Melbourne, Australia, masuk tiga besar Most Livable City (kota paling layak huni) versi Economist Intelligence Unit. Predikat itu sudah melekat selama tujuh tahun. Di balik kenyamanan penduduk kota, ada evolusi digital yang menyokong.
Mochamad Salsabyl Ad’n, Melbourne
eQuator.co.id – Semangat untuk merancang sistem kota berteknologi efisien sangat kental di balik pesona Melbourne. Wajar bila kota berpenduduk sekitar 5 juta jiwa tersebut juga masuk 50 besar smart city versi IESE Business School Barcelona.
Pekan lalu Jawa Pos sempat berbincang dengan pakar di balik digitalisasi Melbourne. Salah satunya, Emma Forster. Dia merupakan innovation officer pada smart city office di ibu kota Negara Bagian Victoria tersebut.
Sekilas, ujar dia, tidak ada kesan futuristis di kota paling layak huni (livable city) tahun 2017 itu. Tak ada layar LCD besar yang terpampang atau wifi gratis untuk warga ataupun turis. Di beberapa sudut, tiang telepon umum pun masih menghiasi trotoar.
“Yang masyarakat tidak tahu, kami memasang sensor di setiap penyeberangan jalan, atap toko, sampai di bawah trotoar,’’ ujarnya saat menjumpai rombongan media dan perwakilan Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia.
Lantas, apa yang dideteksi sensor itu? Banyak. Sensor di trotoar, misalnya. Sensor itu berguna untuk mendeteksi pergerakan para pejalan kaki di Melbourne. Dengan begitu, pemerintah kota bisa memetakan wilayah mana saja yang padat.
Dengan integrasi berbagai sensor, pemerintah kota bisa mengatur lalu lintas. Jika memang lebih banyak pejalan kaki daripada mobil, lampu hijau di penyeberangan bakal diatur untuk menyala lebih lama. Namun, manfaat pengumpulan berbagai data lewat sensor tidak sekadar pengaturan lalu lintas.
“Data itu tak hanya menguntungkan kami (pemerintah), tetapi juga masyarakat kota,’’ imbuh Forster.
Semisal, ada seseorang yang ingin membangun kafe. Mereka bisa membuka data trotoar Melbourne untuk menentukan lokasi. Tepatnya, memeriksa jalan apa saja yang ramai pejalan kaki. Data itu juga bisa dimanfaatkan untuk penelitian, bisnis, dan perumusan kebijakan.
’’Karena itulah, sejak 2014, kami menerapkan kebijakan open data. Yakni, membuka data-data nonpersonal ke publik,’’ imbuhnya.
Dalam server Melbourne, ada lebih dari 200 data berbagai kategori yang terkumpul. Data tersebut diperbarui secara berkala. Data parkir Melbourne, misalnya, dimutakhirkan tiap beberapa menit.
Menurut Megan Cockroft, business development officer pada International & Civil Services Branch, sistem di Melbourne masih perlu dikembangkan lagi. Apalagi, teknologi berubah dengan sangat cepat. Artinya, segala sistem berbasis teknologi juga harus ikut berubah.
Dia lantas mencontohkan teknologi transaksi nontunai alias cashless. Fenomena itu bisa melahirkan dampak negatif. Terutama, bagi komunitas pengamen. Cashless mengancam pendapatan mereka. Sebab, sumber penghasilan mereka adalah uang receh atau kembalian sisa belanja wisatawan.
’’Namun, banyak turis sekarang yang lebih memilih membayar pakai kartu kredit atau transaksi nontunai lainnya,’’ ujar Terry Wu, pemegang proyek pengamen nontunai. Karena itu, pemerintah kota bekerja sama dengan Ali Pay. Kini, memberikan uang ke pengamen bisa dilakukan secara nontunai. Yakni, menggunakan QR code.
Sejumlah pengamen diberi alat penerima kartu serta QR code. Dengan demikian, wisatawan tinggal memindai kode jika ingin memberikan uang kepada pengamen. ’’Kami sengaja kerja sama dengan Ali Pay karena turis asing yang paling banyak memang dari Tiongkok,’’ jelasnya.
Dalam skala nasional, Australia memang terus bekerja untuk menjawab tantangan dunia maju. Apalagi, kemajuan teknologi pasti dibarengi dengan risiko peretasan. Karena itu, pemerintah bekerja sama dengan Data61. Anak perusahaan lembaga riset pemerintah CSIRO (The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation) itu khusus mengembangkan teknologi jaringan dan komunikasi.
’’Fokus kami menciptakan sistem di mana semua pihak bisa menikmati data umum. Namun, tidak ada yang bisa mengintip data individu,’’ ungkap CEO Data61 Adrian Turner. Itu dilakukan demi kenyamanan warga.
George juga menegaskan bahwa teknologi bisa membuat kehidupan masyarakat semakin efisien. Untuk otomatisasi, pengembangan artificial intelligence alias kecerdasan buatan mempermudah sistem pelayanan publik. Virtual reality dan augmented reality juga membuat generasi muda lebih bergairah dalam belajar.
Di masa depan, bisa saja siswa belajar mengenai budaya Aborigin dengan ’’bertemu’’ langsung suku pribumi di dunia maya. Namun, semua itu perlu dukungan semua pemangku kepentingan. Terutama akademisi. ’’Kami sudah bekerja sama dengan 30 universitas untuk terus mengembangkan teknologi terbaru,’’ ungkap Cheryl George, government and stakeholder relations officer Data61.
Karena itulah, baik di Sydney maupun Melbourne, sistem co-working space jauh lebih populer. Misalnya, perkantoran bersama milik Australian Centre for the Moving Image (ACMI). Di gedung ACMI X, pengusaha start-up dipersilakan ngantor bersama pegawai museum. Dengan begitu, mereka bisa menimba ilmu sekaligus menjalin hubungan dengan pekerja teknologi lainnya.
’’Kami berusaha untuk melayani seluruh komponen usaha,’’ ujar Kepala ACMI X Helen Simondson. (Jawa Pos/JPG)