eQuator.co.id–Jakarta–RK. Pengembangan riset dan inovasi di dalam negeri bukan hanya terkendala regulasi. Tapi, juga kurangnya perhatian pada para peneliti dan iklim riset yang belum terbangun apik di Indonesia. Misalnya soal royalti bagi para peneliti yang tidak mudah mereka dapatkan.
Plt Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Bambang Subiyanto menuturkan sebenarnya ada aturan tentang pemberian royalti bagi para peneliti yang berstatus sebagai pegawai pemerintah. Itu termasuk peneliti di kementerian atau perguruan tinggi.
Royalti yang diberikan bisa sampai 40 persen dari nilai royalti paten sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan 72/PMK.02/2015 tentang Imbalan Yang Berasal Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada Inventor. ”Tidak bisa diberikan langsung kepada penelitinya. Ya sudah disimpen di kas negara saja,” ujar Bambang di kantor LIPI, kemarin (9/10).
Pada peraturan tersebut, peneliti yang telah menghasilkan nilai royalti paten hingga Rp 100 juta akan diberi imbalan 40 persen. Bila nilainya lebih dari Rp 100-Rp 500 juta maka imbalan 30 persen. Sedangkan 20 persen bila nilainya Rp 500 juta-Rp 1 miliar. Kemudian untuk nilai royalti paten lebih dari Rp 1 miliar imbalannya 10 persen.
Menurut Bambang, imbalan tersebut diberikan bila peneliti tersebut diundang menjadi pemakalah atau narasumber. Tidak bisa diberikan secara langsung.
”Lain dengan di luar negeri. Saya dapat Rp 1 miliar (imbalan) 60 persen, Rp 600 juta dikasihkan ke saya. Nih untuk kamu. Semangat jadinya,” kata pria lahir di Nganjuk itu.
Selain soal royalti, para peneliti juga kadang dihadapkan pada pilihan yang dilematis saat berkolaborasi mengembangkan penelitian dengan swasta. Peneliti tetap harus menjadi PNS dan tidak diatur dengan peraturan PNS yang ketat.
”Kalau saya punya teknologi, saya bisa dengan swasta di swasta itu sampai selesai, sampai jadi besar bisa kembali lagi (jadi PNS). Di Indonesia tidak bisa itu, disuruh memilih,” tegas peraih doktor di bidang Wood Science and Technology dari Universitas Kyoto, Jepang. Praktik di Indonesia, menurut dia, ada saja peneliti yang secara sembunyi-sembunyi bekerja sama dengan swasta.
Dukungan pemerintah terhadap iklim penelitian pun dirasa belum terlalu kuat. Misalnya soal regulasi pengurangan pajak seperti yang diterapkan di Singapura. Perusahaan swasta yang bekerjasama dalam penelitian mendapatkan pengurangan pajak. Dana pengurangan pajak itupun bisa dimanfaatkan untuk memperkuat penelitian.
”Perlu juga dana CSR dari perusahaan digunakan untuk penelitian. Bukan hanya seperti sekarang ini untuk membangun fasilitas publik misalnya,” terang dia.
Selain itu, hambatan inovasi penelitian itu juga terkendala dalam implementasi secara masal. Pemanfaatan teknologi hasil inovasi peneliti itu tidak gampang diterima oleh dunia idustri untuk dikomersialisasikan.
Bambang menyebut perlu ada jembatan yang mempertemukan peneliti dan dunia swasta. LIPI menginisiasi kegiatan bertajuk Indonesia Science Expo (ISE) pada akhir Oktober untuk mewadahi itu.
”Dalam kegiatan ini kami ingin imbal balik. Kami presentasi ini dan mereka memberi masukan seperti apa,” jelas dia.
Sementara itu, Ketua Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi menuturkan negara yang makmur saat ini adalah negara yang bisa memanfaatkan inovasi teknologi dengan baik. Bukan hanya karena kaya dengan sumber daya alam. Inovasi dari dalam negeri dipakai sendiri secara masal dan mendapatkan dukungan dari pemerintah.
”Contohnya India yang pejabatnya pakai mobil buatan dalam negeri. Meskipun sampai ada yang bilang seluruh bagian dari mobilnya bunyi. Tapi, dari situ mereka makmur sekarang,” ungkap dia.
Bambang mengungkapkan bila ada inovasi itu baru akan terlihat bila sudah dikomersialisasikan. Maka, bila ada inovasi yang bagus itu jangan sampai dihambat dengan peraturan.
”Intinya percayalah negara lain tidak akan takut banyak buku laporan. Tapi takut mereka kalau kita gunakan produksi sendiri,” tegas dia.
Seperti diberitakan, Presiden Joko Widodo menegaskan senang dengan banyaknya inovasi yang muncul termasuk mobil listrik. tapi, yang jadi masalah ada banyak regulasi yang akhirnya jadi menghambat. Dia pernah menghitung ada 42 ribu regulasi mulai undang-undang sampai perwali. Berbagai regulasi itu yang mengakibatkan Indonesia tak bisa bergerak cepat mengejar ketertinggalan inovasi. (Jawa Pos/JPG)