Satu Kilo Beras Sama dengan Dua Kilo Getah

2016, Petani Karet Kembali Menderita

CARI SESUAP NASI. Warga Kecamatan Suti Semarang, Dedi (38), saat menjual karet ke Akong di gudang penampungan Bengkayang, Kamis (25/2). Kurnadi
  • Tak Mungkin Warga Rusak Alam Kalau Ada Lapangan Pekerjaan

eQuator.co.id – Bengkayang-RK. Gizi buruk membayangi sejumlah masyarakat Bengkayang. Harga karet yang tak kunjung membaik, plus banyaknya larangan ini-itu untuk memanfaatkan alam, membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

“Hingga hari ini, harga karet cuma Rp6.000 perkilogram, sementara jinton atau kulat yang berasal dari tempurung cuma seharga Rp1.200 perkilogram,” tutur seorang penampung karet di Bengkayang, Edison, kepada Rakyat Kalbar, Kamis (25/2).

Menurut pria yang karib disapa Akong itu, anjloknya harga karet sudah berlangsung hampir tiga tahun terakhir. Sempat meningkat selama dua bulan seharga Rp8.000 perkilogram.

“Sekarang kembali turun menjadi Rp5.500-Rp6.000 perkilogram. Hingga harus ditampung agar tidak rugi. Kini ada sekitar 140 ton yang masih saya tampung, menunggu harga yang cocok,” terangnya.

Kini, harga beras di Bengkayang berkisar antara Rp11.000 sampai Rp12.000. “Jadi, jika masyarakat membawa karet dua kilogram baru bisa membeli satu kilogram beras atau harga satu kilogram beras sama dengan harga dua kilogram karet,” ucap Akong. Nadanya getir.

Rata-rata petani karet di Bengkayang mampu menyadap karet perhari 5-7 kilogram saja. Berarti, dengan harga Rp6.000, penghasilan mereka hanya Rp30.000- Rp42.000 perhari. Tentu, kebutuhan sehari-hari tak hanya beras. Biaya pendidikan, pernak-pernik rumah tangga lainnya juga harus dipikirkan.

Belum lagi ketika musim penghujan seperti saat ini, petani karet hanya bisa menyadap getah selama dua hingga tiga hari dalam seminggu. Minimnya lapangan pekerjaan di Bengkayang pun membuat mereka sulit mencari pekerjaan tambahan di luar menjual getah.

“Apalagi beberapa peraturan pemerintah juga mempersulit. Untuk menebang dan memproduksi kayu di hutan sudah dilarang, bekerja dompeng (cari emas,red) atau galian C juga dilarang, bekerja gelondong dilarang, otomatis mata pencaharian masyarakat semakin menyempit,” beber Akong.

Imbuh dia, “Padahal, tidak mungkin masyarakat cari makan mau rusak lingkungan dan alamnya jika lapangan pekerjaan tersedia. Hampir merata karet ada di setiap desa, dan 80 persen penduduk adalah petani karet”. “

Sebagai pengusaha, ia prihatin. “Saya tidak bisa berbuat banyak untuk membantu masyarakat, tidak mungkin kan kami membeli di atas harga pasar karena akan terus merugi,” pungkas Akong.

Warga Suti Semarang, Bengkayang, Dedi yang dijumpai Rakyat Kalbar di gudang penampungan milik Akong mengkonfirmasi hal tersebut. Ia mengeluh dengan terus merosotnya harga karet. Sementara harga Sembako malah naik. Padahal, mutu karet yang dibawanya jauh-jauh dari pedalaman Kecamatan Suti Semarang diklaim sangat bagus.

“Sekarang cuma dihargai Rp6.000 saja, padahal sebelumnya sempat mencapai Rp8.000 hingga Rp9.000. Masuk Januari 2016, harga karet kembali turun tajam,” ucap Dedi.

Pria berusia 38 tahun itu mengungkap, dengan harga Rp6.000 perkilogram, tidak mungkin bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga. Namun, kata dia, beruntung saat ini sedang musim panen padi sehingga hasil menjual karet untuk sementara bisa disisihkan membeli kebutuhan lain selain beras.

“Yang jadi kekhawatiran kami adalah saat menjelang musim paceklik dan harga karet masih merosot. Kami pasti kesulitan,” ujarnya.

Perhari, Dedi bisa menyadap getah tujuh kilogram. Seminggu sekali ia harus menjual getah ke Kota Bengkayang karena di Suti Semarang hanya dihargai Rp4.000 perkilogram.

“Untuk mencari pekerjaan lain di luar bertani sangat sulit buat saya. Karena harus meninggalkan anak-anak, istri dan orangtua. Saya tulang punggung keluarga, jadi tetap bertahan dengan menoreh getah,” paparnya.

Ia berharap pemerintah bisa mendongkrak harga karet dan bisa menekan harga Sembako. “Setidaknya jika harga Sembako turun, beban akibat harga karet merosot bisa kita hadapi,” tutup Edi.

Laporan: Kurnadi

Editor: Mohamad iQbaL