Belanja dengan rupiah dapat kembalian ringgit. Atau sebaliknya. Hal yang awam di Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara). Pulau yang terbelah, sebagian milik Indonesia, sisi lain kepunyaan Malaysia.
Faroq Zamzami, Sebatik
“DARI Zulkifli Belalang. Aisss… manis sangat namanya. Mau kirim-kirim salam. Untuk pendengar semua. Ada jua salam dari Ci Alis. Lama tak dengar ceritanya nih Ci”. Suara penyiar pria dari Sabah FM memenuhi kabin Toyota Avanza yang menyusur pelan Jalan Beddu Rahim di Pulau Sebatik, Rabu (16/8).
Bahar yang duduk di balik kemudi memacu kendaraan roda empat berbodi silver itu dengan santai. Rata-rata kecepatan 40 kilometer per jam. Jelang sore, mobil berhenti di depan City Hotel. Di sisi kiri perempatan arah dari Dermaga Pelabuhan Batu, Sungai Pancang. Dermaga ini salah satu pintu masuk dari luar pulau.
“Siaran (radio) Malaysia memang sampai sini (Sebatik). Biasa sudah kita dengar,” kata Bahar, lantas memarkirkan mobil.
Ada Sabah FM. Ada juga Tawau FM. Jarak Indonesia dan Malaysia yang hanya satu pandangan mata, tak menghalangi suara-suara dari seberang menyapa di udara. Siaran radio adalah sekian banyak produk negeri jiran yang masuk Sebatik.
Faktor jarak yang dekat, serta interaksi warga dari dua negara yang sudah berbaur sejak lama membuat mereka saling bergantung. Warga Sebatik awam dengan pasokan kebutuhan pokok dari luar negeri. Mulai beras, minyak goreng, hingga tabung gas. Aneka produk kemasan dari Malaysia juga tak jarang jadi buah tangan, bagi wisatawan domestik di Sebatik. Misalnya, susu, wafer, dan biskuit.
Sementara, warga dari desa-desa di Malaysia yang dekat Pos Perbatasan Desa Aji Kuning, berjarak sekitar 5 kilometer dari City Hotel, umumnya seminggu dua kali masuk Indonesia. Kamis dan Minggu. Saat hari pasar di Desa Aji Kuning. Mereka biasa berbelanja kebutuhan pokok dan hasil kebun dari warga Sebatik. Meski jarak dapat dijangkau dengan jalan kaki, warga dari desa-desa Malaysia tetap harus izin di pos perbatasan saat masuk. Desa Malaysia yang terdekat dari Aji Kuning berjarak 2 kilometer. Masih jalan setapak yang membelah perkebunan.
DUA MATA UANG
Sinar mentari mendekap lembut saat jarum jam menunjuk angka 11 tepat. Semakin hangat kala sang surya merangkak pelan menuju atas kepala. Lapangan sepak bola Kelurahan Sungai Nyamuk, Sebatik Timur, semakin padat manusia jelang tengah hari itu, Kamis (17/8). Sedang ada hajatan memeriahkan Hari Kemerdekaan RI di lapangan yang bersisian dengan pasar. Ada panggung hiburan. Pedagang aneka jajanan. Hingga posko bakti sosial (baksos). Salah satunya, pengobatan gratis.
Di salah satu buncu lapangan yang menjorok ke arah pasar, dua pelanggan bakso dorong khusyuk melahap hidangan di atas meja dadakan. Mirip bale-bale. Tanpa atap. Di pedagang bakso ini jugalah Kaltim Post (Jawa Pos Group) menjatuhkan pilihan untuk makan siang. Sambalnya dalam toples bening ditaruh di tengah meja dadakan. Sangat berkontribusi menggugah selera.
Setelah pesan, tak sampai lima menit, bakso tersaji. Baru melahap satu sendok, cuaca yang tadinya hangat, dengan cepat berganti mendung. Mulai rinai. Makanan itu pun harus segera dihabiskan kemudian cari tempat berteduh. Sebelumnya bayar dulu, dengan selembar Rp50 ribu.
“Ada uang kecil?” tanya penjualnya.
Sayangnya, tak ada uang pecahan kecil saat itu. Harga bakso Rp 12 ribu semangkuk. Tak termasuk minum. Si abang tukang bakso menyediakan air putih dingin dalam tempat plastik. Beberapa gelas plastik di sisinya, tinggal ambil.
Uang pembayaran lantas ditaruh di sisi panci kuah. Mengecek laci uang di gerobak. Ada beberapa pecahan Rp 50 ribu. Pria yang mengenakan kaus salah satu calon dalam pemilihan kepada daerah (pilkada) itu lantas merogok kantong kanan celana bahan warna cokelat yang dikenakan. Ada lembaran Rp 50 dan 100 ribuan. Tak ada juga pecahan kecil.
Perempuan berkerudung yang baru memesan bakso, langsung menawarkan uang pecahan kecil. Ada segepok. Rp 5–20 ribuan. Dia lantas memberikan selembar Rp 20 ribu, dan enam lembar Rp 5 ribuan untuk si abang bakso. Ditukar selembar Rp 50 ribu.
Awak media ini mengira, penjual bakso itu akan langsung mengambil dari uang tukaran itu untuk kembalian. Ternyata, dia mengambil uang ringgit. Lantas memberikan media ini pecahan Rp20 ribu, Rp5 ribu, Rp2 ribu, Rp1 ribu, dan tiga lembar satu ringgit. Jika dihitung tiga ringgit saat itu disamakan dengan Rp10 ribu.
Sebelum mengalami langsung bertransaksi dengan dua mata uang berbeda, model interaksi dagang seperti ini pernah diceritakan warga sekitar. Memang jamak penggunaan dua mata uang di Sebatik. Juga melihat warga yang membeli es campur dengan 10 ringgit. Itu setara Rp30 ribuan dengan kurs kira-kira Rp3 ribu per 1 ringgit.
Soal penggunaan dua mata uang dan produk Malaysia, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo yang memimpin Upacara Kemerdekaan Ke-72 RI Dermaga Pos AL Sebatik, berharap agar warga di kawasan perbatasan untuk semakin mencintai produk dalam negeri. “Kita lihat kalau masa lalu di Sebatik mata uang asing beredar mudah, sekarang sudah jarang terlihat. Namun, kita masih melihat ada produk asing seperti pupuk yang berasal dari negara tetangga. Kita harapkan sebentar lagi tidak ada pupuk asing dan produk asing lainnya di perbatasan,” tuturnya. (Kaltim Post/JPG/bersambung)