-ads-
Home Features Sepenggal Cerita Suasana Ramadan dan Idul Fitri di Kuching

Sepenggal Cerita Suasana Ramadan dan Idul Fitri di Kuching

Lampu Menyala, Artinya Masih Terima Tamu Raya

SALAT BARENG TKI. Meski hanya berdua, staf KJRI Salat Subuh berjamaah bersama seorang TKI yang masih ditampung di Shelter sambil menunggu jadwal deportasi, usai sahur bersama dengan 10 TKI lainnya, Minggu (3/7). OCSYA ADE CP-RK

eQuator.co.id – Besok, puasa berganti lebaran. Di negeri serumpun, tak jauh berbeda cara menikmati Ramadan maupun menggapai kemenangan pada Syawal. Hanya meningkatkan amalan yang dikejar, sama seperti dilakukan seluruh muslim dunia. Sebab, belum tentu bertemu bulan ke-9 Hijriah tersebut berikutnya.

Suasana Ramadan tak begitu terasa di Kuching Selatan, Sarawak, Malaysia. Tidak ada penutupan restoran, pemasangan tirai di gerai makan, seperti jamaknya suasana puasa di tanah air. Meski demikian, papan-papan ucapan selamat berpuasa terpampang di publik. Sebuah permintaan untuk saling menghargai dan menghormati.
“Siapapun itu, baik muslim atau nonmuslim, tidak ada yang pakai tirai di tempat jualan makanannya. Karena, kehidupan di sini sangat bertoleransi,” tutur Mardian Tasaman, warga Indonesia di Sarawak, Minggu (3/7). Pria bersapaan akrab Dian ini staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Kuching. Ia warga Sungai Jawi, Pontianak Barat.
Dikatakannya, Sarawak dan Kalbar memiliki perbedaan waktu. Duluan satu jam. Banyak yang mengira, beruntung tinggal di sana bisa menjalankan puasa dengan waktu yang lebih singkat jika sahurnya di Indonesia, berbukanya di Sarawak. Namun, tidak demikian. Meski beda secara waktu, azan subuh dan magrib tetap mengikuti matahari.
“Jadi, kami di sini berpatokan pada waktu Indonesia. Misal di Indonesia imsaknya pukul 04.00, kami di Sarawak pukul 05.00. Begitu juga dengan azan magrib,” ujar Dian.
Hanya hal tersebut, kata pria tahun itu, yang menjadi patokan waktu muslim di Kuching Selatan. Di sana, jangankan hari biasa, Ramadan pun sukar untuk mendengar suara azan. Maklum, masjid jarang terdapat sebab penduduknya mayoritas nonmuslim.
Berbeda di Kuching Utara, suasana khas Ramadan amat terasa. Pasalnya, kawasan itu disebut bandar atau kawasan Melayu. Dapat dikatakan rata-rata muslim tinggal di sana. Di Kuching Utara ini terdapat beberapa nama kampung seperti nama kota di Indonesia, seperti Kampung Gresik, Demak, Pinang Jawa, dan Surabaya.
“Nah, kalau di Kuching Utara, sama dengan kita di Indonesia. Ada tarawih, tadarusan, ada pasar juadah, ada anak-anak main mercon. Pokoknya samalah,” tukas Dian.
Memasuki penghujung Ramadan, lanjut dia, semakin ramai yang mulai membuat persiapan untuk raya (Idul Fitri) nanti. Semua pasar yang ada sesak dengan para pembeli perlengkapan ibadah, pakaian, funiture, bahan-bahan kue, dan lain sebagainya.
“Tak lengkap lebaran tanpa kek (cake/kue) lapis Sarawak. Seperti kek hati pari, kek lumut, kek pilih kasih, dan kek kelasi mabuk,” ungkapnya.
Air berkarbonat alias air bersoda wajib disajikan. Pada saat perayaan, warga mengenakan pakaian baru lengkap sampai seminggu, kadang sebulan. Berbaju Melayu, bersongkok, ada pula yang bersampin pergi berlebaran ke rumah keluarga dan tetangga.
Lebih kurang serupa di Indonesia, Melayu yang merayakan lebaran di Sarawak juga akan dikunjungi rekannya dari Iban, Bidayuh, Cina, Orang Ulu, dan lain-lain. Keharmonian antara mereka ini sangat terjaga. Bila saja ada gawai atau perayaan lain, melawat atau membalas kunjungan pun dilakukan.
“Intinya, Kuching Utara kurang lebih dengan Indonesia lah. Makanan juga ada rendang, mi kolok, lemang, dan ketupat. Selain itu, kalau bernasib baik jumpa lah ketupat periuk kera, juga ada laksa Sarawak. Beraya (berlebaran, red) di sini bermula dari pagi sampai pukul 00.00. Selagi lampu rumah masih menyala, artinya masih boleh menerima tamu,” terang Dian yang hampir dua tahun tinggal di Kuching.
Rizal, kolega Dian di KJRI juga berbagi pengalaman. Sudah enam tahun ia tinggal di Sarawak. Selama itu pula ia merayakan lebaran di Jiran. Awalnya Rizal sempat kaget di saat ia tak mendengar suara takbiran dan masjid tak dipenuhi jamaah Salat Ied.
“Kalau di Kuching Selatan ini, suasana lebarannya tak begitu terasa. Bahkan, waktu pertama kali lebaran disini, saya kira tak ada yang Salat Ied. Jam enam pagi masjid masih sepi. Tahunya, jam delapan salat baru mau dimulai, jam segitu juga baru ramai jamaah yang berdatangan,” terangnya. Kini, hal itu sudah biasa bagi warga Indonesia yang merantau di Jiran, termasuk bagi Rizal yang aslinya berasal dari Jawa Barat.
KJRI pun tak hanya memfasilitasi urusan administrasi warga negara Indonesia (WNI) saja. Soal keagamaan pun, KJRI mengurusi. Seperti dalam Ramadan ini, setiap zuhur staf KJRI berjamaah dengan WNI lainnya di aula gedung kantor KJRI No. 21, Lot 16557, block 11, MTLD Jalan Stutong, 93350 Kuching, Sarawak, Malaysia.
“Nanti di Kantor KJRI kita juga mengadakan Salat Ied bersama-sama WNI yang berada dekat kawasan kantor dan TKI yang masih ada di shelter,” ujar Rian, staf yang juga penjaga shelter atau asrama KJRI.
Setakat ini, di shelter yang beralamat di Taman Fortune, Jalan Stampi Timur, Kuching, Sarawak, terdapat 11 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang masih menunggu jadwal deportasi. Semua sama, kebanyakan alasan mereka kabur dari tempat bekerjanya adalah karena tak digaji, ditipu, dan disiksa. Meski demikian, KJRI tengah berusaha sesegera mungkin memulangkan mereka ke daerah asal.
Itu yang diharapkan Suminah dan sepuluh TKI lainnya. Wanita berusia 48 tahun asal Bondowoso, Jawa Timur, itu berharap cepat dipulangkan. Ia tak memikirkan gaji sebagai pembantu rumah tangga yang delapan bulan ini belum dibayar majikan.
“Saya ingin cepat pulang. Rindu sama keluarga. Apalagi ini lebaran. Baru kali ini lebaran tanpa bersama keluarga,” tuturnya, menangis sesegukan di ruang tamu shelter, Sabtu (2/7) malam. (*)

Ocsya Ade CP, Kuching

Exit mobile version