ingin ada masalah ada konsumen bandel, baru kredit berapa bulan sudah macet. Bahkan ada pengembang yang menalangkan agar hubungan baik dengan bank tetap lancar,” ucapnya.
Sementara bagi pengembang, terutama di bawah payung REI, Sukir menjamin konsumen atau calon KPR-nya memang betul-betul telah disaring. “Sebab kalau tidak disaring ini juga menjadi masalah bagi pengembang. Dan kadang bank sudah tahu developernya bertanggung jawab tapi tetap harus ada SOP yang ribet sehingga ini yang menjadi penghambat,” tandasnya.
Laporan : Nova Sari
Editor: Andriadi Perdana Putra