eQuator.co.id – Perayaan 17 Agustus selalu istimewa. Merdekanya bangsa Indonesia ini memang didapat penuh perjuangan. Kini, semua punya cara sendiri untuk mengisi kemerdekaan yang sudah berlangsung 71 tahun lamanya itu. Hanya saja, makna merdeka tak sama untuk setiap orang.
Bagi Hendrik Yanto, arti kemerdekaan adalah senyum seorang wanita berumur 59 tahun yang telah melahirkannya. Dan, kemerdekaannya itu telah hilang sejak tiga tahun lalu. Ibunya, Rohani, terserang stroke pada Mei 2013. Hidup hanya berdua di sebuah rumah yang sudah tua membuatnya bingung apa yang harus dilakukan.
Pada 2013 usianya 21 tahun, dapat pekerjaan sebagai pramuniaga di salah satu swalayan ternama di Kota Pontianak. Namun, gaji Rp720 ribu tak cukup untuk merawat ibunya. Jangankan untuk rawat inap, mengecek penyakit ibunya di rumah sakit saja tak dapat dia lakukan. “Akhirnya, memanggil mantri jadi solusi satu-satunya untuk mendapatkan resep atas penyakit yang menyerang ibu,” tuturnya kepada Rakyat Kalbar di kediamannya, Gang Karya Satu, Jalan Tanjung Raya II, Kelurahan Saigon, Kecamatan Pontianak Timur, Rabu (17/8).
Menyadari pendapatan perbulannya tak akan mampu untuk membawa ibunya ke fasilitas kesehatan yang mumpuni, setiap memegang dan meminumkan obat kepada ibunya yang hanya bisa terbaring itu, ia selalu dan selalu berharap agar ibunya dapat sembuh dengan obat yang dibelinya.
Tapi, Hendrik memahami hal itu mustahil. Tanpa perawatan intensif oleh dokter, ibunya susah untuk sembuh. Walhasil, cuma tetes air mata yang selalu mengalir saat melihat ibunya yang terbaring di atas kasur kamar berukuran kecil nan pengap miliknya.
Kendati demikian, ia tetap telaten merawatnya. Saat ibunya terbangun dari tidur, dipapahnya, dimandikannya. Segala sesuatu diurusnya, begitu juga saat makan dan minum. Disuapinya wanita yang membesarkannya itu setiap hari. Saat bekerja pun ia kerap bimbang dengan keadaan ibunya yang sendiri di rumah.
“Kadang terpaksa mencuri waktu kerja, untuk pulang ke rumah melihat ibu,” ucap Hendrik, air matanya mulai jatuh.
Berbekal tekad kuat mencari duit untuk menyembuhkan Sang Ibu, dia berhenti bekerja sebagai pramuniaga pada 2014 dan memasukkan lamaran ke berbagai perusahaan. Allah mendengar doanya, ia diterima di salah satu perusahaan minuman bersoda yang mereknya lumayan tenar di Indonesia.
Namun, baru bekerja sebulan dan pendapatannya telah bertambah sedikit, pimpinannya memutasikan Hendrik ke Kota Ngabang, Kabupaten Landak. Ia pun memohon kepada pimpinannya untuk tak dipindahkan jauh dari ibunya. Sayang, tak dikabulkan. Hanya dua pilihan: mengikuti sistem atau tinggalkan pekerjaan.
Tahu jasa seorang ibu tak akan terbalaskan sampai kapanpun, Hendrik memilih berhenti bekerja dan merawat ibunya. Di sinilah cobaan terberat dirasakannya, tanpa penghasilan namun harus tetap hidup, termasuk membeli obat ibunya.
Di saat seperti itu, dia pun kesana-kemari di sekitar lingkungan rumahnya. Menawarkan jasa bantu-bantu dari warung satu ke warung lainnya. Mulai dari mengantar barang hingga membantu memasak nasi goreng. Hal ini satu-satunya cara agar tetap mendapatkan penghasilan. Walau seadanya, Hendrik tetap di samping Sang Ibu.
“Saya ingin melihat senyum ibu lagi seperti dulu. Saya ingin dia sembuh. Setelah ayah meninggal saat saya kelas satu SD, dia lah ibu sekaligus ayah yang membesarkan saya,” ujarnya lirih.
Kepada Rakyat Kalbar, dia memperlihatkan ibunya yang terbaring di kasur. Memang memprihatinkan. Tubuh Rohani tak lagi berdaging. Tulang belulangnya sudah terlihat dengan tangan yang kejang akibat stroke yang menyerang.
“Seperti inilah, setiap melihatnya, saya hanya bisa meneteskan air mata. Ketidakadaan saya membuat ibu masih terbaring di sini. Saya rawat seadanya. Tanpa bantuan siapapun. Doakan ibu saya cepat sembuh. Saya rindu semua yang ibu yang dulu, rindu masakannya, perhatian dan kasih sayangnya,” papar pemuda yang akrab disapa Botok alias Gembul itu sambil mengusap air matanya.
Rohani yang melihatnya menangis hanya bisa melihat dan meneteskan air mata dalam diam. Sadar akan itu, Hendrik mencium tangan dan kening serta memeluk ibunya sambil berkata. “Sabar ya Mak. Mak pasti sembuh. Een (panggilan sayang Rohani kepada Hendrik,red) akan berusaha mak,” ucapnya kepada Sang Ibu, yang terdiam, hanya air matanya mengalir deras.
Tangisnya semakin menjadi. “Apapun untuk ibu saya akan lakukan. Kemerdekaan bagi saya adalah senyum dan kesembuhan ibu, sekarang saya sedang berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan itu,” lanjut Hendrik sambil memeluk Rohani.
Lantas, adakah bantuan dari pemerintah untuk meringankan kehidupan mereka? Nihil.
Hendrik dan ibunya sama sekali tak mendapatkan bantuan seperti yang diprogramkan pemerintah di negara yang sudah merdeka 71 tahun ini. Pengobatan gratis (KIS), beras untuk masyarakat miskin (Raskin), termasuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), tak pernah mereka kecap.
Bagaimana dengan orang-orang yang menyandang gelar wakil rakyat bergaji jutaan rupiah dari daerah pemilihan Pontianak Timur? Nol. Tetangganya lebih peduli, lebih kasihan dengan nasib mereka.
“Tidak ada bantuan itu. Beberapa tetangga di sinilah yang memberikan belas kasih kepada kami untuk makan,” ungkap Hendrik yang sudah tinggal di sana sejak 13 tahun lalu.
Berbicara soal wakil rakyat yang dapat membantu, orang nomor satu dan nomor dua di DPRD Kota Pontianak berasal dari Daerah Pemilihan (Dapil) Pontianak Timur.
Tak hanya itu, di Kecamatan Pontianak Timur juga tinggal dua anggota DPRD Provinsi Kalbar, salah satunya duduk di Komisi V yang membidangi kesejahteraan rakyat maupun pelayanan kesehatan. “Mereka tidak kenal kami, bagaimana mereka bisa membantu kami. Saya cuma minta doa kepada semuanya agar ibu saya sembuh. Karena sudah begitu lama ibu terbaring,” harapnya. (*)
Achmad Mundzirin, Pontianak