eQuator.co.id – Selamat untuk Rio Haryanto. Pembalap pertama Indonesia yang menjadi peserta Formula 1 itu berhasil menyelesaikan lomba pertamanya, di Grand Prix Bahrain, Minggu lalu (3/4). Seperti apa rasanya?
Ulasan CANDRA KURNIA
Tidak banyak orang yang sadar, atau paham, bahwa mobil Formula 1 menuntut kondisi fisik luar biasa dari para pengemudinya. Tidak sedikit cerita yang muncul dari balik layar, tentang pembalap baru yang sengaja melintir keluar dari lintasan gara-gara fisiknya sudah tidak kuat.
Minggu lalu (3/4) di Bahrain, di grand prix kedua dalam karirnya, Rio Haryanto sukses me- nyelesaikan lomba.
Mengemudikan Manor-Mercedes, Rio memang finis di urutan ke-17 di pengujung lomba 57 putaran tersebut. Tapi, tidak berarti dia hanya berputar-putar begitu saja di Sirkuit Sakhir. Dia terus bersaing dengan tim-tim lain yang seharusnya lebih kuat, bahkan sempat berada di urutan kesembilan lomba.
Hanya masalah degradasi ban yang membuatnya tidak mampu bersaing sampai akhir.
Seusai lomba, Rio mengakui bahwa balapan F1 full distance itu benar-benar tantangan fisik dan mental yang luar biasa. Pembalap kelahiran Solo tersebut mengaku lega kondisinya tidak mengendur sampai akhir.
Sebelum ini, Rio tidak pernah mengemudikan mobil F1 sampai begitu lama. Bahkan dalam uji coba pun, dia tidak pernah sampai 50-an putaran berturut-turut. Dan ketika balapan GP2 dulu, maksimal juga 30-an putaran.
’Saya juga agak kaget tidak ada masalah. Bahkan sampai lap-lap terakhir pun konsentrasi saya masih terjaga dengan baik,’ ungkap pembalap 23 tahun itu saat dihubungi harian ini kemarin (4/4).
Problem paling mendasar yang dirasakan pembalap baru biasanya adalah sakit pada leher. Akibat menahan efek gravitasi (G-Force) selama hampir dua jam.
Menurut Rio, lehernya juga ternyata tidak terlalu bermasalah. ’’Capek sih iya. Tapi gak berlebihan gitu. Padahal, balapan ini panjangnya dua kali lipat dari GP2,’’ papar Rio, yang tahun lalu memenangi tiga lomba di ajang GP2 (ajang tertinggi di bawah F1).
Rio yakin ini adalah buah latihan fisik dan asupan nutrisi yang selama ini diterapkan para pelatihnya. Juga, strategi minum di tengah balapan yang membuatnya terhindar dari dehidrasi.
’’Saya hanya turun satu kilogram setelah balapan. Padahal biasanya lebih. Pernah sampai dua kilo. Mungkin karena saya banyak-banyak minum pas balapan,’’ jelasnya, lantas tertawa.
Dari GP Bahrain, Rio mengaku juga mendapatkan satu pelajaran penting. Yaitu, strategi pemilihan ban. Rio yakin bisa meraih hasil lebih baik seandainya menerapkan strategi yang sama dengan rekan setimnya, Pascal Wehrlein, yang finis di urutan ke-13.
Dalam lomba tersebut, Rio dan Wehrlein (dan hampir seluruh pembalap lain) menerapkan strategi tiga kali pit stop, membagi lomba dalam empat bagian.
Wehrlein memakai kombinasi ban soft-soft-supersoft-supersoft, sedangkan Rio soft-soft-medium- supersoft. Nah, pada bagian ketiga itulah (saat memakai medium) Rio kehilangan banyak waktu.
’’Sebelum pit stop pertama, saya sempat mendekati Pascal. Saya justru pelan saat ganti ban dari soft ke medium. Saya pikir saya bisa me-manage ban terus sampai akhir lomba. Tapi, ternyata Pascal pindah ke ban supersoft. Itu strategi yang lebih tepat,’’ terangnya.
Mungkin Rio bisa memaksakan ban medium itu sampai akhir lomba, sehingga hanya melakukan dua kali pit stop. Tapi, Manor memutuskan untuk mengganti lagi ban Rio saat lomba hanya sisa sepuluh putaran. Selain karena Rio kehilangan terlalu banyak waktu memakai medium (3–4 detik lebih lambat per lap), juga untuk mengantisipasi seandainya ada kecelakaan dan safety car di akhir lomba.
’’Saya akan mendapat advantage luar biasa (seandainya ada kejadian di akhir lomba, Red),’’ ungkapnya.
Rio menegaskan, GP Bahrain juga menunjukkan bahwa Manor bisa bersaing dengan tim-tim lain, khususnya Sauber-Ferrari dan Renault. Dan mereka bisa langsung tampil lebih baik di seri berikutnya, Grand Prix Tiongkok di Sirkuit Shanghai (15–17 April).
Pasalnya, Shanghai memiliki lintasan dengan beberapa trek lurus, termasuk satu yang sangat panjang (1,2 km), memberi ruang bagi mesin Mercedes untuk ’’berekspresi’’ mempermalukan pesaing.
Sama seperti di Bahrain, Rio juga punya pengalaman di Sirkuit Shanghai di kelas junior dulu. Jadi, dia bisa langsung fokus mengoptimalkan setelan mobil.
’’Kini tinggal memastikan setting-an mobil yang pas dan penentuan strategi ban agar bisa lebih kompetitif,’’ ujarnya.
Rekan setim Rio, Pascal Wehrlein, juga mengaku ada kendala pemakaian ban pada mobil Manor. Tapi, Bahrain telah memberikan banyak pelajaran, dan membuatnya juga bersemangat menghadapi GP Tiongkok.
’’Exciting rasanya untuk melihat betapa besarnya potensi yang kami miliki. Saya tak sabar segera ke Tiongkok,’’ ujarnya. (*)