Sekalipun dibangun sederhana, tapi tempat itu lebih nyaman daripada tenda-tenda pengungsian. Atap ilalang yang lebat tidak hanya tangguh mengalau partikel cahaya matahari. Tapi bergemerisik seloah melantunkan doa bagi masa depan bocah-bocah laskar pelangi di Pengempel Indah.
LALU MOHAMMAD ZAENUDIN, Mataram
eQuator.co.id – MATAHARI baru saja tergelincir sehasta ke arah barat. Bocah-bocah masih bertahan di bawah bangunan beratap ilalang dan berdinding separo pagar. Bangunan itu dinamai Sekolah Ceria.
Sebuah doa terselip melalui nama. Semoga bocah-bocah di sana cepat menyapu rekaman gempa dalam memory ingatannya. Mengganti dengan hari-hari penuh canda tawa.
Mainan lego, buku gambar, boneka kuda, hingga kitab suci terhampar di sana. Sebagian besar anak-anak menyambar pensil warna dan buku gambar. Lalu dengan tekun di atas meja belajar sederhana mulai menuangkan imajinasi dan segala harapannya tentang masa depan. “Sejak sekolah ini diresmikan, anak-anak masih setiap menunggu guru datang,” kata Inaq Miniati, dalam bahasa Sasak.
Wanita itu, membaur dengan belasan bocah-bocah pengungsi. Miniati memilih mengawasi dua buah hatinya sembari menyuapi. Lebih dari itu ia juga punya alasan lain. Sekolah Ceria itu punya atap yang jauh lebih sejuk dari tenda pengungsian. “Kalau siang begini tenda pengungsian jadi sangat panas. Tidak ada yang betah karena hanya dari terpal. Kalau ini dari ilalalang, jadi sejuk,” ujarnya.
Tapi harapan Miniati dan bocah lainnya, bahkan mungkin orang tua lain di sana, lebih besar lagi. Mereka ingin Sekolah Ceria itu dilengkapi dengan guru. Sejak diresmikan Rabu (3/10) kemarin, guru atau pendamping yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.
Padahal janji akan ada pengajar atau pendamping datang ke sana membuat para orang tua sempat bahagia mendengarnya. “Mereka setia kumpul di sini karena katanya ada guru yang datang. Setiap orang asing yang datang pasti di kira guru,” ujarnya.
Pantas saja saat Lombok Post (Jawa Pos Group) mengunjungi Sekolah Ceria itu, anak-anak berteriak-teriak ceria dan mengatur tempat duduk. Mengira sekolah itu sudah saatnya memulai proses belajar mengajar. Duduk mereka rapi sambil terus menggambar. “Mereka mengira bapak (Lombok Post) guru. Makanya semua tadi duduk tenang,” terang Miniati.
Aluh Arianjaya, anak perempuan kelas 6 SD, salah satu bocah yang setia menunggu kedatangan guru pendamping di Sekolah Ceria itu. Ia mengaku sudah bosan main di tanah lapang milik PLN yang penuh dengan debu. “Panas juga,” celetuk Aluh.
Saat ditanya, Aluh salah satu anak yang rajin bertanya pada Lombok Post. Kapan guru yang mereka tunggu-tunggu tiba. Sepulang sekolah, sehabis mengganti baju dan makan siang Aluh langsung menuju sekolah ceria. Seakan-akan waktu belajar di sekolah dinilai masih kurang. “Ya biar pintar,” jawabnya pendek.
Aluh memang belum bisa menata mimpi. Apa pentingnya ia harus rajin belajar bagi masa depan. Tapi gurunya sering bercerita jika orang cerdas selalu punya jalan mengatasi persoalan hidup. Karena mereka ‘kaya’ dengan ide memperbaiki hidup. Sekalipun ditengah suasana gempa seperti saat ini. “Jadi orang hebat,” jawab Aluh pendek.
Nyayu Ernawati salah satu pemerhati anak yang menangkap dengan baik keresahan anak-anak pengungsi di Pengempel Indah. Ia salah satu motor di balik lahirnya Sekolah Ceria yang kini dibanggakan anak-anak Pengempel Indah. “Semua yang tergabung dalam relawan sahabat anak,” kata Nyayu bangga.
Ada LPA Kota Mataram, Dewan Anak Mataram, Rumah Pemulihan dan Perlindungan Anak, Gagas Media, NTB, Mahasiswa Unram, Mahasiswa Yarsi, UIN Semarang, Anak-Anak Vespa dari Semarang dan Pasuruan. “Tidak hanya di Pengempel, kami juga membangun di sebelas tempat lainnya,” terangnya.
Satu di Lombok Timur, dan sepuluh di Kabupaten Lombok Utara. Bahkan yang dipengempel bukan yang terakhir. Tapi sekarang masih diproses empat lagi sumbangan dari relawan dan donatur yang peduli dengan nasib anak-anak di pengungsian. “Oh ya satu lagi dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Mereka sangat gigih membantu dan memberi perhatian pada anak-anak,” ujarnya haru.
Hadirnya Sekolah Ceria tidak hanya jadi kebanggaan relawan. Tapi kebanggaan anak-anak dan orang tua di pengungsian. Sekolah sederhana dan tahan gempa itu, bahkan telah menjadi tempat bernaung dan membaur Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Wakil Gubernur NTB, hingga Wali Kota Mataram dengan anak-anak pengungsi. “Soal jadwal belajar, kalau yang di Pengempel Indah khusus akan digunakan tempat mengaji, bermain, dan belajar,” terang Nyayu.
Belajar ngaji diserahkan pada warga. Namun Nyayu juga menjanjikan pada akhirnya nanti akan ada keterlibatan anak-anak dari LPA untuk mendidik anak-anak pengungsi. “Mereka akan mengajar dan menghibur di sana,” janji Nyayu.
Hanya saja, tentu semua butuh waktu. Karena anak-anak yang tergabung dalam LPA dan Dewan Anak Kota Mataram juga masih bersekolah. Mereka harus menata dan pandai membagi waktu untuk berbagi keceriaan dengan anak-anak pengungsi di sana. “Anak-anak itu harus pintar. Agar bisa menata hidupnya menjadi lebih baik,” ujar Nyayu mantap. (*/Lombok Post)